Malam tragis, telah merenggut masa depan Zoya. Menyisakan trauma mendalam, yang memisahkannya dari keluarga dan cinta.
Zoya, mengasingkan diri yang kembali dengan dua anak kembarnya, anak rahasia yang belum terungkap siapa ayahnya. Namun, siapa sangka mereka di pertemukan dengan sosok pria yang di yakini ayah mereka?
Siapakah ayah mereka?
Akankah pria itu mengakuinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini ratna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu
Satu jam sebelumnya, Zayda berlari ke kamar ibunya. Teriakannya yang melengking membuat Zoya harus cepat membukakan pintu. Zayda begitu panik setelah menyadari sesuatu akan terjadi.
"Mama! Gawat ... Ini gawat."
"Gawat apa Zayda? Bisa tidak, kalian tenang ... Izinkan Mama untuk istirahat sebentar." Kata Zoya sambil berkacak pinggang, matanya melotot penuh amarah.
"Tidak bisa Mama ... Karena ini sangat gawat tidak bisa ditunda," ungkap Zayda yang menggeleng.
"Ok, apa?" Zoya menarik nafas dalam, mencoba memberikan kesempatan kepada Zayda untuk bicara. Dan jika itu hal konyol maka Zoya tidak akan segan menghukum anak kembarnya.
"Huh ... Zayda tarik nafas dulu ya Mama." Katanya sambil mengibas rambut ikalnya.
"Zayden Mama ... Zayden pergi mau mencari papa!"
"Apa!" Zoya terbelalak.
"Iya, Mama. Zayden pergi ke bilik militer!" teriak Zayda dengan gaya centilnya.
Zoya semakin marah dan tidak tahan ingin menghukum putra sulungnya itu. Bagaimana bisa Zayden sangat bersikeras untuk menemukan ayahnya padahal tidak tahu rupanya seperti apa.
"Dasar bocah nakal! Kapan dia bisa diam sih. Dia tidak tahu seberapa bahayanya di sana." Katanya sambil berlalu. Zayda, mengekorinya sampai tiba di belakang markas militer, beruntung Zoya memilih jalan belakang dan dia bisa menemukan Zayden.
"Itu dia Mama!" tunjuk Zayda pada sosok bocah 7 tahun yang sedang berdiri di hadapan seorang perwira seolah sedang menantang.
"Zayden!"
Seketika Zayden menoleh. "Mama ...."
Lirikkan Ardian mengikuti arah mata Zayden. Ardian termenung yang sambil menatap serius ke arah wanita berbalut baju syar'i yang tertutup baju dinas berwarna putih. Gerakan mata Ardian tidak berhenti sampai Zoya tiba di hadapannya yang langsung memarahi Zayden.
"Zayden, apa kamu tidak tahu ini tempat berbahaya? Bisa-bisanya kamu pergi sendirian ke markas militer bagaimana sesuatu terjadi padamu!" Zoya sangat marah.
"Sekarang kita pulang!" Zoya menarik tangan Zayden, tapi langkahnya dihentikan Ardian.
"Tunggu! Kalian tidak bisa lewat sana." Ardian mengingatkan Zoya yang hendak melewati beberapa bendera merah. "Jangan melewatinya. Itu ada tanda bendera merah yang artinya banyak ranjau di sana," sambung Ardian.
Zoya berbalik lantas menatap Ardian.
"Ini markas militer bukan tempat bermain anak-anak, jadi tolong beritahu putramu untuk tidak datang ke tempat ini lagi. Dan satu hal lagi ... Putramu terlalu ikut campur yang terus memantauku dengan teropongnya."
Zoya, menelan ludah. Sorot matanya tidak berpaling dari wajah sang Letnan.
"Apa kau mendengarku?" tanya Ardian sambil mengibas-ngibas telapak tangannya.
Sementara kedua bocah itu saling berbisik menduga ekspresi ibunya. "Zayden, mungkinkah Mama terpesona dengan ketampanan pak Letnan?" bisik Zayda.
"Justru, itu bagus. Dia akan menjadi ayah kita," balas Zayden dengan senyum mengembang. "Bukankah menjadi putra sang Letnan Kolonel terdengar sangat keren," sambungnya.
Zayda menanggapi dengan tawa.
"Mereka hanya anak-anak tidak tahu akan bahaya. Lagi pula ini terakhir kalinya mereka datang. Maaf jika sudah merepotkan."
Zoya langsung berbalik menuju jalan lain membawa anaknya pergi dari tempat itu. Matanya berkaca, dengan peluh membasahi wajah dan tangannya. Zayden dan Zayda mendongak, menatap sang ibu ketika merasakan genggaman tangan yang erat.
Sementara Ardian, pria itu masih bertengger menatap punggung Zoya yang semakin menjauh. Wajah tegasnya menjadi bingung, memikirkan wanita itu yang seakan pernah bertemu.
"Suaranya ... seperti tidak asing tapi ... bertemu dimana?"
***
"Zayden," panggil Zayda sedikit berbisik.
Mereka di hukum sang ibu untuk tidak bicara dan tidak boleh keluar dari dalam kamar. Zayden bocah itu hanya fokus pada laptopnya, entah apa yang dia cari. Sementara Zayda, gadis kecil itu merasa bosan karena tidak bisa bicara sedikit pun.
"Zayden hei! Zayden ...."
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Zayda kembali ke atas kasur yang langsung pura-pura tidur begitupun dengan Zayden, tetapi bocah itu lupa mematikan laptopnya sehingga Zoya, menyadari kebohongan mereka.
"Jangan pura-pura tidur cepat turun dan keluarlah!"
Tidak ada jawaban. Zoya, menghela nafasnya lantas kembali bicara. "Jika kalian ingin tahu tentang papa kalian turunlah," tegasnya membuat sandiwara kedua bocah itu gagal.
