NovelToon NovelToon
Hadiah Penantian

Hadiah Penantian

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dokter
Popularitas:438
Nilai: 5
Nama Author: Chocoday

Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.

Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.

Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.

"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.

Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?

Simak kisahnya di cerita ini yaa!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Masuk Rumah Sakit

"Bukannya emang kayak gitu ya?" tanyaku sembari menoleh padanya.

"Enggak juga. Banyak kok yang gemuk tapi mukanya kayak anak kecil, cuman menurut saya, muka teteh tuh emang keliatan udah dewasa," jawabnya.

"Iya terserah aja," jawabku kembali menikmati kopi dengan roti yang kumakan.

"Teteh orang deket sini ya?" tanyanya.

Aku menoleh lalu menggelengkan kepala, "kemarin pulang ke rumah abang. Kebetulan deket sini."

Laki-laki itu mengangguk.

Deket dong sama rumah gw!

Ia tersenyum, sontak membuatku menoleh, "kenapa?"

"Enggak," jawabnya singkat.

"Emmmm.... Korban kemarin gimana keadaannya?" tanyaku.

"Udah membaik kok. Dia kemarin juga katanya mau bilang makasih sama kita berdua karena udah bawa dia ke UGD cuman saya juga bingung sampaikan ke teteh gimana. Soalnya kan belum tentu ketemu lagi juga, tapi mungkin udah jalannya ketemu lagi," ucapnya.

"Bisa sampaikan ucapan saya juga gak?" tanyaku.

Laki-laki itu mengangguk mengiyakan.

Hari sudah mulai siang, Bapak juga meneleponku sejak tadi.

"Saya duluan ya Teh. Teteh hati-hati pulangnya!" pamitnya membuatku hanya mengangguk sekalipun kebingungan.

Tidak lama setelahnya, aku juga menaiki angkutan umum beberapa kali dengan warna yang berbeda karena berbeda jalan untuk sampai ke rumah.

±1 jam kemudian, aku baru saja sampai di rumah dengan rasa lapar yang mulai menyiksa. Padahal baru saja memakan roti dan meminum kopi tanpa gula. Tapi rasanya perutku sudah keroncongan sekarang.

Aku menjatuhkan tubuhku pada sofa di ruang tengah. Sontak mamah datang lalu berkata, "neng, udah sarapan belum? Pasti abang ataupun teteh kamu juga gak bikin sarapan kan?"

"Udah tadi Mah, walaupun gak di rumah abang. Kan banyak warung yang buka kalau di kota," jawabku.

"Lagian kemarin kenapa sampe nginep di rumah abang? Bukannya cuman main sama temen kamu?" tanyanya.

"Keasikan Mah. Makanya kemaleman sampe lupa waktu, jadi neng nginep aja ke rumah abang," jawabku dengan santai.

Iya, Mamah tidak pernah tahu tentang rencana aku yang ingin konsultasi ke rumah sakit tentang gizi dan saran diet. Menurutnya, asalkan sehat semuanya akan baik-baik saja. Tapi berbeda dengan pandanganku.

Sebenarnya, selain ingin lebih sehat—aku juga ingin memakai pakaian yang terlihat cantik dengan ukuran yang banyak tersedia.

Aku masuk ke kamar—membuka laptop yang dibelikan abang beberapa bulan lalu, katanya untuk menyemangati menulis novel walaupun asalnya hanya ku buat sebagai hobi saja.

Iya, Aku sudah mulai menyukai dunia fantasi ini setelah lulus sekolah menengah. Belum banyak cerita yang aku keluarkan, hanya beberapa cerita romansa dengan pembaca yang masih terhitung jari juga.

Di tengah kerjaan itu belum selesai, perutku rasanya cukup perih. Bukan sekedar lapar tapi rasa seperti terbakar.

Rasa mual yang mulai menusuk ke dada membuatku langsung pergi ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutku.

"Neng kenapa?" tanya mamah terkejut sembari menyusulku ke kamar mandi.

Lebih terkejutnya, ia melihat muntahan darahku yang cukup banyak terdorong dengan makananku.

Nafasku mulai terengah-engah, terkejut sembari menahan rasa sakit pada lambung yang sebenarnya sudah menyiksa sejak malam di rumah abang.

Rasa perih itu memang sudah biasa kurasakan. Apalagi setelah menjalani diet ketat, tapi—rasanya ini lebih dari perih, seperti ada api di perutku.

Setelah memuntahkan semuanya—melihat mamah histeris dan memanggil bapak juga. Aku tidak sadar lagi dengan apa yang terjadi.

