Alvan hanyalah seorang anak petani yang baru lulus kuliah.
Hidup sederhana di desa, membantu orang tuanya di sawah sambil mencari arah hidup yang belum pasti.
Satu kalimat dari gurunya dulu selalu terngiang:
“Nak, ibu sarankan kamu lanjut kuliah"
Namun dunia Alvan berubah bukan karena gelar tinggi, melainkan karena satu tindakan kecil, menolong seorang anak yang terjatuh di sawah.
Ding!
[Sistem berhasil terikat]
Sejak hari itu, kehidupannya tak lagi sama.
Setiap kebaikan kecil memberinya “misi,” setiap tindakan membawa “hadiah”
dan setiap bibit yang ia tanam… bisa muncul nyata di hadapannya.
Namun, seiring waktu berjalan, Alvan menyadari sesuatu, bahwa selain hal-hal baik yang ia dapatkan, hal-hal buruk pun perlahan mulai menghampiri dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quesi_Nue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 - Nadia dan Keluarga
Pintu lift terbuka, menyingkap lobby yang luas dengan lantai marmer mengilap, lampu gantung kristal yang berkilau, dan aroma lembut parfum ruangan yang menyambut setiap tamu.
Di sudut, ada beberapa sofa empuk dengan meja kaca, sementara di belakang, resepsionis sedang sibuk menata berkas. Suasana tenang namun elegan, memancarkan kesan mewah dan tertata rapi.
“Kiri?” ucap Alvan menanyakan arah.
Dibalas anggukan kecil dari Nadia.
Alvan melangkah ke depan dengan mantap, tetap menggendong Nadia di pelukannya.
“Ini kamarmu di bagian mana?” tanyanya, nada suaranya tetap ringan.
Nadia menjawab singkat, suaranya agak lemah, “Lurus aja… mentok di ujung.”
Alvan telah sampai diujung lantai 20.
“Berarti ini, ya?” tanya Alvan sambil menatap gagang pintu yang asing di pikiran nya, kemudian menoleh ke wajah Nadia.
Nadia hanya mengangguk pelan.
Langkah Alvan berhenti tepat di depan pintu bernomor 2008, gagang pintu logam elegan dengan warna silver dan modern,
Layar verifikasi wajah yang langsung terbuka ke atas namun menampilkan warna merah 3x yang menandakan salah.
Akhirnya tombol pin pun terbuka karena salah 3x.
Setelah beberapa detik hening, Alvan pum bertanya,
“Terus… password kamarnya berapa nadia?”
Wajah Nadia langsung memerah, pipinya memanas.
Ia tahu Alvan hanya berniat membantu, tapi tetap saja rasanya aneh saat ditanya begitu, apalagi sambil masih di pangkuan nya..
“E… empat… tujuh… dua… sembilan,” jawabnya akhirnya, pelan dan agak terbata.
Alvan mengangguk tenang, lalu dengan tangan kiri menekan tombol-tombol di panel pintu satu per satu.
Bip!
Pintu terbuka dengan bunyi klik lembut.
“Udah kebuka,” ucap Alvan santai sambil melangkah masuk perlahan, masih memastikan Nadia tidak jatuh dari gendongannya.
Nadia menatap wajah Alvan dari jarak sangat dekat, bisa merasakan napas hangat cowok itu di pipinya.
Hatinya berdebar tak karuan.
“Aduh… kenapa jantungku jadi kayak jantungan gini sih…” pikir Nadia dalam diam, napasnya sedikit tercekat.
Sebelum perasaan itu sempat berkembang lebih jauh, mata Ayah Zai dan Ibu Diana menoleh ke arah pintu.
Mereka melihat Nadia digendong seorang pria dan adiknya yang masih SMA terlihat sangat terkejut.
“Wah gila sih! Kakak udah punya pacar?!” teriak adiknya sambil bertepuk - tepuk tangan sebentar, mata melebar penuh kaget.
“Kirain Kakak nggak bakal ada suami, soalnya kerja terus! Tapi ini… serius nih?!” Ucap Adik Nadia.
Dia menatap Alvan yang masih menggendong Nadia dengan campuran kagum, dan geli, sampai bibirnya tersenyum lebar sambil menahan tawa.
“Enggak… enggak, ini bukan seperti yang kalian kira…” ucap Nadia, sambil menepuk-nepuk tubuh Alvan, memberi isyarat ingin turun dari gendongan.
“Hati-hati, Nad,” kata Alvan, masih belum sepenuhnya sadar situasinya hanya bisa menahan senyum melihat tingkah adiknya yang makin jahil.
“Ma, Yah… cepat nikahin Kakak, keburu dia nolak lagi!” seru adiknya, suaranya campur kaget dan geli, membuat semua yang melihat menahan tawa.
“Ish… dengarin Kakak dulu, ngapain, Dek!” ucap Nadia, baru saja diturunkan perlahan dari pangkuan Alvan.
Wajahnya memerah, mata berkilat sedikit kesal tapi juga malu karena tingkah adiknya yang tak bisa berhenti jahil walaupun ada tamu di depan nya.
Ayahnya, Zai, menegur dengan nada tegas tapi tetap lembut, “Udah-udah, jangan jahil begitu, Dek. Duduk dulu… Eh, siapa tadi, Nad?”
“Alvan, Yah,” jawab Nadia singkat, masih menunduk malu sedikit.
“Nah, iya kalau begitu, Nak Alvan, duduk dulu di sofa,” ucap Zai sambil mengarahkan tangan ke sofa dengan gerakan sopan.
Alvan mengangguk dan berjalan ke sofa di ikuti Nadia yang berjalan kecil ke sofa tempat ibu nya berada.
