Elina adalah seorang pengacara muda handal. Di usianya yang terbilang masih muda, dia sudah berhasil menyelesaikan banyak kasus penting di karirnya yang baru seumur jagung.
Demi dedikasinya sebagai seorang pengacara yang membela kebenaran, tak jarang wanita itu menghadapi bahaya ketika menyingkap sebuah kasus.
Namun kehidupan percintaannya tidak berbanding lurus dengan karirnya. Wanita itu cukup sulit melabuhkan hati pada dua pria yang mendekatinya. Seorang Jaksa muda dan juga mentor sekaligus atasannya di kantor.
Siapakah yang menjadi pilihan hati Elina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejanggalan
"Ibu tidak perlu memikirkan biayanya. Bisa Ibu ceritakan apa yang terjadi malam itu?"
Untuk ke sekian kalinya Santi menceritakan apa yang terjadi pada malam kelam itu. Selama menceritakan apa yang terjadi, airmata Santi tak berhenti mengalir. Kejadian penusukan pada Hadi mengejutkannya. Tapi dia tidak menyangka kalau tusukannya menyebabkan sang suami kehilangan nyawa.
Selama mendengarkan keterangan Santi, Elina mencocokkan jawaban dengan laporan yang ditulis oleh pihak kepolisian. Dia juga memperhatikan foto-foto di TKP. Darah yang keluar memang sangat banyak. Menggenangi lantai di mana tubuh Hadi terkapar. Pisau yang digunakan untuk menusuk korban ditemukan tidak jauh dari korban.
"Apa benar ini pisau yang Ibu gunakan untuk menusuk Pak Hadi?"
"Iya."
"Saat Ibu menusuk Pak Hadi, Ibu menarik pisaunya lalu pergi meninggalkan rumah?"
"Saya tidak menariknya. Saya langsung pergi setelah menusuknya."
"Apa Ibu yakin?"
"Iya. Saya ketakutan setengah mati setelah menusuknya jadi saya langsung pergi. Ketika saya pergi, suami saya masih hidup."
"Petugas kepolisian menemukan pisau di lantai. Kalau benar Ibu tidak mencabutnya, ada kemungkinan orang lain yang melakukannya. Apa Ibu sudah mengatakan ini pada petugas polisi?"
"Sudah. Tapi mereka bilang, mereka tidak menemukan jejak lain di dalam rumah. Hanya ada jejak saya dan suami saja. Apa Ibu bisa menolong saya? Kalau benar ada orang lain di sana, saya bisa bebas kan?"
"Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa. Tapi saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan Ibu tidak bersalah."
Setelah mengatakan keterangan Santi, Elina pun mengakhiri pertemuannya dengan perempuan itu. Dia segera keluar dari ruangan dan bertemu dengan Aditya. Ada hal yang harus dibicarakan dengan Kakak sepupunya itu.
"Bu Santi bilang kalau dia tidak mencabut pisaunya. Pisau masih menancap di tubuh suaminya ketika dia meninggalkan rumah."
"Ya, aku juga sudah memeriksanya. Kami menyusuri lagi TKP tapi tidak menemukan jejak siapa pun di sana kecuali milik Bu Santi dan korban."
"Ngga mungkin kan pisau itu jalan sendiri? Keluar dari perut korban dan jatuh ke lantai."
"Bisa saja Hadi yang mencabut pisau."
"Kalau itu yang terjadi, berarti kematian Hadi bukan disebabkan oleh Bu Santi."
"Tapi korban sudah meninggal dan satu-satunya orang yang dicurigai dalam kasus ini adalah Bu Santi. Sorry to say, dia tidak mungkin lolos dari dakwaan Jaksa."
Elina menyugar rambutnya. Apa yang dikatakan Aditya benar adanya. Korban sudah meninggal dunia. Walau pun benar Hadi yang mencabut pisau dan menyebabkan dirinya kehilangan banyak darah, tetap saja tidak ada yang bisa membuktikan hal tersebut.
"Apa Aang atau Tante Kim menemukan sesuatu?"
"Mereka tidak terlibat dengan kasus ini. Mereka sedang membantu kasus lain."
"Apa Abang tidak bisa melakukan penyelidikan lagi?"
"Kasusnya sudah diserahkan ke Kejaksaan. Besok Bu Santi akan dipindahkan ke rutan dan menunggu persidangan."
"Kenapa secepat ini?"
"Semua bukti sudah lengkap. Lagi pula Jaksa yang menangani kasus ini meminta kami menyelesaikannya dengan cepat. Bahkan dia datang ke sini sendiri kemarin, meminta berkas Bu Santi diserahkan padanya."
"Kenapa terburu-buru seperti ini. Aneh."
Aditya hanya mengangkat bahunya saja. Jaksa yang menangani kasus Santi adalah Jaksa pindahan dari Jakarta. Mereka belum terlalu mengenal Jaksa tersebut. Dan ketika datang, pria itu memang sedikit memaksa tim Jatanras satu untuk segera merampungkan laporannya.
