NovelToon NovelToon
Pacarku Ternyata Simpanan Pamanku

Pacarku Ternyata Simpanan Pamanku

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Terlarang / Keluarga / Romansa
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Rindu Firdaus

Di sebuah pesta keluarga, Arga bertemu dengan Kalista, yang langsung mencuri perhatian dengan pesonanya. Tanpa ragu, mereka terjerat dalam hubungan terlarang yang menggoda, namun penuh bahaya.

Saat Arga menyadari bahwa Kalista adalah simpanan pamannya, hubungan mereka menjadi semakin rumit. Arga harus memilih antara cinta yang terlarang atau melindungi nama baik keluarganya, sementara godaan terus membara.

Akankah Arga tetap memilih Kalista meski harus mengorbankan segala-galanya, atau akan ia melepaskannya demi menjaga kehormatan keluarga? Apakah ada cara untuk keluar dari cinta yang terlarang ini tanpa merusak segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindu Firdaus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bisikan Nakal di Malam Sepi

Malam mulai larut saat Arga kembali ke apartemennya. Langit di luar jendela gelap pekat, hanya diterangi kerlip lampu kota yang redup. Tapi pikirannya lebih gelap dari langit malam itu penuh tanya, penuh rasa bersalah, tapi juga diliputi gairah yang tak kunjung padam.

Ia merebahkan diri di sofa, menatap langit-langit sambil memutar ulang kejadian di pesta tadi. Sentuhan Kalista, desahan tertahannya, dan bisikan di telinganya yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Telepon genggamnya bergetar.

Kalista: “Sudah sampai rumah?”

Arga mengetik cepat. “Sudah. Kamu?”

Jawaban datang hanya beberapa detik kemudian. “Aku di kamarnya Arman. Dia sedang mandi.”

Jantung Arga berdegup keras.

“Kenapa kamu kabarin aku?”

“Karena aku butuh kamu. Malam ini.”

Arga menggigit bibir bawahnya. Kalista bermain di api, dan ia ikut terbakar di dalamnya. Tapi justru itu yang membuat semuanya terasa nyata. Terlarang, namun tak terhindarkan.

“Kalista... jangan.”

“Aku cuma mau bicara. Tolong. Angkat panggilan video ini, sebentar saja.”

Seketika layar ponselnya berubah. Wajah Kalista muncul di sana, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu meja di samping ranjang. Rambutnya tergerai, dan bahunya telanjang, hanya dibalut selimut tipis berwarna abu-abu.

“Arga...” suaranya serak. “Aku... nggak tahu sampai kapan aku bisa tahan begini.”

“Kalista, hentikan... kamu di kamar Arman, dan kamu...” Arga tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Gambar Kalista terlalu menggoda untuk dipalingkan.

“Aku butuh suara kamu. Hanya itu. Suaramu bikin aku tenang,” lirih Kalista.

Arga mengusap wajahnya dengan frustrasi, tapi ia tak memutus panggilan itu.

“Kalau Arman keluar dari kamar mandi dan lihat kamu video call dengan aku...”

“Aku pintar menyembunyikan rahasia, Arga,” ucap Kalista sembari menyeringai tipis. “Kita sudah membuktikannya.”

Lalu Kalista memiringkan tubuhnya, dan selimut itu sedikit melorot, memperlihatkan lekuk bahu dan punggungnya.

“Arga... kalau aku bisa pilih, aku lebih ingin malam ini bersamamu. Di sampingmu.”

Arga menggenggam erat ponsel itu. Tangannya bergetar, tapi bukan karena takut. Melainkan karena dorongan hasrat yang belum padam sejak pertemuan terakhir mereka.

“Kalau kamu di sini sekarang, Kalista... aku nggak akan biarkan kamu tidur.”

Kalista menelan ludah. “Kamu tahu aku suka bisikanmu, kan?”

Arga mendekatkan wajahnya ke kamera.

“Kalista,” bisiknya, rendah dan berat, “kalau kamu di sampingku sekarang, aku akan peluk kamu dari belakang. Tangan kiriku akan melingkar di pinggangmu, dan tanganku yang lain akan menyibak rambutmu untuk mencium tengkukmu...”

Kalista menggigit bibir, menahan suara. Wajahnya memerah. Matanya menatap kamera seolah ingin menyentuh Arga langsung.

“Aku akan berbisik di telingamu, seberapa cantiknya kamu, betapa aku menginginkanmu. Aku akan menarik napas panjang di lehermu, menghirup aroma tubuhmu yang manis itu.”

“Arga...” Kalista hampir mendesah. “Lanjutkan... tolong...”

Tapi sebelum Arga bisa melanjutkan, suara air dari kamar mandi berhenti. Kalista menegang, matanya membelalak.

“Dia keluar...” bisiknya panik.

“Putuskan sambungan!” ujar Arga cepat.

