Jalan berliku telah Nina lalui selama bertahun-tahun, semakin lama semakin terjal. Nyaris tak ada jalan untuk keluar dari belenggu yang menjerat tangan dan kakinya. Entah sampai kapan
Nina mencoba bersabar dan bertahan.
Tetapi sayangnya, kesabarannya tak berbuah manis.
Suami yang ditemani dari nol,
yang demi dia Nina rela meninggalkan keluarganya, suaminya itu tidak sanggup melewati segala uji.
Dengan alasan agar bisa melunasi hutang, sang suami memilih mencari kebahagiaannya sendiri. Berselingkuh dengan seorang janda yang bisa memberinya uang sekaligus kenikmatan.
Lalu apa yang bisa Nina lakukan untuk bertahan. Apakah dia harus merelakan perselingkuhan sang suami, agar dia bisa ikut menikmati uang milik janda itu? Ataukah memilih berpisah untuk tetap menjaga kewarasan dan harga dirinya?
ikuti kelanjutannya dalam
KETIKA SUAMIKU BERUBAH HALUAN
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03. Suamiku tergoda janda
“Mas Wito…?” Nina terpaku menatap Wito yang hanya mengenakan celana boxer saja
"Apa ini, Mas?" Air mata Nina jatuh. Kepercayaan hancur.
Wito mencoba menjelaskan, tapi Nina tak mampu mendengar. Bayangan kerja kerasnya, uang yang dikumpulkan, sirna. Ia melihat Mbak Romlah yang masih berdiri di ambang pintu, tanpa rasa bersalah. Lalu kemeja dan celana Wito teronggok di lantai.
"Penjelasan apa lagi?" Suara Nina lemah, penuh kepedihan. "Aku sudah melihat semuanya."
Wito tertunduk. Kebaikan Mbak Romlah, kesempatan berduaan saat hujan, kelelahan, semuanya menjerumuskan. Kecantikan Mbak Romlah, berbeda dengan istrinya yang kusam, membuatnya silau. Ini bukan pertama kalinya. Pulang terlambat, bukan karena pasar, tapi…
"Aku khilaf," lirih Wito.
Nina terisak. Suaminya yang menyayanginya, tega berbuat demikian. Ia merasa dikhianati, bukan hanya oleh Wito, tapi juga Mbak Romlah.
Nina menatap Mbak Romlah sambil tersenyum sinis. "Kenapa, Mbak?" tanya Nina maaih mencoba menahan amarah. "Kamu cantik, kaya. Kenapa harus suamiku?"
Mbak Romlah tersenyum lebih lebar. "Jangan pura-pura bodoh. Uang Wito, sebagian besar hasil 'perjanjian' kita. Kau menikmati hasilnya, hutangmu lunas. Bersyukurlah."
Kalimat yang keluar dari mulut Romlah terasa begitu menusuk. Harga dirinya jatuh. Kehidupan yang lebih mudah, ternyata dibangun di atas pengkhianatan Wito.
Nina menggeleng. "Kamu memanfaatkan kesusahan kami! Kamu juga wanita, tidakkah kamu merasa sakit hati jika diperlakukan demikian?"
"Banyak omong! Kau munafik! Padahal Kau menikmati uangku! Tanpaku, apa bisa kau lunasi hutang?" ejek Mbak Romlah.
"Aku tak butuh kemudahan dengan cara menjijikkan ini!" bentak Nina. "Aku lebih baik miskin dan menjaga harga diri!"
Nina menatap Wito, penyesalan di matanya tak cukup menghapus luka. Dia merasa dipermainkan.
"Ingatlah kaluan berdua, hukum tabur tuai itu ada. Jika pun tidak sekarang, pasti suatu saat nanti."
Nina berbalik, lalu meninggalkan rumah Romlah dengan membawa luka hatinya. Hujan membasahi tubuhnya, tak sebanding dengan air matanya. Agus menunggunya. Bagaimana dia akan menjelaskannya?
Dia tak tahu apa yang akan dia lakukan selanjutnya, tapi satu hal yang pasti, dia harus berjuang untuk mendapatkan kembali harga dirinya, dan memutuskan masa depannya, tanpa harus bergantung pada belas kasihan atau kemudahan yang diperoleh dengan cara menjijikkan.
