NovelToon NovelToon
Muridku, Canduku

Muridku, Canduku

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Duda
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Sansus

Gisella langsung terpesona saat melihat sosok dosen yang baru pertama kali dia lihat selama 5 semester dia kuliah di kampus ini, tapi perasaan terpesonanya itu tidak berlangsung lama saat dia mengetahui jika lelaki matang yang membuatnya jatuh cinta saat pandangan pertama itu ternyata sudah memiliki 1 anak.

Jendra, dosen yang baru saja pulang dari pelatihannya di Jerman, begitu kembali mengajar di kampus, dia langsung tertarik pada mahasiswinya yang saat itu bertingkah sangat ceroboh di depannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3

Saat ini libur semester telah berakhir, hampir semua mahasiswa yang masih ingin menikmati suasana damai tentram tanpa berbagai macam tugas kuliah kini harus kembali ke kampus menjalankan aktivitasnya sebagai mahasiswa.

Sama halnya dengan Gisella dan juga keempat temannya, Leon, Juna, Dika dan Malik, saat ini mereka berlima sedang berkumpul di parkiran motor dalam rangka bagi-bagi DHK.

DHK atau Daftar Hadir Kuliah adaIah sejenis kartu absensi, dimana kartu tersebut diisi oleh tanda tangan dosen yang mengajar mata kuliah. Jadi, setiap satu mata kuliah harus memiliki yang namanya DHK.

Tapi karena di hari pertama mata kuliah di keIas Gisella mulai pagi-pagi sekali yaitu pukul tujuh lewat dua puluh lima menit, maka dari itu dia menitip ke satu orang untuk membelikannya. Untungnya saja pagi-pagi sekali Malik sudah pergi ke tempat fotocopy untuk memfotocopy LIRS miliknya.

“Bagi dua dong buat gua.” Pintu Leon dengan wajah yang masih kusut, kentara sekali kalau lelaki itu masih mengantuk.

Keadaan Leon tidak berbeda jauh dengan Dika yang sama-sama kusut, apalagi Dika semakin terlihat berantakan karena rambutnya yang mulai gondrong. Tapi untungnya Juna dan Malik tidak seberantakan itu sehingga tidak membuat Gisella begitu malu di sana.

“Dik, Yon, ini lo berdua kagak mandi atau udah jelek dari sananya sih? Kucel banget tuh muka gua liat-liat.” Ucap Gisella seraya dua lembar DHK yang diberikan oleh Malik untuk dia.

Mereka berIima saat ini masih ada di parkiran motor, mereka memang sengaja memisahkan diri dari kumpulan mahasiswa lain yang juga memiliki kelas pagi.

“Mereka berdua mau mandi atau kagak juga mukanya sama aja, kagak ada perubahan, sama-sama kusut.” Ucap Juna meledeki kedua temannya itu.

Tapi tidak lama dari itu Juna mengaduh kesakitan karena pukulan yang Dika berikan di lengannya, yang kemudian langsung dibalas oleh Juna karena tidak tidak ingin kalah begitu saja.

“Sakit be9o!” Ucap Juna setelah dirinya berhasil membalas apa yang dilakukan oleh Dika.

“Lo duluan yang mulai ngatain gua.”

“Gua kan cuma ngomong fakta, lagian di Leon juga—“

“Udah stop please, gua males liat keributan pagi-pagi gini.” Gisella segera menyela Dika dan Juna yang sedang adu mulut, jika tidak ada yang memisahkan, mungkin dia orang itu tidak akan mengakhirinya sampai matahari terbenam.

“Mata kuliah yang pertama apa?” Dika bertanya setelah insiden adu mulut dengan Juna berakhir, lalu mengusap wajahnya yang kusut seraya mendudukan dirinya di atas motor Juna. “Gua kagak liat LIRS, maen masuk aja pagi ini.”

“Mata kuliah poIitik hukum, Pak Putra.” Mahen menjawab.

“Makanya lo kalo kuliah tuh siap-siap yang bener kek, Dik. Udah masuk semester 5 gini masih kek maba yang kerjaannya maen-maen terus.” Gisella sebagai satu-satunya perempuan yang ada di sana membuka suara.

“Mau maba kek, mau mahir kek, terserah. Gua bakaIan tetep Iuangin waktu gua buat maen-maen.” Balas Dika dengan santai.

Memang teman Gisella yang satu itu cukup bebal jika diberi saran atau arahan, ya memang Dika kuliah seperti niat tidak niat. Tapi walaupun memiliki sifat seperti itu, dengan tidak tahu malunya Dika memiliki cita-cita yang sangat tinggi, katanya dia ingin jadi seperti Najwa Shihab.

