Seorang putri Adipati menikahi putra mahkota melalui dekrit pernikahan, namun kebahagiaan yang diharapkan berubah menjadi luka dan pengkhianatan. Rahasia demi rahasia terungkap, membuatnya mempertanyakan siapa yang bisa dipercaya. Di tengah kekacauan, ia mengambil langkah berani dengan meminta dekrit perceraian untuk membebaskan diri dari takdir yang mengikatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20
"Maafkan saya, Yang Mulia. Nona telah menginstruksikan saya untuk tidak mengizinkan Anda menemui Tuan Muda," ucap Lian'er, menghalangi langkah Putra Mahkota yang bersikeras ingin melihat bayi Cheng Xiao.
"Aku ayahnya! Mengapa aku tidak diperbolehkan menemui putraku sendiri?!" bentak Putra Mahkota dengan nada marah yang menggelegar di lorong paviliun.
Lian'er hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ketakutan jelas terpancar di wajahnya. Dia sangat menghormati Putra Mahkota, namun di sisi lain, ia juga tidak berani mengabaikan perintah Nona-nya. "Maafkan saya, Yang Mulia," ulangnya dengan suara lirih namun tegas, tetap teguh pada pendiriannya.
"Zheng Bai, singkirkan dia dari hadapanku!" titah Putra Mahkota dengan nada dingin yang menusuk.
Mendengar titah itu, Lian'er langsung bersujud di hadapan Putra Mahkota, memohon ampun. Namun, tanpa ampun, Zheng Bai menariknya dengan kasar. Lian'er sama sekali tidak bergeming, bahkan sampai berpegangan erat pada kusen pintu kamar, berusaha sekuat tenaga untuk menahan tarikan paksa Zheng Bai.
"Hentikan!" teriak Cheng Xiao dari kejauhan. Suaranya memecah ketegangan yang mencekam. Ia muncul di ujung lorong paviliun, dengan Wang Jian setia mendampinginya.
Wajah Cheng Xiao tampak pucat pasi, tubuhnya terlihat lemah. Wang Jian dengan sigap memegangi lengan wanita itu, membantunya berjalan mendekat. Wang Yuwen menoleh, terpaku melihat istrinya. Kepanikan dan kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. Tanpa ragu, ia menghampiri Cheng Xiao. "Xiaoxiao..." panggilnya lirih, mencoba meraih tangan Cheng Xiao, namun wanita itu dengan cepat menepisnya.
Cheng Xiao menatap Wang Yuwen dengan mata yang memerah, menahan luapan emosi yang berkecamuk di dalam hatinya. "Aku yang menyuruhnya untuk melarangmu bertemu dengan anakku," ucap Cheng Xiao dengan nada dingin dan datar.
Wang Yuwen merasakan dadanya dihantam ribuan jarum saat mendengar Cheng Xiao berbicara dengan nada setenang itu, dan tatapan kosong yang diarahkan padanya. "Xiaoxiao..." panggilnya lagi, suaranya bergetar. Ia menatap wanita yang selama ini selalu mencintainya dengan sepenuh hati, namun kini ia tidak lagi melihat binar cinta dan kehangatan dari mata wanita di hadapannya itu.
"Pergilah... Aku tidak ingin melihatmu lagi," ujar Cheng Xiao dengan suara lirih namun tegas, lalu berjalan melewati Wang Yuwen menghampiri Lian'er yang masih gemetar ketakutan.
Wang Yuwen terdiam membisu, seolah seluruh oksigen di sekitarnya telah lenyap. Ia merasa sulit bernapas. Pria itu terus menatap Cheng Xiao dengan tatapan kosong, mencoba mencari tahu apa yang menyebabkan perubahan drastis pada diri wanita itu. Apakah karena ia membawa pulang seorang wanita lain, dan Cheng Xiao cemburu hingga tidak ingin dirinya melihat putra mereka?
"Aku kecewa padamu, Kak," ujar Wang Jian dengan nada dingin, lalu berbalik pergi dari paviliun istana Putra Mahkota setelah mengantarkan Cheng Xiao.
Hari itu, Wang Yuwen kembali gagal untuk melihat wajah putranya. Sepanjang hari, pria itu hanya duduk termenung di ruang kerjanya, tanpa melakukan apapun. Rasa kecewa dan kebingungan menyelimuti hatinya. Ia benar-benar merasakan perubahan besar dalam sikap Cheng Xiao terhadapnya. Tatapan wanita itu, suara dan sentuhannya, kini terasa asing dan jauh dari dirinya. Seolah ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka berdua.
Zheng Bai yang memandang keadaan putra mahkota yang tampak kacau dan gelisah, merasa serba salah. Ia ingin melapor, tetapi khawatir jika melakukannya tanpa perintah, justru akan memicu luapan amarah dari Wang Yuwen. Ia menghela napas pelan, bergumam dalam hati, "Mengapa aku merasa tidak akan ada lagi ketenangan di istana ini?"