Di perjalanan pulang, Nina merenungkan semuanya. Dia tak bisa langsung memutuskan untuk bercerai. Dia harus memikirkan Agus, masa depan anaknya. Namun, kepercayaan yang telah hancur, sulit untuk dibangun kembali. Dia harus mencari kekuatan baru untuk menghadapi semuanya, untuk dirinya sendiri, dan untuk Agus.
"Ayah mana, Bu?" tanya Agus. Nina hanya bisa memeluknya erat, menyembunyikan kesedihan.
"Ayah masih kerja. Agus tidur saja dulu, ya?"
Agus, anak kecil berusia enam tahun itu mengangguk. Dia tidak tahu ada apa. Tapi dia merasa ibunya sedang tidak baik-baik saja.
Wito datang beberapa saat kemudian, tubuhnya basah kuyup karena menerobos hujan. Dia melihat Nina duduk di tepi ranjang tua di kamar mereka yang sempit. Punggung wanita itu menelungkup, bahu bergetar menahan isak tangis. Hujan tak kunjung reda, bahkan mencurahkan airnya semakin deras. Seakan ikut menangis bersama Nina,
Wito mendekat, ingin memberikan pelukan, mengucapkan kata-kata penyesalan. Namun, sebelum dia sampai, Nina menepis tangannya dengan kasar. Tatapannya tajam, dipenuhi luka dan amarah yang membara.
"Jangan sentuh aku!" bentak Nina, suaranya tertahan isak. "Bagaimana bisa kau tega melakukan ini padaku, Mas? Setelah semua pengorbanan yang kulakukan, setelah semua kerja keras kita bersama untuk melunasi hutang, kau malah... kau malah..." Nina terisak, tak mampu melanjutkan kalimatnya. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat.
Wito tersentak, hatinya semakin remuk. Baru sadar bahwa dia telah melukai wanita yang dicintainya sedemikian rupa. Dia mengerti, kata-kata tak akan mampu memperbaiki semuanya. Kesalahan yang telah dia perbuat terlalu besar, terlalu menyakitkan.
Nina menatap Wito dengan mata yang berkaca-kaca, suaranya bergetar menahan amarah dan kepedihan yang mendalam. "Aku mempercayaimu, aku mengandalkanmu, tapi ternyata, kamu membalasnya dengan pengkhianatan yang begitu menyakitkan!" suaranya meninggi, dipenuhi rasa sakit hati yang amat dalam.
"Kau telah menghancurkan kepercayaan, menghancurkan harga diriku, dan menghancurkan keluarga kita!" Nina mengepalkan tangannya, menahan amarah yang hampir meledak. "Aku benci kamu, Mas Wito! Aku sangat membencimu!" teriaknya, suaranya penuh keputusasaan.
“Apa Kamu tahu, Mas? Seandainya saja bisa, aku ingin mengorek kembali isi perutku agar aku bisa memuntahkan nya kembali. Aku jijik mengingat ternyata aku makan dengan menjual tubuh suamiku untuk dinikmati wanita lain.”
Tanpa mereka sadari, pertengkaran hebat itu disaksikan oleh Agus, anak mereka yang baru saja duduk di bangku TK. Agus, yang semula hendak berangkat tidur, urung dan berlari mendekat saat mendengar suara bentakan ibunya. Ia melihat orang tuanya bertengkar dengan hebat, air mata mengalir deras di wajah ibunya, sedangkan ayahnya tertunduk lesu. Kata-kata yang mereka ucapkan tak dimengerti Agus, namun ia merasakan suasana tegang dan menakutkan. Hati kecilnya dipenuhi ketakutan dan kebingungan.
Agus melihat ibunya menangis tersedu-sedu, bahunya bergetar hebat. Ia ingin mendekat, ingin memeluk ibunya, namun kakinya terasa berat, tak mampu melangkah. Ia hanya bisa diam terpaku, menyaksikan pertengkaran orang tuanya dengan pandangan kosong. Air mata yang semakin membanjiri pipinya.
duh, wit wit..mulakno to ora usah kakean polah, duwe bojo pinter golek duit kok yo isih bertingkah... ckckck