NovelToon NovelToon
Sang Pianis Hujan

Sang Pianis Hujan

Status: tamat
Genre:Cintapertama / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Enemy to Lovers / Rebirth For Love / Idola sekolah / Tamat
Popularitas:631
Nilai: 5
Nama Author: Miss Anonimity

Namanya Freyanashifa Arunika, gadis SMA yang cerdas namun rapuh secara emosional. Ia sering duduk di dekat jendela kafe tua, mendengarkan seorang pianis jalanan bermain sambil hujan turun. Di setiap senja yang basah, Freya akan duduk sendirian di pojok kafe, menatap ke luar jendela. Di seberang jalan, seorang pianis tua bermain di bawah payung. Jemari hujan menari di kaca, menekan window seolah ikut bermain dalam melodi.

Freya jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Shani-seseorang yang tampak dewasa, tenang, dan selalu penuh pengertian. Namun, perasaan itu tak berjalan mulus. Shani tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan mereka.

Freya mengalami momen emosional saat kembali ke kafe itu. Hujan kembali turun, dan pianis tua memainkan lagu yang pelan, seperti Chopin-sebuah lagu perpisahan yang seolah menelanjangi luka hatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 3 : Rumus Cinta Bernama Shani

Kelas sunyi saat pelajaran ketiga. Hanya terdengar bunyi detik jam di dinding yang berdetak pelan. Di depan kelas, Pak Keenan berdiri dengan kapur di tangan. Papan tulis sudah penuh dengan simbol dan angka-garis lengkung, variabel, dan lambang akar kuadrat saling bersisian seperti puisi yang belum selesai.

"Baik," ucap Pak Keenan perlahan, suaranya tenang, nyaris seperti gumaman. "Kita akan membahas satu rumus penting hari ini... Persamaan Kuadrat."

Beberapa siswa mulai memperhatikan. Sebagian lagi masih menggambar di buku atau membolak-balik kertas. Tapi tidak dengan Freya. Disaat yang lain terfokus pada pelajaran matematika, Imajinasi Freya malah berkelana. Menggambarkan satu sosok di dalam pikirannya. Bahkan Mungkin penjelasan pak Keenan terdengar samar-samar baginya.

Pak Keenan menulis dengan cepat pada Papan tulis. "x \= (-b ± √(b² - 4ac)) / 2a. Ini dia, anak-anak. Rumus yang sudah kalian hafal mati sejak SMP. Tapi pernahkah kalian berpikir... kenapa bentuknya begini?"

Zee berbisik dari bangku sebelah, "Karena pembuatnya gabut kali, pak."

Anak-anak yang lain menahan tawa kecil. Pak Keenan tersenyum, seolah mendengar. "Rumus ini... bukan hanya tentang angka. Ini tentang keseimbangan. Tentang bagaimana kita menyelesaikan sesuatu yang tampaknya rumit, dengan menyentuh akar dari masalahnya."

Ia menunjuk bagian √(b² - 4ac). "Di sini, ada istilah yang disebut diskriminan. Ia yang menentukan apakah sebuah persoalan punya dua solusi, satu solusi, atau bahkan tidak punya solusi sama sekali." Lalu ia menoleh ke kelas, matanya menatap lurus. "Sama seperti hidup. Kadang kita punya banyak jalan keluar. Kadang cuma satu. Dan kadang... tidak ada sama sekali. Tapi bukan berarti kita berhenti mencoba."

Zee menoleh ke arah Freya, pelan. "Pak Keenan habis di tolak sama Bu Veranda kayaknya..." Freya menjawab dengan senyum tipis, pandangannya kembali mengarah ke luar jendela.

"Perhatikan huruf 'b'," lanjut Pak Keenan. "Dia mewakili sesuatu yang konstan tapi kadang menyesatkan. Dan 'a'... dia pemimpin dalam persamaan. Kalau 'a' bernilai nol, maka segalanya runtuh. Sama seperti prinsip dalam hidup. Kalau kita kehilangan dasar... maka apapun yang kita bangun, akan hancur." Tangannya bergerak lincah menulis contoh soal. Tapi penjelasannya tetap lembut, seperti membaca sajak. "Dan bagian akar... kadang menghasilkan bilangan imajiner. Angka yang tidak nyata, tapi tetap dihitung. Karena hidup ini juga penuh dengan hal yang tidak nyata, tapi tetap punya efek." Satu per satu, siswa mulai terdiam. Tak lagi mencoret-coret buku. Ada yang mulai menatap papan tulis, ada yang merenung. Bahkan anak-anak yang biasanya ribut pun ikut diam.

"Lalu ada tanda plus minus..." ucap Pak Keenan. "Karena hidup tak pernah punya satu sisi saja. Selalu ada kemungkinan baik... dan kemungkinan buruk. Yang penting, kita tahu bagaimana menghadapi keduanya." Kelas hening. Hanya terdengar bunyi kapur yang menulis jawaban akhir dari soal yang ia contohkan. "x \= 2 dan x \= -3," katanya. Kemudian pak Keenan berdiri tegak, menatap kelas dengan mata yang hangat. "Dan kalian tahu... bahkan dalam persoalan yang paling rumit pun, selalu ada jawaban-kalau kalian sabar mencarinya."