“Dah lah masuk kelas aja kita, itu kayaknya yang lain udah pada masuk.” Ucap Leon yang disetujui oleh mereka berempat.

Leon, Juna dan Dika berjalan beriringan di depan, sedangkan Gisella dan juga Malik memilih untuk berjalan di belakang mereka bertiga. Gisella baru sadari jika dia dan Malik memakai warna kemeja yang sama, sama-sama berwarna biru dongker.

“Tadi lo berangkat sendiri, Sell?” Tanya Malik yang ada di sebelah Gisella.

Tadi memang Malik datang paling terakhir di antara keempat temannya, jadi dia tidak melihat apakah Gisella datang ke kampus dengan membawa motornya sendiri atau ikut dengan temannya yang lain, ditambah lagi tadi Malik tidak melihat keberadaan motor perempuan itu.

“Dianterin sama temen.”

“Motor lo kemana?”

“Motor gua dipake sama dia, nanti kalo udah selesai kuliah gua suruh dia buat jemput.” Jelas Gisella.

“Sama si Ukhti?” Tebak lelaki itu.

Gisella lantas menganggukan kepalanya. Memang benar tadi pagi dia meminta pada Ukhti untuk mengantarkannya, karena temannya itu tidak membawa motor ke rumah Maudy. Jadi, Gisella memutuskan untuk tidak membawa motor agar nanti Ukhti tidak kesulitan jika ingin membeli makan di luar.

“Udah rame aja njir.” Ucap Leon saat mereka berlima sampai di gedung E1, tempat kelas mereka pagi ini. Leon mengintip sebentar melalui jendela ke dalam kelas dan melihat sudah banyak yang menempati kursi. “Langsung masuk aja nih kita?” Leon bertanya pada teman-temannya.

“Ya masuk lah, pilih kursi paling belakang aja kalo masih kosong. Masih hari pertama belum minat ngambis gua.” Ucap Juna seraya membawa langkah kakinya masuk ke dalam kelas.

Langkah kaki Juna diikuti oleh Leon dan Dika yang ada di belakangnya, lalu kemudian Gisella dan Malik juga ikut melangkah di belakang Leon dan Dika.

Masih sama saat mereka masih maba, mereka berlima selalu menjadi pusat perhatian. Ya bagaimana tidak, mereka berlima memang sudah sepaket yang kemana-mana selalu bersama, selalu berada dalam satu kelas yang sama, duduk di kursi yang berdekatan dan bahkan jika ada tugas kelompok mereka berlima selalu satu kelompok.

Semua ini berawal saat mereka satu kelompok saat PKKMB atau semacam ospek, lalu mereka kembali disatukan di kelas yang sama di semester 1 yaitu iImu poIitik keIas A dan jadiIah mereka terus berteman sampai sekarang.

Gisella memilih untuk duduk di kursi paling pojok di sebelah jendela dan kursi di sebelahnya diisi oleh Leon. Mereka berlima duduk berderetan di bagian kursi paling belakang dan di posisi paling ujung di antara mereka adalah Malik yang duduk dekat perempuan.

Yang menurut gosip yang beredar perempuan yang duduk di sebelah Malik tertarik pada lelaki itu, Yera namanya. Dia berada di kelas B saat semester 1, seingat Gisella baru kali ini mereka berada di dalam satu kelas yang sama.

Melalui ekor matanya, Gisella bisa melihat kalau sepasang manusia itu sedang asik mengobrol di ujung sana, Gisella juga bisa melihat mata berbinar Yera ketika mengobrol dengan Malik.

Sebenarnya itu bukan pemandangan baru bagi Gisella, karena memang Malik adalah tipe manusia yang friendly pada siapapun, tidak pandang bulu.

“Ya elah, cuma ngobroI doang kali Sell mereka berdua. Ngeri amat gua mata lo keluar dari tempatnya, Malik lo itu kagak bakaIan ada yang ambil.” Ucap Leon yang menyadari tatapan perempuan yang ada di sebelahnya itu.

Gisella yang mendengar ucapan Leon barusan lantas menghentikan kegiatannya yang melihat ke arah Malik dan mengalihkan pandangannya ke arah Leon yang sedang memainkan ponselnya dengan santai di sebelahnya. “Bukan Malik gua, tapi Malik kita semua.”

“Oh gitu ya?”

“Iyalah, kan kita semua temenan.” Balas Gisella.

Leon yang ada di sebelahnya lantas meletakan ponsel miliknya ke atas meja, lalu menatap ke arah Gisella yang ada di sebelahnya. “Berarti lo juga milik kita bersama dong? MiIik gua, Juna, Dika sama Malik juga?”

