Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***
Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pasukan baru
Hari masih gelap saat bus terakhir tiba di terminal kota. Danu turun dengan langkah pelan, menatap sekeliling sejenak. Suara kendaraan, asap, dan lampu jalanan menyambutnya seperti biasa. Tapi ada sesuatu yang tidak terasa sama.
Danu memanggil ojek online dan duduk di boncengan sambil menatap jalanan kota yang dulu ia kenal baik. Hatinya kosong. Kota ini ramai, tapi terasa sunyi. Ia bahkan tak sadar saat sudah tiba di depan indekos kecil bercat putih pudar.
"Sudah sampai, Mas," kata sang pengemudi.
Danu mengangguk, membayar, lalu masuk ke dalam. Kunci kamarnya masih tergantung di bawah rak sandal, seperti biasa. Tidak ada yang berubah di sini. Tapi Danu yang masuk kini bukan Danu yang sama saat pergi beberapa hari lalu.
Ia membuka pintu kamarnya. Bau lembap dan sedikit debu menyambut. Meja belajar masih penuh buku. Korden jendela menggantung miring. Ia meletakkan tas tanpa niat membongkar isinya, lalu langsung rebah di atas kasur tipis yang terasa dingin.
Matanya memandang langit-langit.
Dan untuk pertama kalinya…
Ia merasa tidak tahu sedang ada di mana.
Pagi datang begitu cepat. Danu mengenakan hoodie abu-abu dan celana jeans seadanya. Langkahnya menuju kampus terasa asing. Ia tidak terburu-buru seperti biasanya. Ia berjalan pelan, seperti seseorang yang sedang mencari sesuatu di tengah keramaian.
Sesampainya di kampus, keramaian mahasiswa yang lalu lalang membuatnya sedikit pusing. Ia menuju kelas, duduk di bangku dekat jendela seperti biasa. Tapi hari ini, meski berada di tempat yang sama, rasanya tidak sama. Suara teman-teman mengobrol di sekelilingnya, beberapa menyapa dengan lambaian tangan, tapi Danu hanya membalas dengan anggukan kecil.
"Bro, lo dari mana aja? beberapa hari hilang kayak jin!"
Itu suara Galang, teman sebangkunya. Ia menjatuhkan diri ke kursi di samping Danu sambil mengunyah permen karet.
Danu menoleh pelan. "Balik ke desa… ada urusan keluarga."
Gino mengangguk-angguk. "Desa? Wah, cocok lo jadi dukun," cengirnya.
Danu tersenyum tipis, tapi tidak menanggapi lebih jauh. Suasana kelas mulai terisi. Dosen masuk, membawa materi yang entah kenapa terasa terlalu berat untuk dicerna hari ini. Selama kuliah berlangsung, pikiran Danu melayang-layang, bukan ke pelajaran, tapi ke beranda rumah kayu yang sepi, suara nyai Laras, dan tatapan lembut Mbah Rawi.
Saat jam kuliah selesai, Danu keluar terakhir. Galang memanggil-manggil, tapi ia pura-pura tak dengar. Langkahnya membawanya ke taman kecil di belakang gedung kampus. Ia duduk di bangku batu, menatap kolam ikan yang permukaannya tenang, tapi penuh bayangan awan.
Ia mengeluarkan ponsel, membuka galeri. Di sana ada satu foto, kabur, gelap, tapi ada bayangan siluet rumah yang ia ambil diam-diam dari kejauhan. Rumah Laras, janda tua yang kemarin ia temui. Danu menatap foto itu lama, lalu menutup ponselnya kembali.
*****
Sore hari, Danu kembali ke kosan. Ia melepas sepatunya, masuk, dan langsung menghempaskan diri ke kasur. Hening. Tidak ada suara apapun kecuali dengung kipas angin tua di sudut kamar.
Ia memejamkan mata. Namun tiba-tiba sebuah suara terngiang lembut, "…aku minta, mas Danu kembali ke sini lagi."
Danu membuka matanya cepat. Napasnya berat. Ia terduduk, menggenggam ponselnya erat.
"Kenapa kau harus hadir begitu nyata…" bisiknya sendiri.