Beberapa jam setelahnya,

Aku terbangun—membuka mataku—memutar pandangan pada ruangan serba putih yang tidak kukenal. Ada gorden berwarna biru muda yang mengelilingi ranjang tempatku tertidur.

"Mamah!!" panggilku dengan suara samar mencari sosok wanita paruh baya itu.

Seseorang datang dari balik gorden itu, "kamu udah sadar?"

"Saya dimana ini?" tanyaku.

"Kamu tadi dibawa ke rumah sakit karena pingsan. Terus keterangan dari orangtua kamu, kamu ini muntah darah?"

Aku mengangguk mengiyakan, "perut saya rasanya kayak kebakar Dok. Panas banget!!"

"Apa yang terakhir kamu makan sebelum pingsan tadi?" tanyanya lagi.

"Minum kopi hitam tanpa gula sama roti juga," jawabku.

"Sebenarnya ini awalnya karena asam lambung yang naik. Tapi karena dibiarkan lama, dan berkelanjutan makanya bisa menyebabkan rasa terbakar kayak kata kamu barusan," jawabnya.

"Terus saya harus gimana?"

"Kamu sebelumnya punya riwayat sakit lambung? Soalnya saya tanya mamah sama bapak kamu di depan katanya enggak,"

Aku menggelengkan kepala, "emang gak pernah Dok. Saya gak pernah sampai muntah darah, kalau sekedar perih di perut sih pernah."

"Aneh juga ya kalau tiba-tiba. Kayaknya perut kamu sensitif sama kopi," ucapnya.

Aku menggelengkan kepala, "saya udah biasa minum kopi tanpa gula Dok."

"Pagi-pagi juga kayak tadi?" tanyanya.

"Biasanya agak siangan sih, kalau udah sarapan," jawabku.

"Kamu emang suka kopi hitam tanpa gula atau emang lagi jalanin diet biar bisa nahan nafsu makan?" tanyanya lagi.

Aku menelan ludah kuat sembari menahan rasa perih di perut, lalu menjawab, "saya emang lagi jalanin diet Dok."

"Berapa lama? Ada bimbingan gak?" tanyanya.

"Udah sekitar 2 bulan lalu jalaninnya. Tadinya kemarin mau konsul ke dokter buat diet, tapi emang ada kejadian dan berakhir pulang lagi," jawabku.

Dokter itu menggelengkan kepalanya, "ya sudah kalau gitu. Makasih buat penjelasannya, kamu istirahat lagi aja ya! Saya mau temui dulu orangtua kamu." Aku hanya mengangguk mengiyakan—sudah pasrah juga jika mamah dan bapak nantinya akan memarahiku karena diet ketat ini.

Tidak butuh waktu lama, aku dibawa ke ruang perawatan. Mamah hanya menghela napas sembari menatapku dengan tatapan sinis.

"Maafin neng ya Mah!" ungkapku.

"Kamu tega banget ya! Masa mamah tau dari dokter jaga tadi. Bapak kamu juga gak kasih tau mamah tentang hal ini," ucapnya dengan kesal.

"Jangan marah sama bapak, Mah. Dia cuman dilarang sama neng buat ceritain ini semua sama mamah," jawabku.

Aku menoleh pada bapak lalu memintanya untuk mengajak mamah pulang saja, sedangkan aku akan dirawat oleh kakak sepupuku yang tinggal tidak jauh dari rumah orangtuaku. Untungnya dia selalu siap untuk dimintai bantuan.

Sembari menunggu kakak sepupu dijemput oleh bapak. Aku berjalan keluar—hanya sekedar untuk menikmati angin di hari yang cukup panas.

"Kemarin jadi tersangka, tadi pagi jadi penikmat kopi, siangnya malah jadi pasien. Teteh emang berubah-ubah begitu ya?" tanya seseorang dengan clipboardnya, lalu duduk di sampingku yang duduk pada bangku taman rumah sakit.

"Kamu lagi!!" tukasku pelan sembari menghela napas.

Laki-laki itu tersenyum simpul mendengarnya, "saya tadi ke ruangan teteh. Tapi gak ada, makanya saya cariin."

"Mau ngapain nyari saya?" tanyaku sembari menoleh padanya.

Pandangan kita saling bertemu hingga beberapa detik terlewatkan.

"Ekhemmm!!"

"Mau apa nyari saya?" Tanyaku lagi.

1
Chocoday
Ceritanya dijamin santai tapi baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!