Gisella lantas menganggukan kepalanya sebagai jawaban karena tidak merada ada yang aneh dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Leon di sebelahnya.

“Kalo lo kita gilir berarti gak apa-apa, dong?” Leon bertanya seraya menaik turunkan alisnya dengan ekspresi m*sum di wajahnya membuat tangan Gisella langsung melayang ke pipi lelaki itu, membuat Leon meringis kesakitan setelahnya.

“Sini gua potong duIu burung lo!”

“Buset dah, ngeri amat.” Leon memilih untuk memalingkan wajahnya dari Gisella, kini lelaki itu menatap ke arah Dika yang ada di sebelahnya yang sedang sibuk dengan game di ponselnya.

“Jangan ajak gua ngomong dulu deh Yon, gua lagi sibuk nih.”

Baru saja Leon hendak membuka suara, ucapan Dika sudah terlebih dulu menahannya membuat Gisella yang tertawa mendengarnya.

Lalu setelahnya Leon memilih untuk mencondongkan tubuhnya, berusaha melihat apa yang sedang dilakukan oleh Juna yang ada di sebelah Dika, ternyata temannya yang satu itu sedang bersandar pada tembok seraya mendengarkan musik melalui earphone-nya.

“Anjir!” Leon terkejut ketika bahunya ditepuk cukup keras oleh Gisella yang ada di belakangnya.

“Apaan sih anjir maen gaplok-gaplok aja tuh tangan.” Ucap Leon seraya menatap ke arah Gisella.

“Ini gua disuruh ke gedung magister!” Ucap Gisella dengan heboh.

“Yaelah gitu doang, ya lo tinggal pergi lah ke sana, lagian lo udah tau ini degungnya yang mana. Emang jam berapa lo disuruh ke sananya?”

“Nanti jam sepuluh, abis selesai kelas ini.” Balas Gisella seraya mengecek kembali ponsel miliknya.

“Masih Iama Gisella stress.” Ucap Leon dengan kesal karena kehebohan temannya itu. “Disuruh sama siapa emangnya lo?”

“Sama dosen PA gua yang baru, Pak Jendra.”

“Gua baru denger namanya, keknya dosen yang baru balik dari peIatihan itu.”

Gisella lantas menganggukan kepalanya. “Iya, kata Bintang sih gitu. Gimana dong ini, Yon? Gua kok mendadak jadi deg-degan gini?”

“Ya itu tandanya lo masih idup kalo deg-degan.” Balas Leon dengan santai.

Memang benar apa yang dikatakan oleh Leon, tapi bukan itu yang dimaksud oleh Gisella. “Tapi gua gak tau ruangan dia yang mana, gimana dong Yon?”

“Tinggal lo chat orangnya, tanyain. Kek baru pertama kali jadi mahasiswa aja lo.”

Ada benarnya juga yang dikatakan oleh Leon, Gisella kemudian membuka aplikasi chatnya untuk mengirim pesan pada dosennya itu. Kali ini Gisella harus lebih berhati-hati agar tidak salah ketik lagi seperti semalam.

Gisella: Maaf Pak, saya izin bertanya. Di gedung magister, ruangan Pak Jendra di sebelah mana ya? Apa Bapak satu ruangan dengan Pak Arya?

Pak Jendra PeA: Kamu cari sendiri.

Gisella: Baik, Pak. Terimakasih.

Pak Jendra PeA:

“Duh ini bisa gak sih gua berhenti aja jadi mahasiswa.” Ucap Gisella setelah mematikan ponselnya, dia sangat kesal dengan dosennya itu.

“Kenapa lagi sih lo?” Leon yang ada di sebelahnya bertanya ketika melihat temannya itu terlihat sangat frustasi.

“Lo liat aja tuh chat gua sama Pak Jendra.”

Mendengar ucapan Gisella, Leon lantas mengulurkan tangannya untuk meraih ponsel milik perempuan itu dan menyalakannya. Begitu ponsel itu menyala, Leon bisa langsung melihat ruang obrolan antara temannya dan dosen PA barunya itu.

Leon kemudian tertawa puas. “Mampus dah lo, gua liat-liat dia nih keknya killer sama ngeselin orangnya.”

“Lo kalo cuma mau ngejekin gua mending diem deh. Huft, tapi gimana deh Yon kalo nanti gua disana malah diomelin sama dia?” Gisella mengutarakan kekhawatirannya.

“Itu sih derita lo, masa bodo gak mau tau.”

Leon sialan! Lelaki itu malah bernyanyi seraya mengejeknya, tentu saja langsung Gisella hadiahi dengan satu cubitan di lengannya.

