Aku ingin kebebasan.
Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.
“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”
Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.
“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Kia tertawa kecil, getir, lalu berdiri dari duduknya.
“Bagaimana mungkin aku menikah dengan ustadz, Kek?”
Suasana kembali tegang. Mami Silvia menatap Kia tajam, tapi tak menyela. Kakek Narendra tetap tenang, menunggu.
“Aku bahkan paling nggak suka dipaksa pakai hijab, Kakek!” Kia melangkah pelan, bolak-balik di ruang tengah. “Aku belum siap. Aku nggak munafik. Aku masih belajar shalat yang bolong-bolong, aku masih suka ikut balapan malam. Bahkan teman-temanku pun gak ada yang tau nama asliku. Aku ini bukan perempuan alim seperti yang kalian harapkan.”
Suara Kia mulai meninggi, napasnya memburu menahan gejolak dalam dadanya.
“Kalian kira dengan menikahkanku sama seorang ustadz, semua masalah dalam diriku bisa selesai?”
Ia menatap Kakek, luka lama tampak di balik matanya yang memerah.
“Aku ini bukan rusak, Kek. Tapi aku lelah hidup dalam cetakan yang bukan aku. Lelah jadi simbol keluarga. Kalian terus bicara soal kehormatan, tanggung jawab, citra tapi kapan terakhir kalian tanya: ‘Kia, kamu bahagia nggak?’”
Hening. Kakek tak langsung menjawab.
Kia melanjutkan, lebih pelan, tapi suaranya makin berat.
“Dan kalau Damar Faiz Alfarez itu anak kiyai, ustadz dari Mesir, orang baik, alim... justru dia pantas dapet perempuan yang juga baik, Kek. Bukan aku.”
Ia tertunduk.
“Jangan pakai dia untuk menyucikan luka yang kalian sendiri torehkan padaku.”
Kakek Narendra tetap duduk tenang. Ia tidak menunjukkan kekecewaan, tapi sorot matanya dalam, seolah memahami bahwa luka yang Kia bawa terlalu dalam untuk disembuhkan dengan paksaan.
Ia mengetukkan tongkatnya pelan ke lantai, lalu menatap Kia yang masih berdiri dengan napas tersengal.
“Kalau begitu, dengarkan aku baik-baik, Kia,” ucap Kakek lembut tapi mengandung wibawa. “Aku tidak akan memaksa. Tapi aku akan memberimu waktu.”
Kia menoleh, keningnya berkerut.
“Satu minggu,” lanjut Kakek. “Sampai hari wisudamu tiba. Gunakan waktu itu untuk berpikir, bukan untuk melarikan diri lagi. Temui Damar. Bicaralah sebagai manusia, bukan calon pasangan. Setelah itu, keputusan tetap di tanganmu.”
Mami Silvia mendesah pelan, lalu ikut angkat suara.
“Dan selama seminggu itu, kamu akan tinggal di rumah. Bukan di dojo. Bukan di apartemen teman-temanmu. Kamu ini bukan anak remaja jalanan, Kia! Ingat siapa dirimu!”
Kia memutar matanya, hendak menyela, tapi Mami mengangkat tangan.
“Aku tahu kamu benci dikurung. Tapi kamu sudah terlalu lama hidup dengan mengabaikan siapa yang membesarkanmu. Ini bukan hukuman. Ini cara terakhir kami mengingatkanmu sebelum semuanya terlambat.”
Kakek berdiri perlahan. Wajahnya teduh, tapi penuh makna.
“Aku percaya padamu, Kia. Tapi kepercayaan tidak bisa berjalan sendiri. Ia butuh tanggung jawab.”
Ia menepuk pundak cucunya dengan lembut, lalu berjalan meninggalkan ruangan, disusul Mami yang hanya memberi pandang mata dingin.
Kini, Kia berdiri sendiri di ruang megah yang terasa kosong. Dilema bergema di dadanya lebih keras daripada teriakan siapa pun malam itu.
BRAK!
Pintu ruang sparing pribadi kembali bergema di dalam rumah besar yang sunyi. Lantai matras menyambut langkah kaki Kia yang penuh amarah. Ia melepas sepatu boots-nya dengan gerakan kasar, menggulung lengan jaket lusuhnya, dan mengikat rambut merahnya tinggi-tinggi seperti hendak berperang.
"Jadi ini rencana mereka? Menikahkanku dengan ustadz alim yang bahkan belum pernah melihat ring tinju?!"
BUK!
Satu pukulan keras mendarat di samsak. Ia mundur satu langkah, lalu menendang dengan sisi kaki tepat di bawah bagian leher samsak. Dentumannya menggema, seperti suara isi dadanya yang selama ini dibungkam.
"Ustadz Damar Faiz Alfarez... lulusan Al-Azhar... anak kiyai... serius, Kek?"
DOR!
Tinju kanan Kia melayang cepat, diikuti kombinasi uppercut dan hook. Peluh mulai menetes, tapi semangatnya belum surut.
“Baik. Kalau memang kalian pikir aku cocok buat orang kayak dia. aku akan pastikan dia sendiri yang mundur dari rencana tolol ini.”
Ia berhenti. Menatap bayangan dirinya di cermin panjang yang menempel di dinding ruangan. Matanya liar, rambutnya berantakan, peluhnya mengalir.
Ia tersenyum sinis.
“Lihat siapa aku, Ustadz... Lihat baik-baik. Biar kamu sendiri yang jijik. Biar kamu tahu bahwa Kazehaya Kia ini bukan ‘putri baik-baik’ yang pantas kau bimbing ke surga.”