Zai menatap Alvan sejenak, mencoba membaca maksudnya.
“Ini… ada apa ya, Nak? Hubunganmu dengan anak ku, pacar… atau bagaimana?” tanyanya dengan nada jelas, ingin memastikan tanpa menimbulkan salah paham.
Alvan menarik napas, duduk tegak, dan menjawab dengan sopan, memilih kata-kata hati-hati.
“Maaf, Pak, Bu… ini seperti yang kalian perkirakan. Anak Anda hampir saja tertimpa besi beberapa saat lalu. Saya hanya memastikan dia aman sampai kerumah.”
Kata-kata itu membuat kedua orang tua Nadia terkejut.
Mata Ibu Diana melebar, bibirnya sedikit terbuka, sementara Zai menegang, menatap Alvan dengan serius campur khawatir.
Adik Nadia, yang tadi masih bersemangat jahil, tiba-tiba terdiam dan menatap Alvan dengan rasa kagum sekaligus takut tidak menyangka kakaknya benar-benar nyaris celaka hari ini.
Suasana menjadi hening beberapa detik.
Hanya terdengar suara napas yang agak berat dari Zai, dan Alvan menunggu dengan sabar, tetap duduk tegak, menunjukkan kesan tenang namun tegas.
“Jadi… nak alvan yang menjaga nadia?” tanya Zai akhirnya, nada suaranya masih waspada.
“Ya, Pak. Saya hanya memastikan Nadia aman,” jawab Alvan dengan sopan.
Pandangan seriusnya membuat adik Nadia menunduk, merasa sedikit malu karena tingkah jahilnya tadi tidak ada artinya dibandingkan keberanian dan ketegasan Alvan.
Ibu Diana menepuk pundak Nadia pelan, “Syukurlah… kau aman, Nak. Dan… terima kasih, Nak Alvan, sudah menjaga anak kami.”
Alvan mengangguk hormat.
“tapi Nak… kok bisa ada besi?” tanya Zai penasaran, alisnya mengerut.
“Bapak tahu proyek di Jalan Anggrek?” balas Alvan, menatap Zai dengan tenang.
“Iya, tahu,” jawab Zai singkat.
“Nah… itu, saya tak sengaja berpapasan dengan anak Bapak.
"Sebelumnya, saya sempat melihat besi di atas agak miring-miring sedikit begitu,” jelas Alvan, sedikit mengarang untuk menutupi detail yang sebenarnya ia ketahui dari sistem.
Nada bicaranya tenang, meyakinkan, sehingga terdengar wajar dan tidak berlebihan.
“Huh… untung saja Nak Alvan yang menolongnya. Entah apa yang terjadi kalau kau tak kebetulan lewat di situ…” ucap Zai, suaranya masih dipenuhi kekhawatiran.
“Ah… nggak apa-apa, Pak. Yang penting, jaga anak Bapak dulu. Sepertinya dia masih syok melihat, - ” ucapan Alvan terhenti. Ia sedikit maju, menatap Nadia dengan hati-hati.
Zai juga maju, mata mereka tertuju pada wajah Nadia yang masih sedikit pucat.
“Cipratan darah… dan banyak teriakan orang-orang yang tak sempat selamat tadi…” lanjut Alvan, suaranya pelan namun tegas, menimbulkan rasa mencekam di ruangan.
Ibu Diana menutup mulutnya, napasnya tercekat, sementara adik Nadia menunduk, matanya membesar karena membayangkan betapa dekatnya kakak nya dengan bahaya.
“Van… jangan bilang begitu,” suara Nadia bergetar pelan, pipinya memerah.
“Aku nggak mau dikhawatirkan keluarga aku terlalu begitu.” Ucap Nadia karena suara Alvan tak terlalu kecil.
Alvan menatap matanya sebentar lalu membalas dengan suara lembut tapi tegas, “Gak apa-apa, Nad. Kamu kan wanita, wajar kalau syok begitu. Yang penting kamu baik-baik saja dan sehat.”
“Tapi… kan—” ucapan Nadia terhenti. Alvan berdiri perlahan, langkahnya mantap tapi tenang. Dengan sigap, ia menempatkan jari telunjuk di bibir Nadia, menahan kata-katanya.
“Ssst… diam. Ini semua untuk kebaikanmu, Nadia. Aku gak ingin kamu kenapa-kenapa.”
Matanya menatap Nadia dengan serius, namun ada kelembutan yang tak bisa disembunyikan.
Ia kemudian mengeluarkan ponselnya, membuka kontaknya, dan menyerahkannya ke tangan Nadia.
Tangannya yang gemetar sedikit itu bertemu dengan tangan Alvan, dan Nadia merasakan hangatnya kulitnya bersentuhan dalam sekejap, tapi cukup membuat jantungnya berdebar tak karuan.
“Yaudah kalo begitu aku gak bicara lagi deh tentang itu, tapi.. kalau ada apa-apa, telepon aku. Siap?” ujar Alvan sambil menunduk sedikit, memberi Nadia ruang sekaligus rasa aman.
Nadia mengangguk pelan, pipinya memerah malu. Suaranya terdengar pelan tapi penuh harap, “Tapi… janji ya? Kalau aku suruh kamu datang, kamu pasti datang, kan?”
Alvan menatapnya sejenak, tersenyum tipis, lalu mengangguk mantap. “Iya… pasti nad.”
Momen itu sejenak hening, hanya ada kedekatan dan rasa saling percaya di antara mereka.
Nadia menunduk, masih merasa wajahnya panas, sementara Alvan kembali duduk di sofa masih menatapnya dengan lembut namun tenang.