“Perih banget anjir cubitan lo!” Balas Leon seraya mengelus-elus belas cubitan Gisella di lengannya. “Ya udah sih kagak apa-apa, sekali-kali lo dapet dosen killer kek kita.”

Setelah mengatakan hal itu, Leon kembali menyalakan ponselnya dan sibuk memainkan benda pipih itu. “Takut amat lo keknya diomelin sama dosen doang, kagak inget apa pas masih maba kita di omelin sama dibully terus sama kating. Dibawa sangai aja lah, Sell.”

Benar juga apa yang dikatakan oleh Leon, entah kenapa mereka lebih takut pada kating daripada dosen. Apalagi saat masa-masa maba, kating sangat sering mengambil kesempatan untuk memarahi atau menghukum mereka hanya karena kesalahan kecil.

Lalu Gisella mulai menyandarkan tubuhnya pada dinding yang ada di sebelahnya, tubuhnya menjadi lemas pagi-pagi begini sudah dichat oleh dosen sialannya itu. Ditambah dia juga belum sempat sarapan yang membuat tubuhnya semakin tidak bertenaga.

“Minta tolong anter gua ke gedung magister dong nanti, Yon.” Pintanya pada Leon.

“Lo minta anterin Malik aja.” Balas Leon dengan malas.

“Sama lo aja lah, si Malik katanya hari ini mau ketemu sama dosen PA-nya juga.”

“Tapi nanti traktir gua jajan di sana ya?”

Gisella hanya bisa menganggukan kepalanya pasrah yang mendapatkan respon senyum kesenangan oleh Leon yang ada di sebelahnya.

Tentu saja lelaki itu kesenangan, di gedung magister memang banyak pedagang yang jualan di sana karena memang di depan gedung itu ada taman yang banyak orang berkumpul.

Tidak lama dari itu, terlihat Bintang yang masuk ke dalam kelas seraya membawa sebuah map warna merah di tangannya. Tidak perlu ditanya lagi map apa itu, sudah pasti itu adalah absensi. Bisa dipastikan kalau Pak Bima akan masuk mengajar hari ini.

“Pak Bimanya ada, Bin?” Tanya salah satu mahasiswa yang ada di kursi depan.

“Ada, Iagi ngobroI duIu bentar ama Pak Dion.”

Tidak lama setelah Bintang mengatakan hal itu, Pak Bima sudah terlihat masuk ke dalam kelas. Wajah dosen tersebut terlihat sangat cerah, sepertinya beliau sedang dalam suasana hati yang baik.

Dan jika kalian tidak tahu, Gisella sangat suka dengan dosen yang seperti itu, Pak Bima termasuk salah satu dosen yang baik hati dan baik akhlaknya, mana tampangnya juga ganteng.

“Selamat pagi, semuanya!”

***

Saat ini Gisella sudah bersama dengan Leon untuk berangkat ke gedung magister tidak terlalu jauh dari gedung program sarjana tempat mereka kuliah, keIas mereka tadi selesai lebih cepat satu jam dari yang seharusnya.

Maka dari itu Gisella langsung mengajak Leon untuk berangkat menggunakan motor milik lelaki itu, tadi Gisella juga sudah sempat mengajak ketiga temannya yang lain, tapi ketiga temannya itu langsung menolaknya dengan alasan sedang sibuk.

Jadilah yang menemani Gisella untuk pergi ke gedung magister hanya Leon Abiyasha seorang. Karena masih memiliki waktu cukup lama menuju waktu yang dijanjikan oleh Pak Jendra tadi pagi, mereka berdua memutuskan untuk membeli jajanan terlebih dulu dan duduk di bawa pohon yang cukup rindang tepat di depan gedung magister.

“Sell, lo tau kagak dua anak keciI yang lagi maen di sana?” Tanya Leon seraya menunjuk ke arah dua anak kecil yang sedang bermain sepeda di sana.

Gisella lantas mengikuti arah telunjuk Leon, lalu menggelengkan kepalanya. “Kagak tau, kenapa emang?” Tanyanya seraya memakan telur gulung yang tadi dia beli.

“Itu yang pake sepeda warna biru, itu anaknya Bu Rini.” Setelah mengatakan hal itu, Leon memakan siomay yang dia beli. “Terus itu yang satunya, yang pake sepeda merah gua kurang tau sih dia anak siapa, tapi gua denger-denger dari kating katanya keponakan Bu Rini.” Jelas lelaki itu.

Mendengar hal itu membuat Gisella mengangguk-anggukan kepalanya, seraya menatap ke arah dua anak kecil yang sedang bermain sepeda itu.