Ia bangkit. Membuka laptop. Mengetik satu kata di kolom pencarian “Desa Pagarjati.“ Tapi yang muncul hanya sedikit informasi. Foto kabur dari blog tahun 2009, satu berita soal proyek jalan yang gagal, dan satu entri pendek di Wikipedia yang tidak menyebutkan apapun tentang rumah tua atau tokoh bernama Nyai Laras.
Danu menghela napas. Ia membuka aplikasi catatan, lalu mulai mengetik. Satu kalimat:
"Apa yang kulihat di sana… nyata. Tapi kenapa dunia menolaknya?"
*****
Tiga hari berikutnya, Danu mulai berubah. Ia tetap kuliah, tetap berbaur, tapi jadi lebih sering menyendiri. Beberapa teman akhirnya mulai menangkap perubahan dari sikap Danu.
Suatu malam, Galang datang ke kosan Danu, membawa kopi dan gorengan.
"Lo kayak abis liat hantu, Nu. Ngaku, lo nemu apa di desa?"
Danu tidak langsung menjawab. Ia memilih duduk bersandar pada dinding, dan memejamkan mata sesaat. Suara kipas angin berderit pelan, dan aroma kopi dari gelas plastik di tangannya seperti membawa kembali ke sore hari di beranda rumah tua itu. Ia membuka mata, menatap Galang dalam-dalam.
"Bukan hantu," katanya lirih, "tapi… ada sesuatu di sana. Sesuatu yang gak bisa gue jelasin."
Galang tertawa kecil, tapi rautnya mulai berubah saat melihat keseriusan di wajah Danu. Ia menyerahkan kopi dalam gelas plastik ke tangan Danu. "Cerita, lah. Siapa tahu gue bisa bantu mikir."
Danu menyesap kopi itu perlahan. Hangatnya tidak mengusir dingin yang bersarang di dadanya.
"Ada hal yang belum gue ceritain ke siapa-siapa," ujarnya pelan. "Disana gue bertamu ke sebuah rumah tua, di ujung desa. Penghuninya cuma seorang janda, Namanya Nyai Laras. Tapi… dia bukan janda biasa, Lang"
Galang menahan komentar. Ia mengunyah gorengannya pelan, matanya tak lepas dari Danu.
"Gue kira awalnya dia cuma perempuan tua yang kesepian," lanjut Danu. "Tapi pertama kali gue dateng, dia udah manggil gue dengan nama... Mas. Panggilan yang cukup dekat layak nya hubungan khusus. Lalu dia bilang… dia sudah lama menunggu gue. Bertahun-tahun. Dan saat gue tanya kenapa, dia jawab dengan kalimat paling gila yang pernah gue dengar."
Galang mencondongkan tubuh. "Apa katanya?"
Danu menarik napas dalam. "Dia bilang… aku ini suaminya."
Galang membeku. Tangannya menggenggam plastik gorengan yang mendadak terasa dingin. "Gila…"
"Gue ketawa waktu itu. Jelas gue kira dia udah pikun atau halu," kata Danu, lirih. "Tapi dia serius, Lang. Matanya gak goyah sedikit pun. Dia bilang dia mengenali jiwa gue… meskipun tubuh gue bukan tubuh yang dulu."
Galang tertawa kecil, tapi tak ada nada mengejek. "Lo yakin lo gak kecapean atau kurang tidur, Nu?"
"Gue sempet mikir begitu. Tapi gue nginep di rumahnya. Gue makan masakannya. Gue tidur di kamarnya. Semua nyata. Terlalu nyata."
Galang mulai diam. Ia menatap sahabatnya lama, lalu bertanya, "Lo mau balik lagi ke sana?"
Danu mengangguk pelan. "Tapi kali ini, gue harus siap. Gue gak mau cuma jadi pengunjung yang numpang singgah. Gue mau tahu… kenapa gue. Kenapa dia bilang gue penting. Dan kenapa tempat itu seperti tak pernah tercatat dalam dunia nyata."
Galang membuang napas pelan. Ia membuka plastik gorengan, mengambil satu tahu isi dan menggigitnya sebelum berkata, "Oke. Tapi kalau lo butuh temen… gue ikut. Serius. Jangan jalan sendiri."
