“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”
“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”
“Sialan lo, Sas!”
•••
Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.
Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.
Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Saya Rela Kamu Manfaatkan
"Kamu tahu sedang berhadapan dengan siapa? Saya putra tertua Hardjosoemarto. Saya yang memegang tanggung jawab dari nama besar keluarga saya, dan sekarang kamu bagian dari Hardjo." Sastra mengambil langkah untuk berbicara bijak dengan Maha tanpa ingin menyudutkan perempuan ini, bicara dengan Maha harus penuh pertimbangan supaya tidak diterima dengan penafsiran yang salah.
"Tidak akan ada yang menjerumuskan kamu kedalam kesusahan, saya bisa bantu kamu Maha, saya suamimu, saya adalah laki-laki yang memegang kamu sebagai tanggung jawab saya. Ayah kamu sudah mempercayai saya untuk jaga kamu. Saya tidak akan rusak kamu, saya akan bimbing kamu sekalipun saya masih banyak salahnya."
Maha terdiam sejenak, terpaku pada kata-kata Sastra. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatnya merasa tersudut, tetapi bukan dengan cara yang keras. Sastra tidak menyerangnya, melainkan mencoba merangkulnya dengan tanggung jawab dan kepedulian yang tak bisa ia abaikan. Namun, Maha tidak tersentuh akan apa yang ia ucapkan.
Maha ingin tetap bersikeras mempertahankan sikap egoisnya, dia tidak mau termakan hasutan buaya dari laki-laki yang katanya terhormat tapi berani melanggar aturan Maha untuk tidak menyentuhnya malam tadi, walaupun itu hanya sebatas ciuman. Maha tahu, dia sendiri yang memulai tetapi seharusnya Sastra bisa menahannya dengan kekuatan yang jauh lebih besar darinya.
"Lo ngomong kaya gini karena lo mau memperdaya gue kan? Huh, gak usah sok baik kaya gini Sas, malam tadi buktinya. Gue makin benci sama lo!"
Sastra menarik napas dalam-dalam, mencoba tetap tenang meski tuduhan Maha menusuk kesabarannya. “Maha, saya tidak pernah bermaksud memperdaya kamu atau membuat kamu merasa terjebak. Apa yang terjadi semalam, saya akui itu salah. Tapi kamu juga tahu, saya sudah berusaha menahan diri. Saya tidak mau menyentuh kamu tanpa persetujuan.”
Maha mendengus kesal, menatap Sastra dengan penuh kebencian. “Lo tetap salah, Sas! Gue mabuk, dan lo manfaatin gue! Kalau lo emang laki-laki baik seperti yang lo bilang, seharusnya lo bisa menahan diri, bukan malah—” Suaranya bergetar, penuh emosi yang dia sendiri tidak tahu dari mana asalnya.
Sastra menunduk sejenak sebelum menatap Maha lagi, kali ini sorot matanya lebih lembut. “Kamu benar, saya salah karena tidak menghentikan lebih cepat. Saya tahu kamu tidak dalam keadaan sadar, dan saya seharusnya lebih tegas. Tapi, saya tidak pernah bermaksud melukai kamu. Apa yang saya lakukan semalam bukan karena ingin memperdaya kamu, Maha. Itu murni emosi, dan saya minta maaf kalau itu membuat kamu semakin benci.”
Maha tetap mempertahankan egonya, ingin tetap membenci Sastra, sampai tujuannya selesai. Maha ingin bercerai dan semuanya selesai untuk tidak berurusan dengan Sastrawira lagi.
“Gue ngga percaya lo, Sas,” Maha berujar, suaranya kini terdengar lebih pelan namun masih dipenuhi dengan perlawanan. “Lo cuma ngomong kaya gitu supaya gue merasa bersalah.”
Sastra menggeleng pelan, akhirnya menyerah untuk tidak membahas secara mendalam, ia akan ambil jalan cepat untuk membawa Maha lebih paham tentang dunianya. “Yasudah terserah kamu. Sekarang saya mau kasih penawaran buat kamu, tolong dengarkan saya dulu."
Sastra menatap Maha dengan tatapan serius, tetapi kali ini mencoba keras memaksakan untuk Maha bisa mengerti. "Dengarkan saya dulu, dan setelah itu, kamu bebas memilih apa yang kamu mau."
Maha tetap bersikeras, lengannya bersilang di dada, matanya menyipit curiga. "Penawaran apa lagi sekarang? Lo mau semakin mengkontrol hidup gue, Sas?"
Sastra menghela napas pelan. "Tidak Maharani, dengarkan saya dulu baru bicara. Kamu terus salah paham kalau begini caranya."
Maha diam, tetapi sikap menentangnya mulai berkurang. Dia penasaran, meski enggan mengakuinya.
"Kamu ingin bekerja kan? Kalau gitu saya beri kamu penawaran sebagai asisten pribadi saya bagaimana?"
Maha menatapnya lekat-lekat kala Sastra juga menatapnya dengan penuh intensitas, dan dia hanyut mendengarkan suara Sastra.
Sastra kembali melanjutkan melihat respon perempuan ini yang terdiam. "Kamu selalu bilang ingin mandiri, ingin punya pekerjaan sendiri tanpa harus bergantung sama siapa pun. Jadi, saya kasih kamu kesempatan itu. Jadi asisten pribadi saya di kantor, bantu-bantu pekerjaan saya setelah kamu pulang sekolah. Saya akan ajarkan semua yang perlu kamu tahu tentang bisnis, tentang tanggung jawab, dan tentang bagaimana menghadapi dunia nyata."