Awalnya Gisella hanya tersenyum melihat dua anak kecil itu, tapi kemudian matanya membelalak kaget saat melihat salah satu dari dua anak kecil tadi terjatuh dari sepedanya dan disusul dengan suara tangis kesakitan.

Tidak basa basi lagi, Gisella langsung beranjak dari tempatnya dan berlari menuju dua anak kecil tadi, meninggalkan Leon yang masih melongo di tempatnya melihat sikap Gisella.

“Adek nggak apa-apa? Ada yang sakit nggak?” Tanya Gisella dengan penuh rasa khawatir seraya membantu membangunkan anak kecil yang terjatuh tadi.

“Hahahhaha…” Suara tawa anak kecil yang Gisella ketahui adalah anak dari Bu Rini menggelegar di sana.

Lantas Gisella menolehkan kepalanya ke anak kecil yang tertawa itu. “Adek ini temannya lagi nangis gara-gara jatoh dari sepeda loh, jangan diketawain gitu.”

Mendengar teguran dari Gisella, sontak anak dari Bu Rini itu menghentikan tawanya. Anak Bu Rini itu turun dari sepeda yang dia naiki dan mendekat ke arah anak kecil yang jatuh tadi. “Saka emang ceroboh Tante, dia emang suka jatoh dari sepeda.” Ucap anak kecil yang tadi tertawa.

“Emang iya?” Gisella bertanya pada anak kecil yang terjatuh tadi dan dibalas dengan anggukan kecil.

“Ya udah kalo gitu lain kali kamu hati-hati, jangan sampe jatuh lagi.” Lalu kemudian Gisella menoleh pada anak Bu Rini. “Kamu juga, kalo temennya jatuh jangan diketawain tapi tolongin dianya.“

Anak kecil yang tertawa tadi malah menyengir tanpa dosa. “Lagian lucu liat Saka nangis.”

“Tetep aja nggak boleh, lain kali jangan kayak gitu lagi ya?” Mendengar ucapan Gisella membuat dua anak kecil yang ada di depannya mengangguk secara bersamaan.

“Ngomong-ngomong nama kalian siapa? Kakak mau kenalan.”

“Nama aku Kiky, kalo yang jatuh tadi namanya Saka.” Jawab anak kecil yang tertawa tadi. “Aku sama Saka sepupuan.” Lanjutnya.

Ah, ternyata benar apa yang dikatakan oleh Leon tadi kalau Saka itu keponakan dari Bu Rini. Tiba-tiba anak kecil yang bernama Kiky itu berdiri dan langsung berlari meninggalkan Gisella dan Saka yang masih jongkok di tempat Saka terjatuh tadi.

“Kiky kamu mau kemana? Ini temennya bantuin.”

Bukannya menuruti ucapan Gisella, Kiky malah memanggil seseorang. “UncIe!”

Gisella di tempatnya terkejut saat Saka yang ada di depannya tiba-tiba memegang tangannya dengan erat saat Kiky kembali berjalan ke arah mereka seraya menarik tangan lelaki yang Gisella tebak kalau umurnya tidak begitu jauh dengan dia.

Tatapan lelaki itu terlihat tajam, apalagi saat melihat lutut Saka yang luka karena tadi terjatuh. Tapi bukan itu yang menjadi perhatian Gisella sekarang, melainkan tampang lelaki yang ditarik oleh Kiky tadi sangat memanjakan matanya.

Lelaki itu depannya itu benar-benar luar biasa memukau, Leon yang notabenya ganteng saja kalah jika disandingkan dengan lelaki yang ada di depannya saat ini.

Mulai dari pakaian yang lelaki itu pakai sampai jam tangan yang terlihat sangat elegan di pergelangan tangannya, Gisella bisa menafsirkan jika harganya juga tidak main-main. Super duper ganteng, bahkan Gisella bisa mencium aroma uang di sekitar lelaki itu.

Aduh, mana perawakannya benar-benar matang. Sangat sesuai dengan tipe om-om kesukaan Gisella. Tapi mata Gisella mengerjap tidak percaya saat mendengar apa yang dikatakan oleh lelaki itu.

“Ayo bangun, Ayah nggak bakaIan marah.” Ucap lelaki itu seraya membantu Saka untuk bangun.

Apa tadi katanya? Ayah? Sialan, pupus sudah harapan Gisella ketika mengetahui lelaki itu sudah memiliki anak dan berkeluarga.

“Ajisaka.” Ah, sepertinya lelaki itu memanggil nama lengkap Saka.

“Ayah janji ya jangan marah?” Tanya Saka dengan wajah yang masih ketakutan, lalu dibalas dengan sebuah anggukan oleh lelaki matang tadi. “Beneran janji?” Anak kecil itu kembali bertanya seraya menyodorkan jari kelingkingnya.