Danu menarik napas ringan l. Kopinya tinggal separuh, sudah mulai dingin. Lalu ia menatap Galang yang masih menunggu jawaban.
"Gue belum tahu kapan. Tapi kalau waktunya datang… lo orang pertama yang gue ajak."
Galang mengangguk pelan. Tapi matanya belum lepas dari wajah Danu. Ia tahu, sahabatnya ini sedang berada di tengah sesuatu yang tidak biasa. Dan ia tahu juga, kalau Danu bilang itu nyata, maka mungkin memang ada yang harus mereka selami lebih dalam.
Lalu, Galang berkata pelan, "Gimana kalau lusa?"
Danu mengangkat alis. "Lusa?"
"Iya. Mumpung jadwal kuliah kita longgar, dan dosen-dosen juga banyak yang pada ke luar kota buat seminar itu, kan?"
Danu terdiam sebentar, lalu mengangguk pelan.
Galang melanjutkan, "Lagipula, kalau lo beneran niat nyelam lebih dalam, lo butuh tim, Nu. Kita ajak dua temen lagi. Gue kepikiran Bima, dia bisa bantu bawa mobil, dan satu lagi, Naya."
"Naya?" Danu tampak agak kaget.
Galang tertawa kecil. "Iya. Lo pikir cuma cowok yang suka cerita misteri kayak gini? Naya malah pernah bilang dia pengen banget nyari ‘tempat yang gak tercatat dalam peta’. Kayaknya dia bakal seneng denger kisah lo."
Danu mendengus pelan, lalu mengangguk. "Oke. Tapi kita harus jaga cerita ini. Jangan sampe kayak mau wisata horor. Gue gak mau ganggu tempat itu dengan energi sembarangan."
"Tenang. Gue yang atur. Bima dan Naya bisa jaga omongan. Kita jalan santai aja, tiga hari dua malam cukup. Lo bisa ngarahin kita ke rumah Nyai Laras itu?"
Danu mengangguk. "Ya. Gue masih inget jalannya."
*****
Dua hari setelahnya.
Kos Galang mendadak jadi markas kecil. Di lantai berserakan peta, catatan kecil, charger, senter, dan tas carrier yang belum sepenuhnya dikemas. Galang duduk sambil mengecek ulang daftar perlengkapan, sementara Danu sibuk di laptop memantau rute menuju desa.
Bima duduk selonjoran di dekat pintu, menggulung sleeping bag. "Lo yakin tempatnya bisa dicapai pake mobil gue, Nu?"
"Bagian awalnya bisa. Sisanya kita jalan kaki," jawab Banu tanpa menoleh.
Naya datang terakhir, membawa dua dus makanan ringan dan dua botol besar air mineral. "Gue udah siap. Tapi serius, ini ekspedisi misteri atau wisata dadakan?"
"Dua-duanya," sahut Danu pelan. "Tapi gue minta satu hal dari kalian. Jangan terlalu banyak bertanya kalau kita udah sampai sana. Rasain aja. Tempat itu... beda."
Mereka semua menatap Danu sejenak, lalu mengangguk.
Akhirnya setelah segala persiapan mereka selesai, dan hari masih terbilang cukup pagi, mereka memutuskan segera berangkat dengan mobil Bima—SUV tua warna silver yang sudah pernah menjelajah gunung dan pantai. Tas carrier, tikar, peralatan masak kecil, dan barang-barang pribadi mereka sudah tersusun di bagasi.
Perjalanan dimulai dari kota. Di awal, semuanya masih ramai bercanda. Bima memutar playlist rock klasik, dan Naya tertawa saat Galang menyanyi fals. Tapi makin jauh mereka keluar dari jalan utama, suasana mulai berubah.
Pohon-pohon besar muncul di sisi jalan. Rumah-rumah makin jarang. Jalanan berubah jadi berbatu. Bahkan sinyal ponsel mulai menghilang sedikit demi sedikit.
Setelah hampir tujuh jam berkendara, Danu meminta Bima berhenti.
"Di sini. Kita lanjut jalan kaki," katanya, sambil menunjuk jalan setapak di sisi kiri yang hampir tertutup rumput liar.