Zayden dan Zayda menuruni ranjang, lalu mengikuti langkah sang ibu menuju ruang tamu. Mereka duduk setelah Zoya.
"Mama tidak membohongi kita, kan?" Tatap Zayden dengan curiga. Tangannya dilipat di bawah dada.
"Kalian mau dengar atau tidak?"
"Mau Mama!" Serempak Zayden dan Zayda.
Zoya menghela nafas. "Baiklah, dengarkan baik-baik," katanya.
"Zayden ... Zayda, Mama tahu kalian sudah besar dan kalian terus bertanya tentang ayah kalian. Namun, dia tidak ada disini tapi di negara kita tanah air kita .... Indonesia," jelas Zoya membelalakkan kedua anak kembarnya.
Kenapa Zoya, berkata demikian karena tragedi masa lalu terjadi di negaranya. Namun, pertemuannya dengan Letnan Ardian mengingatkannya akan satu hal.
"Mama, kenapa baru bilang sekarang?" tanya Zayda seolah sedang menginterogasi.
"Ya, kenapa sekarang?" lanjut Zayden.
Zoya, tidak akan mengatakan semua itu karena dia sudah bersumpah tidak akan kembali ke negaranya. Namun, pertemuannya dengan Ardian merubah segalanya.
Jantung Zoya seakan berhenti berdetak, sekujur tubuhnya terasa kaku dan dingin saat menatap mata elang yang pernah menghancurkan hidupnya. Zoya, mengingat dengan jelas seperti apa rupa pria asing itu.
Ardian_Letnan itu, menumbuhkan kembali rasa traumanya. Zoya, sudah berusaha keras melupakan semuanya tetapi Ardian ... pria itu hadir di masa depannya. Keringat dingin tidak bisa Zoya sembunyikan, bertemu dengan Ardian membuatnya takut.
"Mama ...." Panggilan Zayden, membuyarkan lamunannya. Zoya sedikit mendongak_menyembunyikan tangisannya. Zoya tidak ingin curiga apalagi sampai anaknya tahu bahwa Ardian adalah ayah kandungnya. Itu sebabnya Zoya ingin kembali ke tanah air dan meninggalkan tempat yang selama ini sudah menjadi tanah kelahiran Zayden dan Zayda.
"Kita akan pulang ke Indonesia setelah tugas Mama selesai disini. Bila perlu Mama akan meminta perpindahan tugas segera."
Mata Zayden dan Zayda berbinar. Mereka pikir ibunya akan mempertemukannya dengan ayah mereka, tanpa mereka tahu ada kenangan pahit dalam jiwa Zoya.
"Terima kasih Mama." Kata Zayden dan Zayda yang memeluk ibunya. Zoya, membalas dengan pelukan hangatnya.
"Mulai sekarang, kalian jangan lagi mengawasi markas militer apalagi mengintip dengan teropong kalian. Jangan membuat masalah, dan fokuslah belajar. Bukankah kalian harus menghafal 10 Juz?"
"Tenang Mama ... Kami pintar, kami akan hafal hanya dengan membacanya tujuh kali."
Zoya tersenyum gemas. "Jangan sombong dengan ilmu yang kalian miliki. Cepat, tidur kembalilah ke kamar."
"Lalu Mama ... apa mau pergi lagi?" Zayda menjadi murung.
"Mama harus bekerja. Cepatlah tidur, nanti Sitto Aminah akan datang menjaga kalian."
Sitto berarti panggilan nenek. Aminah adalah penjaga si kembar yang jika saat Zoya bekerja akan menitipkannya kepada Aminah. Seorang wanita setengah baya yang sudah merawat Zayda dan Zayden sejak kecil bahkan sudah menganggap Zoya seperti putrinya.
Zoya harus kembali betugas meninggalkan Zayden dan Zayda yang masih cemberut. Zoya, menuruni anak tangga untuk sampai di lantai dasar, dan dia harus berjalan menuju rumah sakit.
Tiba-tiba sebuah dentuman keras menghentikan langkah Zoya. Badannya setengah merunduk sambil menatap ke arah langit yang mengkilat akibat cahaya orange yang menyala.
"Zoya!" panggilan seorang tenaga medis mengalihkan pandangannya. Zoya, menoleh dan langsung bangkit lalu berjalan ke arah temannya.
"Serena, apa yang terjadi?"
"Gencatan senjata baru saja terjadi di markas militer."
"Apa ..." lirih Zoya dengan terkejut.
"Kita harus segera pergi ke sana, karena banyak yang terluka."
Zoya, mengangguk lalu mengikuti langkah Serena. Mereka menaiki mobil ambulance menuju markas militer. Semua tenaga medis dikerahkan, banyak diantara perwira yang terluka, keadaan markas yang kacau menambah kesan kecemasan pada diri Zoya.
"Zoya, fokuslah. Anakmu pasti baik-baik saja." Serena menenangkan. Zoya hanya mengangguk lalu pergi ke sebuah camp militer.
"Letnan, Dokternya sudah datang," ucap seorang perwira yang memberitahukan kepada Ardian.
Ardian hanya diam sambil memegang satu bahunya.
"Dokter, silakan," lanjut perwira itu kepada Zoya.
Zoya dan Ardian hanya saling pandang.
...----------------...
Assalamualaikum reader, terima kasih yang sudah mampir baru episode 3 tapi kok gak rame sih. Ramaikan dong kolom komentarnya, like juga jangan lupa ya 🤗.
Ya Allah, semoga kembar gak akan kenapa-napa...
up LG nnti thor
Pak Letnan, yang pintar kenapa sih gak liat itu anak-anak ada kemiripan gak sama dia, dan tas DNA. Apalagi punya rumah sakit sendiri... Gereget aku...