Tapi Kalista hanya menutup kamera, masih terhubung lewat suara. Mereka berdua terdiam dalam ketegangan, mendengar suara langkah kaki di lantai kayu kamar itu.

Lalu terdengar suara Arman, berat dan dalam.

“Kamu belum tidur?”

“Aku baru saja mau,” jawab Kalista, suaranya kembali lembut dan tenang.

“Hmm, mari sini...”

Setelah itu, hanya keheningan. Arga mendengar detak jantungnya sendiri, telinganya panas, emosinya campur aduk antara cemburu, jijik, dan masih... menginginkan.

Ia tak mematikan sambungan. Ia hanya meletakkan ponselnya di samping, menatap langit-langit, dan menyesap dalam-dalam racun manis yang bernama Kalista.

Pagi datang dengan cahaya yang enggan menerobos masuk. Arga belum tidur semalaman. Wajahnya pucat, mata merah, dan pikirannya terus dihantui suara Kalista semalam.

Ia tidak tahu pasti apa yang terjadi setelah Kalista mematikan kamera. Tapi imajinasinya bekerja lebih liar dari kenyataan. Dan itu menyakitkan.

Arga membuka pesan terakhir dari Kalista.

“Maaf. Aku harus menutupnya cepat tadi. Tapi bisikanmu… tetap aku dengar sampai aku tertidur.”

Tak ada kata-kata manis yang bisa menyembuhkan luka di hatinya pagi itu. Ia tahu, Kalista bukan miliknya. Tapi kenapa wanita itu bisa membuatnya merasa seolah ia satu-satunya?

Hari itu, Arga menghindari semua panggilan dari Kalista. Ia butuh waktu. Butuh jarak. Namun malam kembali datang, dan kesepian mulai merayap ke dalam dada. Seperti biasa, rasa rindu muncul justru ketika ia mencoba melupakannya.

Dan seperti bisa membaca pikirannya, pesan masuk lagi dari Kalista:

“Kamu di rumah?”

Arga menatap layar ponsel, jari-jarinya melayang. Tapi sebelum sempat membalas, notifikasi panggilan video masuk. Tanpa sadar, ia menjawab.

Wajah Kalista muncul, kali ini bukan di kamar, tapi di dalam mobil. Make-up tipis menghiasi wajahnya, dan bibirnya terlihat lebih merah dari biasanya.

“Aku di depan apartemenmu.”

“Apa? Kenapa kamu ke sini?” tanya Arga dengan nada tinggi.

“Aku butuh kamu. Aku nggak tahan lagi, Arga. Aku bahkan nggak pulang dari kantor. Langsung ke sini. Bolehkah aku naik?”

Arga mendesah, lalu menatap layar beberapa detik.

“Naiklah.”

Pintu apartemen terbuka pelan. Kalista berdiri di sana, tubuhnya sedikit menggigil, entah karena udara malam atau karena dorongan emosi yang membuncah.

Begitu pintu ditutup, mereka hanya diam. Hanya ada suara napas dan detak jantung masing-masing yang terdengar jelas.

“Kenapa kamu ke sini, Kalista?” tanya Arga pelan.

“Aku nggak bisa pura-pura lagi. Tiap malam aku tidur di ranjang Arman, tubuhku ada di sana, tapi pikiranku... hatiku... hanya memikirkan kamu.”

Arga berjalan pelan, mendekat.

“Kamu sadar, hubungan ini makin kacau, kan?”

“Aku nggak peduli lagi,” lirih Kalista. “Malam ini, aku hanya ingin satu hal. Kamu.”

Satu langkah lagi, dan mereka berhadapan. Napas mereka bertaut. Kalista menatap mata Arga, lalu mengusap pipinya dengan lembut.

“Bisikkan lagi, Arga... seperti semalam. Tapi kali ini, aku ingin mendengarnya langsung dari mulutmu... di sampingku.”

Arga menggenggam tangan Kalista. Dingin. Lemas. Tapi ia bisa merasakan denyut kehidupan di sana. Dan denyut itu berdetak untuknya.

Ia menarik Kalista ke dalam pelukannya, pelan. Dada mereka saling bersentuhan, dan dalam keheningan itu, ia membisikkan sesuatu di telinganya.

“Kalista... kamu wanita yang paling berbahaya yang pernah aku temui. Tapi juga yang paling sulit aku lepaskan.”

Kalista menahan napas, tubuhnya menggigil.

“Kalau aku jadi milikmu malam ini... kamu akan miliki semuanya.”

Arga menyentuh rambutnya, menyelipkannya ke belakang telinga. Lalu mulutnya menempel di sana, di helai rambut, di telinga, dan kembali berbisik.

“Aku akan peluk kamu sampai kamu nggak bisa bergerak. Aku akan buat kamu lupa siapa dirimu... dan siapa pamanku.”

Tubuh Kalista melemas dalam dekapannya.

“Bawa aku ke tempat tidurmu, Arga. Jangan biarkan aku pulang malam ini...”