Ia mengambil botol air dan menyiram wajahnya. Nafasnya masih berat.
"Game dimulai sekarang," gumamnya sambil kembali memukul samsak. "Mari kita lihat seberapa kuat imanmu, Ustadz."
Di ruang tamu sederhana namun rapi di Pesantren Al-Firdaus, udara sore terasa hangat oleh aroma kayu manis dari teh yang disajikan Ummi.
Abi, duduk dengan jubah putih dan sorban yang dililit rapi di bahunya, tengah berbicara tenang dengan Ustadz Darwis, putra sulungnya yang kini menjadi salah satu pengajar senior di pesantren.
Az-Zahra, si bungsu yang baru pulang dari madrasah aliyah, duduk sambil membuka kotak bingkisan dari keluarga Narendra yang baru datang pagi tadi.
"Ini foto calon taarufnya Damar?" tanya Zahra sambil membuka map cokelat berstempel resmi keluarga besar itu.
“Eh—astaghfirullah!” serunya seketika, nyaris menjatuhkan map.
Darwis segera menoleh, menarik map itu dan melihatnya sendiri.
Matanya melebar. Mulutnya membuka tanpa suara.
Di dalam foto itu, berdiri seorang gadis muda dengan rambut merah terang menjuntai liar, mengenakan jaket kulit robek, kaus hitam dengan cetakan tulisan asing, dan celana sobek di lutut. Ia tersenyum tipis ke kamera senyum yang lebih mirip tantangan daripada ketulusan.
"Ini... calon untuk Damar?" Darwis menatap Abi dan Ummi tak percaya.
Ummi mengambil fotonya dengan ragu. Ketika melihat, ia langsung menutup mulut dengan tangan.
"Ya Allah... ini anak dari keluarga Kazehaya itu?"
Abi hanya diam. Lama. Tatapannya tak bergeser dari foto tersebut.
"Namanya Kia Eveline Kazehaya," gumam Darwis, membaca keterangan. "Anak satu-satunya dari Ny. Silvia Narendra. Lulusan bisnis internasional... dan katanya, dia diam-diam atlet bela diri di turnamen underground?!"
Az-Zahra mendekat ke Ummi, berbisik, “Ummi, rambutnya merah. Kayak karakter anime. Gimana kalau dia ngajarin anak-anak di sini nyemprot cat rambut?”
“Zahra,” tegur Ummi pelan.
Namun kekhawatiran di wajahnya tak bisa disembunyikan.
Darwis akhirnya bersuara.
“Abi... serius kita akan biarkan Damar taaruf dengan perempuan seperti ini?”
Abi Ansari menghela napas panjang. Lalu perlahan berkata, “Orang yang paling jauh dari cahaya kadang justru paling haus akan kebenaran. Jangan nilai dari satu foto.”
Tapi Darwis menjawab lirih, “Kalau cahayanya malah padamkan bara di rumah ini kita harus bersiap.”
Zahrah masih belum bisa menahan keterkejutannya. Ia meletakkan foto Kia di meja sambil mengerutkan kening dalam.
“Abi, Ummi, Kak Darwis…” katanya dengan nada setengah panik, “kalau foto ini sampai tersebar ke para santri, atau ke para pengajar bisa jadi bahan omongan satu pesantren! Rambut merah, baju robek, tampang galak banget. Ini bukan calon ustadzah, ini kayak calon ketua geng motor!”
Ia menatap kakaknya, Damar, yang baru saja masuk dari pintu belakang, menggantungkan syal lehernya di rak kayu.
"Dan kak Damar... serius mau taaruf sama orang kayak gini? Nanti orang-orang bilang apa? Masyarakat bisa salah paham! Gimana kalau dia masuk pesantren kita terus semua anak jadi ikutan ngecat rambut?!"
Damar menatap adik bungsunya itu dengan senyum tenang. Ia berjalan pelan, mengambil foto itu, lalu melihatnya sesaat tak menghakimi, tak kaget, hanya mengamati.
Kemudian ia menatap Zahrah. Lembut. Tapi penuh makna.
“Zahrah,” ucapnya tenang, “dulu saat Rasulullah menerima Islam dari malaikat Jibril, siapa yang pertama kali percaya padanya?”
“Khadijah,” jawab Zahrah spontan.
“Betul,” ujar Damar. “Dan Khadijah bukan perempuan biasa. Ia perempuan kuat. Pengusaha. Berani. Dan berbeda dari kebanyakan perempuan zamannya.”
Ia menaruh foto itu kembali ke meja.
“Aku tahu, penampilan bukan segalanya. Bisa jadi dia keras di luar karena terlalu lama tak pernah disentuh kelembutan. Bisa jadi bajunya robek karena dia berlari dari luka, bukan karena ingin kelihatan liar.”
Zahrah membuka mulut, tapi tak jadi bicara.
Damar melanjutkan, “Kalau semua orang memandang dari sisi luarnya saja, lalu siapa yang akan mengulurkan tangan untuk menuntun orang seperti dia?”
Darwis terdiam. Ummi juga mulai menunduk, memikirkan kata-kata putranya.
Damar tersenyum lagi. “Aku belum tahu apakah dia jodohku atau bukan. Tapi aku tahu setiap jiwa yang kelam pun berhak mendapatkan cahaya, asal ia masih mau belajar melihat.”
kia ni ustadz bukan kaleng" kia jdi ngk udah banyak drama 🤣🤣🤣🤣