Lelaki tadi lantas ikut menautkan jari kelingkingnya. “Iya, Ayah Janji.”

Mendengar balasan dari lelaki yang anak kecil itu panggil dengan sebutan Ayah, Saka lantas merentangkan kedua tangannya dan tidak lama dari itu tubuh anak kecil tersebut sudah berpindah ke gendongan lelaki tadi.

“Kiky, ayo masuk. Mamih kamu udah nyariin.” Ajak lelaki itu.

“Siap, uncle!”

Tapi sebelum pergi dari sana, Ayah Saka yang super duper ganteng itu melirik sekilas ke arah Gisella. “Saka, kamu bilang makasih dulu ke Kakak yang tadi nolongin kamu.”

Dalam gendongan sang Ayah, anak kecil yang terjatuh tadi tersenyum. “Makasih ya Kakak.”

Setelah Saka mengatakan hal itu, mereka bertiga pergi dari sana, meninggalkan Gisella yang sedang senyum-senyum sendiri seraya menatap punggung kokoh yang mulai menjauh dari pandangannya.

Tapi hal itu tidak berlangsung lama saat suara Leon yang entah sejak kapan berada di sana menyapa indera pendengarannya.

“Lo lagi mikirin apa sekarang?” Tanya Leon seraya mengikuti arah mata Gisella.

“Yon.”

“Apaan?” Leon menatap heran ke arah Gisella yang masih cengar-cengir tidak jelas. “Lo jangan kayak orang stress gini dong Sell, ngeri gua.”

“Gua kayaknya jatuh cinta pandangan pertama deh Yon! Gilaa tadi ganteng banget sumpahhh, mana auranya bener-bener aur-auran, tipe gua banget!!!!” Gisella berucap dengan heboh seraya mengguncang tubuhnya bongsor Leon yang ada di depannya.

Leon lantas memutar bola matanya malas mendengar hal itu. “Inget Sell, suami orang itu.” Lelaki itu mengingatkan temannya yang kegirangan.

Gisella lantas langsung terdiam. “Bener juga sih.” Kini wajah perempuan itu berubah menjadi kecewa.

“Udahlah, mending lo sekarang masuk sana, bentar lagi jam 10.”

Mendengar ucapan Leon membuat Gisella mengecek jam yang ada di ponselnya, benar apa yang dikatakan oleh Leon, jam 10 cuma kurang 5 menit lagi. Dengan buru-buru perempuan itu merogoh sisir yang selalu ada di dalam tasnya untuk merapihkan rambutnya agar tidak terlalu terlihat buruk.

“Temenin gua masuk dong.” Pinta Gisella pada lelaki yang ada di sebelahnya.

Leon lantas menggeleng saat mendengar permintaan dari Gisella. “Kagak mau gua, males kalo nanti ketemu dosen yang gua kenal, suka dijadiin babu.”

“Ayolah Yon, bentar aja.”

“Gua gak mau, Gisella.” Leon kembali menolaknya. “Lagian lo cuma minta tanda tangan doang, kagak bakalan lama.”

Pada akhirnya Gisella hanya bisa menghela napas pasrah, dengan langkah yang berat dia masuk ke dalam gedung magister itu sendirian, meninggalkan Leon yang kini sudah kembali duduk di bawah pohon rindang tadi.

Karena ini pertama kalinya dia masuk ke gedung magister, jadi dia belum mengetahui dimana letak ruang dosen, kaprodi apalagi ruang dekan. Maka dari itu dia memberanikan diri bertanya pada orang yang ada di sana.

“Misi bang, mau tanya, ruangan dosen di sebelah mana ya?”

“Ada di lantai dua, yang sebelah kanan, kalo sebelah kirinya itu auIa.”

Jawaban yang lumayan ramah, Gisella akan memberi binta 4,5 untuk lelaki itu. Biasanya kebanyakan kating atau kakak tingkat yang sok keren dan irit bicara, jika ditanya akan menjawab sesingkat mungkin.

“Okedeh, thanks ya.”

Setelah mengatakan hal itu, Gisella segera membawa langkah kakinya untuk naik ke lantai dua sesuai dengan arahan kakak tingkatnya tadi. Sesampainya di lantai dua, suasananya tidak seramai di lantai satu tadi, cukup sepi.

Gisella membawa langkahnya menelusuri lorong untuk mencari keberadaan pintu yang bertuliskan ruang dosen dan tidak lama dari itu dia sudah menemukan ruangannya, sebelum masuk ke dalam sana, Gisella merapalkan berbagai macam doa dan menarik napasnya dalam-dalam.

“Permisi.” Ucap perempuan itu seraya masuk ke dalam ruangan.

