Jia dan Liel tidak pernah menyangka, bahwa dimulai dari sekotak rokok, pertemuan konyol di masa SMA akan menarik mereka ke dalam kisah penuh rahasia, luka, dan perjuangan.
Kisah yang seharusnya manis, justru menemukan kenyataan pahit. Cinta mereka yang penuh rintangan, rahasia keluarga, dan tekanan dari orang berpengaruh, membuat mereka kehilangan harapan.
Mampukah Jia dan Liel bertahan pada badai yang tidak pernah mereka minta? Atau justru cinta mereka harus tumbang, sebelum sempat benar-benar tumbuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Avalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kaca Mobil, Lampu Merah dan Luka yang Diam
Setibanya di rumah, yang ditemui Jia hanya kesunyian. Ibunya yang berprofesi sebagai dosen dan penggila kerja, tentu belum pulang. Jia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali berbicara dengan benar pada ibunya.
Sedangkan ayahnya, seorang ilmuwan yang melakukan penelitian atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, saat ini sedang bertugas di Switzerland. Sedangkan Kakak laki-lakinya, si Jaden, memutuskan untuk pergi bersama ayahnya, bahkan memilih menetap dan menikahi wanita asal Prancis.
Kemudian, terdengar samar-samar suara seseorang membuka pintu rumah, membuyarkan lamunan Jia. Dia sangat yakin bahwa yang datang adalah ibunya.
Dia segera keluar kamar, tujuannya adalah untuk menyampaikan bahwa sekolah pilihan ibunya tidaklah terlalu buruk.
Namun sebelum dia sempat mengucapkannya, ibunya menghentikan langkahnya, memberi kode agar tidak membuat keributan, karena ibunya sedang menerima panggilan telepon terkait pekerjaannya.
Jia yang merasa kecewa dengan sikap ibunya, meminta Mang Ceceng, supir pribadi keluarganya, untuk mengantar dirinya berkeliling kota. Dia tidak tahu tujuannya ke mana, yang terpenting baginya saat ini adalah, dia hanya ingin jauh dari rumah.
“Haaa … aku benci perasaan ini” Keluh Jia seraya berjalan menuju mobilnya.
Dia segera menaiki mobil yang sudah disetir oleh Mang Ceceng. Kemudian mobilnya melambat saat mencapai lampu merah.
Jia dan mobilnya berhenti, tepat di depan sebuah restoran mewah berdinding kaca, dan di sanalah matanya tertuju pada dua sosok familiar, Liel dan Kay.
Kay tampak tersenyum manis, menggandeng lengan Liel yang tampak seperti biasa, tenang dan kaku. Liel tidak tertawa, namun juga tidak menolak. Mereka baru saja keluar dari restoran tersebut.
Jia tidak sadar tubuhnya maju ke depan, tangannya naik dan membuka sedikit kaca mobil, refleks, Ingin melihat lebih dekat. Jia Ingin memastikan, apakah itu benar mereka, tanpa sadar dia membuka kaca mobil, memperlihatkan seluruh wajahnya.
Namun, nasib sedang bercanda hari ini. Mata Jia memandang lurus, tepat ke arah Liel. Tidak hanya itu, saat Liel hendak masuk ke mobil, tiba-tiba saja dia mengarahkan pandangannya ke tempat di mana mobil Jia berhenti. Secepat kilat Jia berusaha menunduk, berharap Liel tidak menyadari keberadaan Jia.
Jia langsung menyuruh Mang Ceceng menutup kaca dan memundurkan mobil, walau lampu masih merah. “Mang, jalan Sekarang!”
“Lho, Neng, lampunya—“
“Sekarang!!” ucapnya panik.
Mobil itu melaju perlahan menjauh, di dalam mobil, Jia menyandarkan kepalanya ke jendela.
“Haaa … mengapa aku harus peduli untuk hal seperti ini?” bisiknya lirih.
Dia tidak tahu kenapa hatinya seperti ditarik. Padahal Liel bukan siapa-siapa bagi Jia. Bukan pacar, bahkan nyaris bukan teman.
Namun, entah mengapa, melihat Liel bersama Kay, membuat segalanya terasa lebih sesak, bersamaan dengan rasa kekecewaannya.
...****************...
Setibanya dirumah, otaknya masih bekerja keras untuk memproses apa yang baru saja terjadi. Mang Ceceng pun harus berkali-kali memanggilnya karena tidak dihiraukan.
Kemudian Jia tersentak, sebab suara Mang ceceng semakin nyaring saat menyebut namanya, membuat Jia tersadar.
“Mang, kira-kira dia melihatku atau tidak ya?”
“Siapa atuh neng?”
Jia membuka pintu mobil dan berjalan masuk menuju rumah, “Semoga dia tidak menyadarinya ya mang.”
“Dia siapa neng??? Aduh neng, sakit ya? Dari tadi mamang liat, Neng Jia melamun, kaya kurang sehat, apa mamang antar ke dokter saja, bagaimana?”
Tanpa menoleh ke belakang, Jia melambaikan tangannya dan menolak ajakan Mang Ceceng untuk ke rumah sakit.
Jia memahami rasa cemas dibalik wajahnya Mang Ceceng, namun akan lebih baik lagi jika yang mencemaskannya adalah ibunya sendiri.
Jia memandangi pintu kamar ibunya yang sudah tertutup rapat, menandakan bahwa tidak ada boleh mengganggu jam istirahatnya.
Tidak ingin berlarut dalam kesedihan, Jia pun segera menuju kamar dan menghempaskan badan ke atas tempat tidur.
“Jika hanya teman, mengapa harus makan berduaan seperti itu?” batinnya dalam hati.
“Hei tunggu, apa aku cemburu?? Tidak mungkin!! Aku tidak peduli dengan mereka, mau berteman atau menjalin hubungan, bukan urusanku.” Bantah Jia seraya memejamkan mata, berusaha untuk tidur.
,, suka deh puny sahabat macam Nata