"Mungkin kamu bisa tanya sama Zahran soal Jaksa yang menangani kasus klienmu. Tanpa memeriksa berkas dengan seksama, dia langsung menanda tangani nya. Dan memerintahkan Bu Santi segera dipindahkan ke rutan."
"Siapa nama Jaksanya?"
"Carya Respati. Aku yakin kamu bisa membantu Bu Santi seperti kamu membantu Salman waktu itu. Walau kamu tidak bisa membebaskannya dari hukuman, setidaknya kamu bisa mendapatkan keringanan hukuman untuknya. Ini kejahatan pertamanya dan dia melakukan itu untuk membela diri."
"Oke, Bang. Terima kasih."
Elina segera meninggalkan kantor Polrestabes. Sebelum menjalankan mobilnya, wanita itu menghubungi Zahran lebih dulu. Zahran adalah senior di kampusnya dan sekarang berkarir sebagai Jaksa. Hubungan mereka terbilang dekat. Bahkan Zahran sudah terang-terangan menyatakan ketertarikannya pada Elina, hanya saja wanita itu masih belum memberikan jawaban apapun.
Setelah menghubungi Zahran, Elina segera memacu kendaraannya menuju Kantor Kejaksaan Negeri yang berada di jalan Jakarta. Dia perlu tahu siapa Jaksa yang menangani kasus Santi. Hal biasa yang dilakukan olehnya saat menangani kasus kliennya. Hal ini di pelajari dari Gerald. Sebelum berhadapan dengan musuh di pengadilan, harus tahu lebih dulu siapa lawannya. Dengan begitu dia bisa memprediksi apa yang akan dilakukan Jaksa saat persidangan nanti.
Perjalanan menuju kantor Zahran memakan waktu cukup lama. Setelah berkendara hampir satu jam lamanya, akhirnya Elina tiba juga di kantor Zahran. Pria itu sudah menunggu Elina di depan kantor. Elina segera turun dari mobilnya lalu menghampiri Jaksa muda itu.
"Kamu sudah makan?" itulah pertanyaan pertama keluar dari mulut Zahran ketika bertemu dengan Elina.
"Belum," Elina melihat jam di pergelangan tangannya.
"Apapun yang mau kamu tanyakan, tahan dulu. Bagiamana kalau kita bicara sambil makan? Aku lapar."
Zahran segera menarik tangan Elina, membawa wanita itu ke mobilnya. Dia segera membukakan pintu mobil dan mempersilakan wanita pujaannya masuk ke dalamnya. Dalam hitungan menit, kendaraan roda empat milik Zahran sudah meluncur meninggalkan kantornya. Pria itu memilih tempat makan yang tidak terlalu jauh dari kantornya.
"Kamu mau makan apa?"
"Menu spesial di sini apa?"
"Ayam bumbu ijo, cumi bakar dan sei sapi."
"Aku minta sei sapi aja."
Zahran mengangkat tangannya dan seorang pelayan segera menghampirinya. Pria itu segera memesan makanan untuknya dan juga Elina. Sambil menunggu makanan siap, keduanya memulai perbincangan.
"Apa yang mau kamu tanyakan?"
"Apa Abang kenal dengan Carya Respati?"
"Dia Jaksa pindahan dari Jakarta, kenapa?"
"Aku sedang menangani kasus dan dia yang jadi Jaksa penuntutnya."
"Maksudmu kasus pembunuhan seorang suami yang istrinya terkena KDRT?"
"Iya. Aku heran aja kenapa Carya ingin menangani kasus ini cepat-cepat. Bahkan dia datang sendiri ke kantor Polrestabes untuk mengambil laporan. Menanda tanganinya dengan cepat tanpa membacanya lebih dulu."
"Dia memang Jaksa yang terkenal bekerja cepat."
"Tapi apa tidak terlalu sembrono?"
"Carya adalah orang yang kalau dia sudah yakin akan kasusnya, pasti akan dilakukan dengan cepat tanpa menundanya lagi. Itu artinya dia sudah sangat yakin kalau pembunuh korban adalah istrinya sendiri."
"Tapi ada yang ganjil. Pisau ditemukan tergeletak di lantai. Sementara Bu Santi mengatakan kalau dia tidak mencabut pisau dari perut suaminya. Bagiamana caranya pisau bisa berpindah tempat?"
"Bisa jadi korban sendiri yang mencabutnya atau pelaku yang mencabutnya, tapi karena panik, dia lupa apakah pisau itu ditarik atau dibiarkan tertancap di perut korban."
Tidak ada jawaban dari Elina. Apa yang dikatakan Zahran cukup masuk akal. Saat keadaan panik, terkadang seseorang menjadi linglung dan meyakini hal yang tidak dilakukannya. Apalagi Aditya mengatakan kalau tidak ditemukan jejak lain di TKP.