Penjelasan Pak Keenan semakin terdengar samar-samar bagi Freya. Ia lebih sibuk dengan dirinya sendiri. Bukan karena tak bisa mengerti pelajaran, tapi karena pikirannya sedang tidak berada di dalam kelas. Dunia di luar jendela pun tak lagi menarik untuk dipandangi. Burung-burung yang biasanya jadi pelipur lara kini hanya sekadar bayangan yang lewat. Dengan gerakan malas, Freya merogoh tasnya, lalu mengeluarkan sebuah buku catatan. Bukan buku pelajaran, tentu saja, melainkan buku rahasianya-tempat ia menyimpan potongan-potongan isi hatinya. Ia tidak membuka sembarang halaman. Dengan hati-hati, Freya membuka pada halaman kosong, menuliskan sesuatu yang belum pernah ia katakan. Tangannya mulai bergerak, lembut dan pelan. Bukan menulis sajak, bukan pula puisi-tapi sebuah lirik lagu.

Shani, Shani~

Jantungku berdebar tiap kuingat padamu~

Shani, Shani~

Mengapa ada yang kurang saat kau tak ada?~

Shani, Shani~

Melihatmu, menyentuhmu, itu yang kumau~

Kau tak sempat tanyakan aku

Cintakah aku padamu?~

Tiap kali aku berlutut, aku berdoa

Suatu saat kau bisa cinta padaku

Tiap kali aku memanggil di dalam hati~

Mana Shani, mana Shani-ku?~

Mana Shani-ku?~

Tanpa sadar, seutas senyum kecil muncul di bibir Freya. Senyum yang menyimpan penantian. Bagi Freya, menciptakan lagu bukan hanya tentang seni-melainkan cara untuk menyusun ulang kepingan-kepingan hatinya yang masih tabu. Ia percaya bahwa setiap nada punya jiwa, dan setiap kata dalam lagu punya takdir. Lagu adalah doa yang bernyanyi.

Azizi, yang duduk di samping, tak sengaja melirik ke arah Freya. Ia menangkap senyum itu. Matanya ikut berpindah ke buku catatan Freya. Dengan cepat, Zee membaca beberapa bait lirik di sana. Ia tahu betul bahwa selain memiliki suara yang merdu, Freya juga memiliki kemampuan menciptakan lagu yang menyentuh. Inspirasi bagi Freya bisa datang dari mana saja-bahkan dari senyuman orang yang tak pernah benar-benar menyadari keberadaannya.

"Ciee..." bisik Azizi pelan. Freya terkesiap, lalu buru-buru menutup buku catatannya. Pipi meronanya mengkhianati usahanya untuk terlihat biasa saja. Azizi hanya terkekeh kecil, puas telah berhasil memergoki sisi lain dari sahabatnya itu.

"Baik, anak-anak. Cukup penjelasan untuk hari ini," ujar Pak Keenan. dari "Minggu depan akan ada ulangan umum. Bapak harap kalian belajar dengan giat." Seluruh kelas serempak merengut. Seolah satu kalimat itu telah menutup harapan mereka untuk hidup tenang selama satu minggu ke depan. Kata 'ulangan umum' terdengar seperti vonis, dan setiap kepala mulai dihantui angka-angka.

"Akhirnya selesai juga..." ucap Azizi sembari mengangkat kedua tangannya ke atas, melemaskan otot-ototnya yang pegal setelah satu setengah jam mendengarkan penjelasan dari pelajaran yang amat tidak disukainya. "Fre, jadi ke toko buku, kan?" tanya Azizi sambil menoleh.

"Jadi," balas Freya singkat, sembari memasukkan semua bukunya ke dalam tas.

Suara bel pulang yang nyaring terasa seperti pembebasan. Setelah lega bisa keluar dari kelas, lorong sekolah tampak penuh oleh para murid. Mereka bersorak-sorai, berdiri berjejer di depan pagar tembok pembatas lantai dua, menatap ke arah lapangan di bawah sana. Freya dan Azizi, yang penasaran dengan keramaian itu, ikut menyusup di antara kerumunan. Meski sedikit berdesakan, mereka berhasil menemukan celah nyaman untuk menonton. Lalu, seolah waktu melambat, mata Freya menangkap sosok itu.

Shani. Pria dengan rambut pendek yang sedikit acak, wajah penuh semangat, dan tatapan fokus yang menyala. Ia sedang menggiring bola basket, mengenakan jersey hitam yang menyatu sempurna dengan kulitnya yang bersinar di bawah matahari sore. Gerakannya cepat, tapi anggun. Bola memantul-mantul di lantai, mengikuti irama kakinya. Setiap langkah, setiap lompatan, menyatu dengan tarikan napas Freya.

Dalam sudut pandangnya, dunia perlahan berubah. Sorak sorai di sekitar mengabur. Yang tersisa hanya irama detak jantungnya sendiri. Satu, dua, tiga langkah... lalu lompat... dan bola itu melayang ke udara. Gerak lambat. Bola berputar sempurna di atas telapak tangan Shani, lalu meluncur ke arah ring, dan—swish! Masuk tanpa menyentuh tepi.

Ledakan sorakan dari para murid mengisi udara kembali. Tapi Freya tidak ikut bersorak. Ia hanya diam, bibirnya sedikit tersenyum, sangat tipis, bahkan nyaris tak terlihat.

Ada keindahan yang aneh di balik permainan itu. Bukan hanya karena Shani pandai bermain basket, tapi memang karena pesonanya.

"Makanya, kalau suka bilang..." Ujar Azizi. Kemudian menarik tangan Freya keluar dari kerumunan. "Tokonya ntar keburu tutup, Ayo.." ajaknya. Meski sedikit enggan, Freya terpaksa mengikuti Azizi, menjauh dari keramaian, dari perhatiannya pada Shani.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!