Naya turun lebih dulu, memandangi sekitar. "Gila... ini udah kayak setting film horor."
Galang memasang tasnya. "Gue mulai percaya sama kata-kata lo, Nu. Tempat ini kayak... terperangkap waktu."
Danu mengangguk pelan. "Kalau kalian mulai ngerasa aneh, bilang ya. Jangan dipendam sendiri."
Langit mulai meredup saat mereka berjalan melewati pohon-pohon randu tinggi yang menjulang seperti gerbang tak kasat mata. Jalan setapak itu sunyi, tapi tidak sepenuhnya sepi. Ada desir, bisik-bisik samar, entah dari mana.
Lalu, jembatan kayu itu muncul.
Tua. Rapuh. Tapi tetap kokoh berdiri di atas sungai kecil yang airnya tenang tapi gelap.
Danu berdiri di ujung jembatan, menatap ke seberang.
"Lewat sini," katanya pelan. "Setelah ini... kita bukan cuma tamu."
Dan saat mereka melangkah satu per satu di atas kayu jembatan itu, udara seperti menebal. Angin berubah arah. Dan suara-suara hutan mulai terdengar seperti nyanyian lama yang mengantar mereka menuju rumah Nyai Laras.
Begitu mereka melewati jembatan kayu, suasana langsung berubah. Seolah desa yang mereka tuju berdiri di dimensi waktu yang berbeda. Tanahnya lembab, rerumputan tumbuh liar namun rapi, dan di kejauhan terdengar suara aliran air dan serangga malam, padahal ini masih menjelang sore.
"Gue ngerasa kayak masuk film periodik," celetuk Naya, menatap rumah-rumah joglo yang mulai tampak di kejauhan.
Desa itu tampak sepi. Tapi bukan sepi yang mati. Lebih seperti... tenang. Terlalu tenang. Rumah-rumah kuno berdiri anggun di sepanjang jalan tanah yang tak beraspal. Beberapa perempuan tua terlihat duduk di beranda sambil menenun atau menumbuk sesuatu, menoleh sebentar ke arah mereka, lalu kembali diam.
"Lo yakin ini desa beneran, Nu?" tanya Bima sambil menyipitkan mata. "Ini tempat gak ada di Google Maps."
Danu hanya mengangguk. "Karena desa ini memang gak butuh ditemukan. Dia yang milih siapa yang boleh datang."
Mereka berjalan perlahan, menyusuri jalan setapak dengan hati-hati. Udara terasa lebih segar, tapi juga lebih berat, seolah penuh cerita yang belum pernah diceritakan.
Galang menunjuk ke sebuah bangunan tua berdinding kayu yang nyaris tertutup tanaman rambat. "Itu... kayak sekolah tua, ya?"
Danu mengangguk pelan. "Itu bekas sanggar. Kata warga yang sempat gue ajak bicara, dulu Nyai Laras sering mengajar anak-anak desa menari di situ."
"Gue bisa ngerasain auranya," bisik Naya. "Tenang tapi... misterius."
Mereka melanjutkan perjalanan ke sisi lain desa. Ada ladang kosong yang penuh bunga liar bermekaran, seperti karpet warna-warni alami. Angin bertiup lembut di sana, membawa aroma pandan dan kayu manis.
Mereka kemudian memutuskan duduk di sebuah bale-bale bambu di dekat ladang tersebut. Matahari mulai merunduk, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Suara burung malam dan gesekan bambu mulai menggantikan suara siang.
Galang membuka sebotol air minum, lalu berkata, "Lo belum jawab pertanyaan gue waktu di kos, Nu."
"Apa?"
"Kalau desa ini bukan di peta, terus siapa yang kasih tau lo?"
Danu menunduk sejenak. "Nyai Laras... dalam surat yang dia kirim"
Keheningan jatuh seperti selimut.
"Ya ampun," bisik Naya. "Gue makin penasaran siapa sebenernya dia."
Danu menatap ke arah timur, di mana pepohonan saling berbisik di balik cahaya senja. "Kalau kalian siap… kita ke rumahnya besok pagi."