Namun setelah Sastra memperjelas ucapannya, Maha menatap Sastra dengan alis terangkat, merasa aneh mendengar penawaran ini. "Asisten pribadi lo? Ngapain juga gue mau kerja buat lo? Lagian, apa bedanya sama gue tetap dikontrol sama lo?"
Sastra tersenyum tipis, seolah sudah memprediksi reaksi Maha. "Saya bukan untuk mengkontrol kmu , Maha. Ini tentang kesempatan. Kamu mau mandiri, kan? Kamu ingin punya hidup sendiri, kan? Maka inilah jalannya. Kamu bisa lihat sendiri, kamu bisa belajar sendiri, dan tidak ada yang memaksamu. Tapi kalau kamu ingin mencoba sesuatu yang berbeda, ini bisa jadi sebuah awal."
Maha terdiam lagi, pikiran berkecamuk dalam kepalanya. Tawaran itu terdengar menggoda, tapi egonya masih menahan dirinya.
"Kenapa lo tiba-tiba mau ngasih gue kerjaan? Apa maunya lo?" tanyanya curiga.
Sastra menatapnya dengan mata yang jujur. "Karena Kamu punya potensi, Maha. Kamu cuma perlu arahan. Saya tidak mau kamu terjebak di dunia yang salah, apalagi sampai terpengaruh hal-hal buruk. Kamu bisa benci saya kalau mau, tapi saya tidak akan biarkan kamu hancur karena keputusan impulsifmu."
Maha menggigit bibir, masih mencoba melawan perasaannya yang terasa ingin goyah. Ia mengingat kembali percakapan dengan Tara di bar. Kata-kata itu menghantui pikirannya—hidup memang tak selalu bisa berjalan sesuai idealisme. Terkadang, kenyataan menuntut kita untuk membuat keputusan yang lebih praktis, lebih realistis. Dan mungkin, inilah salah satu momen di mana Maha harus sedikit menelan egonya.
"Intinya Lo juga tetep mau kontrol gue kan Sas?" Lagi-lagi Sastra mendapatkan pertanyaan tak terduga, ternyata merayu Maha adalah bagian tersulit dari pada menghadapi banyak orang keras kepala dalam dunia bisnis, tapi Maha adalah tantangan yang berbeda. Kali ini, dia tidak bisa sekadar menggunakan logika atau kekuasaan. Dia harus menyentuh sisi emosionalnya tanpa memaksa.
“Maha,” ucap Sastra pelan, “kalau saya cuma mau mengontrol kamu, saya tidak akan repot-repot negosiasi kayak gini. Saya bisa aja bikin kamu nurut tanpa harus ngomong panjang lebar.”
Maha mendengus, mencoba menutupi rasa tidak nyamannya. "Lagi-lagi ngomongin kuasa, lo emang suka gitu."
Sastra tetap tenang, tidak terpancing. “Kalau memang itu yang kamu pikir, kenapa saya tidak melakukan itu dari awal? Kamu tahu saya punya cara untuk membuat hidup kamu jauh lebih susah dari ini, tapi itupun kalau saya mau dan egois. Kenyataannya saya tidak memilih jalan itu.
Maha menelan ludah, tidak bisa menyangkal kebenaran dari kata-kata Sastra. Tapi dia masih belum mau menyerah sepenuhnya. “Lo tetap aja sok pahlawan, Sas. Lo pikir lo bisa selamatin gue dari segala hal buruk di dunia ini? Gak ada yang bisa selamatin gue kecuali diri gue sendiri.”
Sastra mengangguk pelan, mengakui argumen itu. “Kamu benar. Saya tidak bisa selalu ada untuk selamatin kamu. Tapi saya bisa tunjukin jalan yang lebih baik. Kamu mau mandiri, kan? Saya cuma nawarin cara buat kamu bisa berdiri di atas kaki kamu sendiri tanpa jatuh ke dalam lubang yang sama.”
“Kenapa lo mau bantu gue, Sas?” Maha bertanya, suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan. “Gue kan udah bilang gue benci lo.”
Sastra tersenyum tipis. “sesimpel saya bilang kalau kamu perempuan yang harus saya bimbing, tapi kamu jangan berpikir ini untuk saya, Maha, ini untuk masa depan kamu dan saya akan dukung kamu sebanyak mungkin. Saya tidak tahu kedepannya kamu akan tetap tidak suka sama saya atau justru sebaliknya, tapi saya akan ada di samping kamu, dan itu cukup untuk saya melihat bagaimana kamu bisa terbang dengan sayap mu sendiri."
Maha mengalihkan pandangannya, merasa dilema didalam dirinya semakin kuat. Dia tidak tahu harus berkata apa, tapi egonya masih menolak untuk sepenuhnya luluh.
"Jadi," Sastra melanjutkan, "kamu hanya perlu memanfaatkan saya, apapun yang kamu mau selagi dalam batasan yang tidak menganggu saya."
Maha kembali menoleh kearah Sastra, benar juga. Dia harus memanfaatkan laki-laki ini, Maha akhirnya setuju dengan pemikiran Tara bahwa ia harus berpikir realistis dalam keadaannya yang sekarang. Memanfaatkan dengan sebaik-baiknya antara misi dan kebutuhannya. Selain untuk mengusik emosional dan uangnya, seharusnya Maha bisa juga memanfaatkannya untuk bersikap semakin buruk didekatnya, itu akan sangat menguntungkan Maha karena berpotensi besar akan membuat Sastra menceraikannya.
"Oke, kalau itu mau lo, gue akan pertimbangkan tawaran lo," Maha berkata pelan, matanya bersinar dengan keputusan yang sudah bulat di dalam hati.