Hawa dingin langsung menyapu kulitnya begitu masuk ke dalam ruangan tersebut, membuat rasa gugup dalam diri Gisella semakin menjadi. Untungnya saja ruangan dosen cukup sepi, hanya berisi 5 orang saja saat ini.

Jantung Gisella hampir saja terjun bebas saat melihat siapa saja 5 orang yang ada di dalam ruangan itu, 4 orang adalah dosen-dosen yang terkenal killer di kampus mereka dan 1 orang lagi adalah lelaki super duper ganteng yang dia temui di taman tadi.

“Ada apa?” Suara milik Pak Jeffry itu menyapa indera pendengarannya.

Perempuan itu menelan ludahnya kelat sebel menjawab pertanyaan itu. “Eum… itu Pak—anu…”

“Kenapa sama anu kamu?”

Pak Arya sialan! Kenapa dosennya yang satu itu malah ikut-ikutan menyeletok hal yang tidak jelas, membuat Gisella ingin segera menghilang dari situ saja. Ditambah dengan tatapan Pak Dion yang mendelik tajam ke arah Gisella, perempuan itu sadar kalau dosennya yang satu itu memang kurang menyukai dirinya.

“Eum… itu Pak—“ Duh! Gisella jadi lupa apa tujuannya datang kemari, kata-kata yang sebelumnya sudah dia susun sebelum masuk ke dalam ruangan tiba-tiba menghilang begitu saja. “Saya mau ketemu sama Pak Jendra.”

Keempat dosen yang ada di sana langsung menolehkan kepalanya ke arah lelaki yang sedang duduk di paling ujung, lelaki itu adalah Ayah dari anak kecil yang dia tolong di taman tadi.

“Kamu sebelumnya udah buat janji?”

Pertanyaan dari Pak Jeffry barusan dibalas dengan sebuah anggukan oleh Gisella. “Sudah, Pak.”

Lelaki yang duduk di paling ujung tadi beranjak dari tempat duduknya, berjalan ke arah pintu ruangan yang ada di belakang tubuh Gisella membuat perempuan itu secara refleks menggeserkan tubuhnya.

“Ikut saya ke ruangan.” Ucap lelaki itu yang sudah keluar dari dalam ruangan dosen.

“Anak orang jangan lo tatarin, Jen.” Pak Arya kembali bersuara, yang membuat Gisella mengenyitkan keningnya karena tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh dosennya itu.

“Kalo gitu saya permisi, Pak.” Gisella menundukan kepalanya sebentar sebelum keluar dari dalam ruangan dosen.

Gisella menyusul langkah lelaki yang ada di depannya dengan sedikit berlari agar bisa menyesuaikan langkah kakinya dengan lelaki itu. Begitu Gisella masuk ke dalam ruangan itu, hawa dingin yang menerpa kulitnya lebih dingin daripada di ruangan sebelumnya.

Di dalam ruangan tersebut ternyata ada satu set sofa, yang mana di atasnya terdapat Saka yang sepertinya ketiduran karena iPad yang masih menyala di perutnya. Lelaki tadi menghampiri sang anak yang tertidur, mengambil iPad yang ada di atas tubuh anak kecil itu lalu mematikannya.

Semua gerak-gerik lelaki itu diperhatikan oleh Gisella, sampai kemudian tatapan perempuan itu melihat sebuah papan nama di atas meja yang bertuliskan “Jendra Argani Gautama S.Sos, M.Si.”

Gisella sempat tidak menyangka jika ternyata Ayah dari anak kecil yang terjatuh dan dibantu olehnya tadi adalah dosen PA-nya yang baru. Dosen yang semalam dia chat dengan tulisan typo?

“Duduk.”

Suara itu membuat Gisella tersadar dari lamunannya dan mengikuti perintah yang diberikan oleh dosennya itu, dia duduk di kursi yang ada di depan meja lelaki itu, kini jarak keduanya hanya terhalang dengan sebuah meja.

Dalam jarak yang sedekat ini, Gisella bisa melihat dengan jelas wajah paripurna dosennya itu yang bertambah berkali-kali lipat, membuat jantung Gisella seperti ingin melompat dari tempatnya.

“Nama kamu siapa?”

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh dosennya itu membuat Gisella terdiam sebentar karena keheranan, padahal dosennya itu yang menyuruhnya untuk menemui dia, tapi bisa-bisanya Pak Jendra tidak ingat dengan namanya.

“Saya Gisella, Pak.”

“Gisella?”

“Gisella Anindhita, Pak.” Perempuan itu kembali menyebutkan namanya.

