Novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan Lucas Alarik yang menunggu sang kekasih untuk pulang kepelukannya. Mereka berjarak terhalang begitulah sampai mungkin Lucas sudah mulai ragu dengan cintanya.
Akankah Mereka bertemu kembali dengan rasa yang sama atau malah asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_jmjnfxjk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20.Hari yang Tidak Pernah Diberi Nama
Hari perpisahan angkatan itu datang dengan langit yang terlalu cerah.
Spanduk terbentang di aula sekolah, kursi disusun rapi, dan wajah-wajah kelas dua belas dipenuhi senyum yang terlihat utuh dari jauh. Lucas berdiri di barisan depan, mengenakan seragam terakhir yang terasa lebih berat dari biasanya. Tepuk tangan terdengar, nama-nama dipanggil, kamera berbunyi.
Semua tampak selesai.
Padahal tidak ada yang benar-benar berakhir dengan rapi.
Lucas tersenyum saat namanya disebut, tapi pikirannya melayang ke satu nama yang sejak pagi tidak muncul di layar ponselnya. Tidak ada pesan. Tidak ada kabar. Sunyi yang terlalu panjang untuk diabaikan.
Athaya.
Ia mengira setelah ujian berakhir, keadaan akan lebih tenang. Nyatanya, kekosongan justru makin terasa. Seperti sesuatu yang sedang menjauh tanpa sempat ia kejar.
Di sisi lain aula, Danu berdiri sambil bercanda ringan dengan beberapa teman. Sesekali matanya menangkap sosok Gio di barisan berbeda—duduk tenang, wajahnya pucat tapi tersusun rapi. Gio tidak menoleh, tidak tersenyum, tapi Danu menganggapnya biasa saja.
Mungkin lagi capek, pikirnya.
Mungkin masih butuh waktu.
Ia tidak tahu bahwa hari itu bukan sekadar perpisahan angkatan.
Setelah acara resmi selesai, halaman sekolah dipenuhi tawa, foto terakhir, dan suara guru-guru yang mengucapkan selamat. Lucas menyalami beberapa orang, tapi gerakannya mekanis. Ponselnya kembali ia cek. Tetap kosong.
Dadanya terasa sesak.
“Athaya…” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar di tengah keramaian.
Danu melihat Gio berdiri di dekat gerbang sekolah, sendirian. Ia menghampiri tanpa beban, seperti biasa—seolah besok mereka masih akan bertemu.
“Lu gak foto?” tanya Danu ringan.
Gio menggeleng pelan. “Gak pengin.”
“Oh.” Danu mengangguk. “Yaudah. Besok juga masih bisa ketemu.”
Gio menatapnya lama. Ada sesuatu di matanya—tenang tapi terlalu dalam. Danu tidak menyadarinya sebagai tanda perpisahan. Ia hanya melihat kelelahan.
“Iya,” jawab Gio pelan.
Hanya satu kata. Tidak lebih.
Danu tersenyum kecil. “Jaga diri, ya.”
Gio membalas dengan anggukan singkat. Tidak ada pelukan. Tidak ada ucapan tambahan. Saat Gio melangkah pergi, Danu sama sekali tidak merasa sedang ditinggalkan. Ia bahkan sempat berpikir untuk menyusul, lalu mengurungkannya.
Nanti aja, pikirnya.
Lucas berdiri beberapa meter dari mereka, tapi pikirannya sedang berada jauh. Ia mengambil tas dengan gerakan tergesa, napasnya pendek. Sesuatu terasa salah—dan instingnya berteriak.
Ia baru saja akan melangkah pergi ketika seseorang menahannya.
“Lu mau ke mana?” suara Dewi terdengar lembut di belakangnya.Lucas menoleh cepat. “Gw harus ke bandara.”
“Sekarang?” Dewi mengernyit. “Lu habis acara. Lu capek.”
“Ada yang gak beres.” Lucas menggeleng. “Dia gak ngabarin sama sekali.”
Dewi mendekat satu langkah, menyentuh lengannya pelan. “Mungkin dia butuh waktu. Lu selalu mikir terlalu jauh.”
Sentuhan itu membuat Lucas berhenti. Ragu. Ia menatap layar ponselnya sekali lagi—sunyi. Lalu menatap Dewi yang terlihat tenang, stabil, ada di hadapannya.
Tanpa ia sadari, waktu bergerak.
Di tempat lain, Athaya menghilang tanpa kabar. Garis depan perang tidak memberi ruang untuk penjelasan. Nama-nama hilang sebelum sempat dipertahankan.
Lucas menghela napas panjang. “Nanti aja,” gumamnya, lebih seperti menenangkan diri sendiri.Dewi tersenyum kecil. “Besok juga bisa.”
Sore bergeser ke malam.
Danu berdiri di depan sekolah sambil menunggu ojek online. Ia mengirim pesan singkat ke Gio—tidak mendesak, hanya sapaan biasa. Pesan itu terkirim, tapi tidak dibalas.
Lucas duduk di tangga aula, ponsel di tangannya, dada penuh rasa yang tidak bisa ia beri nama.
Tiga hal terjadi di hari yang sama.
Satu dirayakan.
Satu ditinggalkan tanpa sadar.
Satu menghilang tanpa izin.
Dan ketika malam turun, Jakarta menyimpan kepergian yang tidak diumumkan—sementara orang-orang yang ditinggalkan masih mengira esok hari akan berjalan seperti biasa.
—bersambung—