Dan tanpa kata lagi, Arga membawanya. Tapi bukan hanya tubuh yang ia bawa. Ia membawa dosa bersamanya. Keinginan yang membakar. Bisikan-bisikan yang kini akan menjadi nyata.

Kamar Arga temaram. Hanya cahaya dari jendela kota yang menembus tirai, cukup untuk memperlihatkan siluet dua tubuh yang kini berdiri berhadapan, terengah oleh emosi yang tak bisa lagi ditahan.

Kalista duduk di tepi ranjang, tangannya menggenggam jemari Arga. Matanya tak berkedip memandangi wajah pria yang berdiri di hadapannya.

"Aku ingin malam ini jadi milik kita saja," bisiknya. "Lupakan dunia di luar sana, lupakan Arman, lupakan semuanya..."

Arga tak menjawab. Ia hanya menunduk, mencium jemari Kalista satu per satu, lalu menelusuri lengan putih itu ke bahu, ke leher, hingga wajah mereka begitu dekat.

"Aku akan buat kamu lupa cara berbohong," gumamnya pelan.

Kalista tersenyum kecil. "Mungkin... aku justru ingin kamu mengajarkanku cara jujur."

Perlahan, pakaian demi pakaian menjadi sejarah di lantai. Tidak ada yang tersisa di antara mereka selain kulit dan keinginan. Arga menuntunnya berbaring, lalu membungkus tubuhnya dengan selimut yang sama, seolah ingin menyembunyikan dosa mereka dari dunia.

Sentuhan pertama itu lembut. Hangat. Nyaris seperti ciuman maaf yang lama tertunda. Tapi setelahnya, tak ada lagi kata lembut. Hanya suara napas yang menyatu dan bisikan-bisikan liar yang mengalir tanpa malu.

Kalista menggigit bibirnya, tubuhnya melengkung ketika Arga mencumbu setiap bagian yang membuatnya mendesah panjang.

“Arga…” suaranya nyaris seperti isakan. “Aku takut ketagihan.”

Arga berhenti sejenak, menatap matanya. “Sudah terlambat.”

Malam terasa panjang. Tapi bagi mereka, rasanya terlalu cepat. Setiap menit terasa seperti tarikan napas yang mengintai di antara batas dosa dan kenikmatan.

Tubuh Kalista bergerak mengikuti ritme, mengalirkan gelombang demi gelombang keintiman yang mengguncang batinnya. Ia seperti tenggelam, dan hanya Arga yang menjadi jangkar yang ia genggam.

Ketika akhirnya mereka terdiam, hanya peluh dan sisa-sisa kenikmatan yang tersisa di udara.

Arga membaringkan dirinya di samping Kalista, menarik tubuh telanjangnya ke dalam pelukan. Tidak ada kata yang diucapkan saat itu. Hanya detak jantung mereka yang masih berdentam.

Beberapa saat kemudian, Kalista berbisik pelan, “Apa kamu menyesal?”

Arga menatap langit-langit, lalu menjawab tanpa ragu, “Tidak malam ini.”

Kalista menarik napas panjang, lalu menutup mata. “Aku harap malam ini bisa berlangsung selamanya…”

Tapi mereka berdua tahu, dunia nyata akan menunggu mereka begitu fajar menyingsing. Dunia di mana Kalista bukan milik Arga, dan Arman, pamannya, tetap pria yang memiliki segalanya.

Namun malam ini adalah pengecualian. Sebuah jeda dalam kehidupan yang penuh aturan. Di kamar itu, hanya ada mereka, dan bisikan-bisikan nakal yang tak akan pernah bisa mereka akui pada siapa pun.

Dan ketika fajar akhirnya menyentuh kaca jendela, Kalista masih terbaring dalam pelukan Arga. Matanya terbuka perlahan, dan satu kalimat keluar dari bibirnya yang kering namun puas.

“Jika ini dosa, aku rela mengulanginya lagi…”

1
Usmi Usmi
pusing baca nya SDH kabur tapi kumpul lg
Rindu Firdaus: Halo kak, makasih ya udah mampir dan baca karyaku /Smile/ oh iya kk nya pusing ya? sama kak aku juga pusing kenapa ya bisa kumpul lagi, biar ga pusing... yuk baca sampai habis /Chuckle/
total 1 replies
Usmi Usmi
seharusnya td Arga jujur aja
Usmi Usmi
kayak nya cinta jajaran genjang ya Thor 😂
Rindu Firdaus
Buat yang suka drama panas dan cinta terlarang, ini wajib dibaca. Ceritanya greget dari awal sampai akhir!
iza
Sudah nunggu dari kemarin-kemarin, ayo dong thor.
Kiritsugu Emiya
Habis baca cerita ini, aku merasa jadi karakter di dalamnya. Luar biasa, thor!
Dadi Bismarck
Jangan nggak baca, sayang banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!