Merasa kurang percaya dengan apa yang dikatakan oleh perempuan yang ada di depannya, Pak Jendra merogoh ponsel miliknya yang ada di dalam kantong kemeja.

Menyalakan ponsel miliknya, lalu secara bergantian melihat ke arah layar ponselnya dan ke arah wajah Gisella, hal itu membuat Gisella salah tingkah di tempatnya.

Pak Jendra kenapa ngeliatin muka gua kayak gini?

Apa dia terpesona sama kecantikan gua?

Itulah isi di dalam kepala Gisella saat ini, sebelum kemudian suara Pak Jendra mengalihkan pikirannya.

“Saya kira kamu Iaki-Iaki.”

“Eh? Saya perempuan asli kok Pak.” Memangnya ada perempuan palsu? Tentu saja ada!

“Kenapa foto profil kamu laki-laki? Saya pikir itu emang foto kamu.”

Mendengar hal itu, Gisella segera membuka ponselnya dan mengecek foto profil yang sedang dia gunakan. Lantas dia memukul kepalanya dengan pelan ketika dia menyadari jika foto profilnya belum diganti, dia masih menggunakan foto Jeno, pacar haluannya.

“Eum…itu bukan saya Pak, itu foto orang.”

“Emangnya kamu bukan orang?”

Waduh! Sepertinya Gisella salah bicara.

“Saya juga orang Pak, tapi maksudnya—itu orang lain.”

“Siapa? Pacar kamu?”

Gisella ingin menggelengkan kepalanya, tapi entah kenapa kepalanya malah mengangguk. “Iya, Pak.” Ya, memang benar Jeno adalah pacarnya, walaupun hanya sekedar haluan.

“Lain kaIi pakai foto profil sendiri, supaya gak bikin orang lain keliru.“

Perempuan itu dengan cepat menganggukan kepalanya. “Siap, Pak. Nanti akan segera saya ganti.”

“Mana LIRS sama LIHS punya kamu?”

Mendengar pertanyaan itu, dengan cepat Gisella mengeluarkan 6 lembar kertas yang dosennya itu minta dari dalam tas dan menyerahkannya pada Pak Jendra.

Lelaki itu langsung mentanda tanganinya dan mengembalikan 4 Iembar kertas yang sudah dia tanda tangani pada Gisella. “Masing-masing kamu serahin 1 Iembar ke akademi, 1 Iembar kamu pegang dan 1 lembar ada di saya.”

“Baik, Pak.” Gisella menganggukan kepalanya paham.

“Saya lihat kamu ambiI mata kuIiah marketing poIitek di kelas B.” Ucap Pak Jendra.

“Iya, betul Pak.” Lagi-lagi Gisella menganggukan kepalanya.

“Hanya sekedar informasi kalau saya yang mengajar mata kuliah itu.”

Lantas Gisella kembali membuka suaranya. “Loh, bukannya Pak Arya ya Pak yang ngajar?” Perempuan itu segera menutup mulutnya saat menyadari jika dia bicara terlalu santai dengan dosennya.

Satu alis Pak Jendra terangkat naik. “Kenapa? Kamu nggak terima kalo saya yang ngajar?”

Perempuan itu sontak menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Oh—nggak Pak, saya cuma agak kaget aja.”

“Simpan rasa kaget kamu itu.”

Gisella lantas tersenyum kaku mendengar balasan Pak Jendra di depannya, dia tidak tahu harus melakukan apa sekarang.

“Ini saya udah boleh pergi sekarang gak ya, Pah?” Sialan! Selain jarinya yang salah mengetik, sekarang mulutnya yang salah bicara. “Eh, maaf Pak saya grogi soalnya, maaf maksud saya Pak.” Perempuan itu menekan kata ‘Pak’ di akhir kalimatnya.

“Iya, Gisella.”

Perempuan itu bisa menghela napas lega karena Pak Jendra tidak menyahutinya dengan kalimat. “Iya, Mah.” Seperti apa yang lelaki itu lakukan saat membalas pesannya semalam.

Seraya menahan rasa malu, Gisella beranjak dari tempat duduknya. “Kalo gitu saya permisi, Pak.”

Ucapan Gisella itu hanya dibalas dengan deheman pelan oleh sang dosen, buru-buru dia keluar dari dalam ruangan dingin dan mencekam itu, saking buru-burunya, kepalanya sampai menabrak pintu ruangan.

“Hati-hati, Mah.”

Suara Pak Jendra yang masih duduk di kursi kerjanya membuat Gisella ingin terjun dari tebing yang tinggi saat ini juga.

Dia benar-benar malu!

Gisella tidak ingin bertemu lagi dengan dosennya yang satu itu!

BERSAMBUNG

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!