"Carya salah satu Jaksa terbaik di kantor terdahulu. Kamu harus berhati-hati menghadapinya. Aku dengar salah satu alasan dia ingin menyelesaikan persidangan secepatnya karena dia akan segera menangani kasus besar."
"Kasus apa?"
"Narkoba."
"Ck.. jadi dia menganggap remeh kasus yang kutangani."
"Kalau kamu merasa ada yang ganjil dengan kasus itu, selidiki lagi. Datangi lagi TKP dan dapatkan bukti untuk meringankan klienmu."
"Aku memang berencana ke TKP."
"Jangan pergi sendiri. Mau kutemani?"
"Tidak usah. Aku bisa pergi dengan Bang Fathir."
"Aku cemburu pada Fathir, dia bisa menemanimu kapan saja. Sedang aku, kamu datang menemuiku kalau membutuhkan sesuatu."
"Abang ngga pantas merajuk seperti itu."
Zahran melemparkan senyumnya. Sebenarnya pria yang berprofesi sebagai Jaksa ini berwajah tampan dan memiliki karir yang cemerlang. Elina juga sudah mengenalnya sejak di bangku kuliah. Tapi untuk menerima pernyataan cinta Zahran, Elina masih butuh waktu.
Perbincangan mereka terhenti ketika pelayan datang membawakan pesanan mereka. Harum aroma sei sapi langsung menyapa indra penciuman membuat cacing di perut Elina menggeliat. Wanita itu langsung menyantap hidangan yang sudah tersedia di meja. Zahran mengambil sebutir nasi yang menempel di sudut bibir Elina.
"Makannya pelan-pelan. Ngga akan ada yang mau ambil punya kamu kok."
"Enak banget ini sei sapinya. Kok aku baru tahu ada tempat makan seenak ini di sini."
"Kalau kamu mau, kamu bisa makan siang di sini setiap hari sama aku."
"Asal Abang yang traktir."
"Boleh. Jangankan traktir makan,bawa kamu buat dibayar tunai di depan penghulu juga sanggup."
"Dasar gombal."
Tak ayal senyum terbit di wajah Elina. Wanita itu kembali menikmati makanannya. Sesekali Zahran memandangi wajah cantik Elina. Andai Elina menjawab lamarannya, dia akan langsung membawa orang tuanya malam ini juga untuk melamar secara resmi.
***
Keesokan harinya Elina mendatangi TKP bersama dengan Fathir. Fathir adalah salah satu anggota tim keamanan Hikmat. Dia diminta Zar untuk menemani Elina ketika melakukan penyelidikan untuk kasus yang ditanganinya. Usia Fathir hanya berbeda dua tahun saja dari Elina. Hubungan mereka juga terbilang dekat dan akrab. Selain menemani Elina, keselamatan gadis itu juga menjadi tanggung jawabnya.
Mobil yang dikendarai Fathir berhenti di depan gang di mana rumah Hadi berada. Elina mengganti dulu high heels yang dikenakannya dengan sepatu kets, baru kemudian turun dari mobil. Keduanya segera menuju rumah Hadi yang masih terpasang garis kuning di depannya. Wanita itu menundukkan tubuhnya untuk melewati garis kuning lalu masuk ke dalam rumah.
Keadaan di dalam rumah masih sama seperti saat mayat Hadi ditemukan. Di lantai terdapat garis tubuh Hadi saat di temukan. Elina berkeliling untuk mencari sesuatu yang membuktikan kalau ada orang lain di sana selain Santi dan Hadi. Fathir pun ikut membantunya.
Ketika sedang memeriksa setiap sudut rumah, terdengar suara berderak dari arah belakang rumah. Elina bergegas menuju jendela untuk melihat sumber suara. Dia melihat seorang pria berlari menjauhi rumah Hadi.
***
Jadi yang bunuh Hadi siapa? Santi, atau🤔
Yuk coba analisa sama kalian, jadi Detective Conan atau Sherlock Holmes sebentar😉
aku yakin Gita suka sama Gerald , tapi sayangnya Gerald suka sama Elina . dan pada akhirnya nanti Elina malah mendukung Gita dengan Gerald .
pikiranku terlalu jauh gak sih , tapi namanya juga nebak , bener sukur , kalau salah ya udah berarti gak sesuai dengan ide cerita kak othor . jadi nikmati aja ya El......
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
tapi nabila ikutin alurnya mak author deh
sedangkan sama Zahran , Zahran bisa mengimbangi Elina biar kata Zahran menuruti elina tapi dia bisa membujuk Elina dan mengarahkan insyaallah bahagia terus kalau sama Zahran..
E..tapi kok aq lebih sreg EL sam bang Ge ya 🤭🤭🤭
Ya walaupun duda sih, kan skrg Duda semakin didepan 🤣🤣🤣
Tapi aq manut aja apa yg ditulis kak icha.,
Siapa tw dgn kasus ini akhrnya El sama Gita bisa jadi bestie ye kan....
Trys gita jadian sama zahran 🤣🤣🤣