Jingga, Anak dari seorang konglomerat. Meninggalkan keluarganya demi menikah
dengan pria yang di cintainya.
Bukannya mendapatkan kebahagiaan setelah menikah, ia justru hidup dalam penderitaan.
Akankah Jingga kembali ke kehidupannya yang dulu atau bertahan dengan pria yang menjadi suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon m anha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Bisa Memaafkan
"Ayah, tak bisa kah Ayah memaafkan Jingga? Sekarang kita sudah memiliki cucu, Ayah," ucap Mita mencoba membujuk suaminya untuk memaafkan kesalahan putrinya.
"Tidak, jika dia mau kembali sendiri pada kita barulah ayah akan memaafkannya. Kamu tak tahu betapa malunya ayah pada keluarga Gantara, kita sudah menolak mereka setelah kita menyetujuinya."
Mendengar itu Mita hanya terdiam, ia tahu jika apa yang diperbuat oleh putrinya itu sudah membuat perusahaan mereka menjadi goyah dan hampir saja bangkrut, beruntung keluarga Gantara mau memaafkan kesalahan mereka.
Sementara itu di rumah sakit, Jingga sangat senang saat melihat suami dan juga mertuanya menyambut kelahiran cucunya. Mereka terlihat begitu bahagia dengan anak yang baru saja dilahirkannya.
"Mas, aku haus," ucap Jingga. Namun, suaminya itu sama sekali tak mendengarnya, membuat Jingga mau tak mau mencoba meraih sendiri gelas yang ada di atas nakas. Namun, karena tak hati-hati gelas itu pun terjatuh dan pecah.
"Ya ampun, Jingga. Kamu itu apa-apaan, Sih!Masa seperti itu saja kamu tak bisa mengambilnya!" bentak Ambar.
"Maaf, Bu. Aku tak sengaja, aku sangat haus."
"Kamu kan bisa turun dari tempat tidur dan mengambilnya sendiri, jangan manja. Coba lihat apa yang kamu lakukan, gelasnya menjadi pecah. Siapa yang mau membersihkannya?"
"Biar aku saja Bu, yang membersihkannya," ucap Aditya kemudian memberikan putrinya pada ibunya, ia pun membersihkan pecahan gelas itu dan memberikan air untuk Jingga.
"Jangan membuat Ibu marah, jika hal seperti ini cobalah berpikir cerdas, jangan membuat kesalahan," ucapnya membuat Jingga pun hanya mengangguk kemudian ia hanya meminum seteguk air itu dan menyimpannya kembali. Rasa hausnya tiba-tiba hilang berganti rasa sesak didada.
"Oh ya, Aditya. Coba katakan kepada dokter kapan kita bisa pulang. Aku lihat istri kamu sudah baik-baik saja, jika bisa minta dokter agar kita bisa pulang malam ini juga. Jika menginap pasti biayanya sangat mahal. jika bisa kita pulang saja," ucap Ambar membuat Aditya pun mengangguk dan keluar dari ruangan itu.
Walau dokter memintanya untuk menginap sehari. Namun, tetap saja Aditya meminta untuk pulang, membuat dokter pun mengizinkan mereka pulang. Namun, tetap harus menandatangani beberapa surat karena mereka keluar dengan kemauan mereka sendiri.
"Ya sudah, Dokter. Terima kasih, kami pulang dulu," ucap Ambar sambil menggendong bayinya berjalab keluar, sementara Aditya mendorong Jingga menggunakan kursi roda menuju ke mobil.
Sepanjang perjalanan Jingga hanya terdiam, ia tak percaya dengan apa yang baru dialaminya. Suaminya memaksanya untuk pulang walau dia merasa jika dia masih membutuhkan perawatan di rumah sakit. Namun, sepertinya suaminya itu tak melihat penderitaannya, ia bahkan merasa tak bersalah sedikitpun karena tak menemaninya dalam proses persalinan bayi mereka.
Sesampainya di rumah, Jingga merasa pusing, membuat dia memilih untuk langsung ke kamarnya dan beristirahat, sedangkan ibu mertuanya mengurus bayi mereka begitupun dengan Aditya, karena ia belum memiliki ASI membuat bayinya pun harus meminum susu dari botol.
Selama seminggu bayi itu diurus oleh Ambar, Jingga hanya mengambil bayinya saat akan menyusuinya saja, kemudian ia pun kembali beristirahat.
"Jingga, bagaimana keadaanmu? Apa kamu sudah merasa lebih baik?" tanya Ambar sambil menggendong cucunya.
"Iya, Bu. Aku sudah baik-baik saja, kok," jawab Jingga yang sedang merapikan tempat tidurnya.
"Kamu sudah bisa mengurus sendiri bayimu 'kan? Ibu sudah seminggu ini tak keluar bertemu dengan teman-teman ibu."
"Iya, Bu. Tentu saja, terima kasih banyak selama seminggu ini Ibu sudah sangat membantu, aku sudah bisa mengurusnya sendiri, kok," jawabnya membuat Ambar memberikan cucunya itu kepada Jingga.
"Ya sudah, ibu pergi dulu."
Jingga pun mengangguk dan menatap sosok cantik yang ada di gendongannya, sosok yang diberi nama Nabila.