Dari kejauhan, Zheng Bai memperhatikan Cheng Xiao yang perlahan berjalan menuju ruang baca milik Putra Mahkota. Pria itu segera memberi salam hormat saat wanita itu tiba di hadapannya. "Salam, Yang Mulia Putri," ujarnya sopan.
Cheng Xiao hanya melirik dengan wajah datar, lalu masuk ke dalam ruang baca tanpa banyak bicara. Kedatangannya untuk menemui Wang Yuwen adalah untuk menyerahkan surat cerai. Ia tidak ingin menunggu dekrit perceraian dari Kaisar—karena bagaimanapun, Kaisar tidak akan semudah itu menyetujuinya.
Setelah memasuki ruang, Cheng Xiao melihat Wang Yuwen yang tampak melamun, seolah dunia di sekitarnya tidak ada lagi. Dengan suara lembut namun penuh tekad, dia memanggil, "Yang Mulia..."
Wang Yuwen yang mendengar suara Cheng Xiao langsung mendongak. Tatapan matanya langsung tertuju pada wanita di hadapannya. Senyum kecil terbit di bibirnya, penuh haru dan kerinduan, saat dia melihat istrinya. "Xiaoxiao..." ucapnya pelan, seolah berharap momen itu tak akan berakhir.
Cheng Xiao menghela napas panjang, lalu mengeluarkan sebuah surat dari balik jubah di tangannya. Dengan suara yang tenang namun penuh ketegasan, dia berkata, "Mari kita bercerai."
Dia menatap pria di hadapannya, menunggu reaksi, sambil menahan perasaan campur aduk di dalam dada. Di balik ekspresi datarnya, hati kecilnya berteriak, bahwa ini adalah jalan terbaik untuk mereka berdua, meskipun rasa sakit dan beratnya keputusan itu sangat membekas.
Wang Yuwen terkejut mendengar perkataan Cheng Xiao, matanya membulat menatap surat cerai yang kini sudah berada di atas meja kerjanya. Jantungnya berdegup kencang, seolah ada ribuan jarum yang menusuk dadanya. Pria itu bangkit dari duduknya dengan tergesa-gesa, menghampiri Cheng Xiao yang berdiri tegak di hadapannya. "Xiaoxiao, apa maksudmu dengan semua ini?" tanya pria itu dengan nada cemas, berharap apa yang dia dengar tadi hanyalah mimpi buruk belaka.
Cheng Xiao menatap wajah Wang Yuwen dengan tatapan dingin dan datar, tanpa sedikit pun menunjukkan emosi. "Aku ingin bercerai," ujar Cheng Xiao lagi, mengulangi kata-katanya dengan jelas dan tegas.
Hati Wang Yuwen terasa remuk, hancur berkeping-keping. Meskipun selama ini dia meyakini bahwa dirinya tidak pernah mencintai Cheng Xiao, namun saat mendengar wanita itu ingin bercerai darinya, hatinya terasa sakit dan perih. Ada sesuatu yang hilang dalam dirinya, sesuatu yang tak bisa ia definisikan.
Wang Yuwen meraih kedua bahu Cheng Xiao dengan kedua tangannya, menggenggamnya erat seolah takut wanita itu akan menghilang. "Xiaoxiao, ada apa? Kenapa kau tiba-tiba mengatakan ini?" Wang Yuwen sulit berkata-kata, tenggorokannya tercekat oleh emosi yang membuncah.
"Apakah karena Zhou Mei? Aku bersumpah, dia tidak akan merebut posisimu sebagai istri sahku. Dia tidak berarti apa-apa bagiku," ujar Wang Yuwen dengan nada memohon, masih mengira jika Cheng Xiao marah dan cemburu karena dia membawa pulang Zhou Mei ke istana.
Cheng Xiao menatap mata Wang Yuwen dengan tatapan kosong, tanpa ada cinta ataupun kasih sayang di sana. "Yang Mulia, aku sudah tidak mencintaimu lagi," jawab Cheng Xiao dengan suara lirih namun tegas.
"Bohong!" sentak Wang Yuwen dengan nada keras, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Kau bohong! Kau masih mencintaiku, aku tahu itu. Kau hanya marah karena aku membawa Zhou Mei pulang, kan?" ujar Wang Yuwen dengan nada putus asa, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa Cheng Xiao masih mencintainya.
Cheng Xiao menatap Wang Yuwen dengan tatapan sendu, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Aku sudah lelah, Yang Mulia. Aku sudah lelah terus menerus dibohongi dan dikhianati," ujar Cheng Xiao dengan suara bergetar, air mata wanita itu akhirnya mengalir deras membasahi pipinya.
Wang Yuwen terdiam, terpaku melihat air mata Cheng Xiao. Hatinya terasa semakin sakit dan perih. Ia tahu bahwa ia telah menyakiti wanita itu, dan ia tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.
semangat up nya 💪
semangat up lagi 💪💪💪
Semangat thor 💪