Cerita ini mengisahkan perjalanan lima teman—Aku, Danang, Rudi, Indra, dan Fandi—yang memutuskan mendaki Gunung Lawu. Namun, perjalanan mereka penuh ketegangan dan perdebatan sejak awal. Ketika mereka tiba di pasar aneh yang tampaknya terhubung dengan dimensi lain, mereka terperangkap dalam siklus yang tidak ada ujungnya.
Pasar Setan itu penuh dengan arwah-arwah yang terperangkap, dan mereka dipaksa untuk membuat pilihan mengerikan: memilih siapa yang harus tinggal agar yang lainnya bisa keluar. Ketegangan semakin meningkat, dan mereka terjebak dalam dilema yang menakutkan. Arwah-arwah yang telah menyerah pada pasar itu mulai menghantui mereka, dan mereka semakin merasa terperangkap dalam dunia yang tidak bisa dijelaskan. Setelah berjuang untuk melarikan diri, mereka akhirnya sadar bahwa pasar setan itu tidak akan pernah meninggalkan mereka.
Keputusasaan semakin menguasai mereka, dan akhirnya mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka ternyata tidak pernah keluar dari pasar setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pradicta Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sosok yang Menuntut
Kami terus berlari tanpa arah, mencoba mencari jalan keluar yang tak kunjung datang. Pasar ini semakin terasa seperti penjara yang tak bisa kami tembus. Setiap sudut, setiap tenda, tampak sama saja. Kami sudah lelah, baik fisik maupun mental, namun perasaan takut itu tak kunjung mereda. Ketakutan yang semakin mendalam membuat langkah kami semakin berat. Rasa cemas dan kebingungan menyelimuti kami semua.
Tiba-tiba, di tengah keheningan yang mencekam, suara langkah kaki terdengar di belakang kami. Kami menoleh dan seketika itu juga, tubuh kami terasa kaku. Di antara bayang-bayang pasar yang semakin gelap, pria tua itu muncul lagi. Sosok yang sudah cukup lama menghantui kami. Wajahnya yang pucat, matanya yang kosong, dan senyum sinis yang selalu terlukis di wajahnya membuat kami semua terdiam. Kami sudah terbiasa dengan ketakutan yang datang dari pasar ini, tapi kali ini rasa takut itu lebih dalam. Sesuatu yang sangat gelap datang bersamanya.
Pria tua itu berdiri dengan tenang di depan kami, tidak tergesa-gesa, seolah dia tahu kami tidak punya pilihan lain. Tanpa mengucapkan kata-kata apapun, dia hanya menatap kami satu per satu. Kami semua berhenti sejenak, mencoba mengatur napas, tetapi tubuh kami seakan terkunci di tempat.
“Jadi, kalian masih berusaha melarikan diri?” kata pria tua itu dengan suara yang dalam dan tegas, suara seraknya semakin membuat kami semakin terperangkap dalam ketakutan. "Kalian sudah lama terjebak di sini, dan kini saatnya memilih."
Danang yang sudah mulai kehilangan kesabarannya mendekat dan berkata dengan suara keras, “Apa maksud lo dengan ini? Kenapa kami harus memilih? Apa yang lo inginkan dari kami?”
Pria tua itu tersenyum sinis, wajahnya semakin menakutkan dengan setiap gerakan yang dia buat. “Hanya satu orang saja yang tetap tinggal di sini berkorban untuk yang lain,” jawabnya, seolah tidak peduli dengan ketakutan kami. “Satu orang yang rela berkorban untuk tinggal di pasar ini. Itu adalah aturan dari tempat ini.”
Kami semua terdiam mendengar kata-kata itu. Hanya satu orang yang bisa keluar hidup-hidup? Itu berarti salah satu dari kami harus mengorbankan diri untuk yang lainnya. Ketika kata-kata itu menggema di kepala kami, perasaan kami semakin kacau. Tak ada jalan keluar yang jelas, dan sekarang kami dihadapkan pada kenyataan yang lebih mengerikan.
“Kenapa hanya satu orang?” tanya Rudi, suaranya terdengar berat. “Kenapa kita harus memilih? Kita semua berhak keluar dari sini!”
“Pasar ini memilih siapa yang bisa keluar,” jawab pria tua itu tanpa ekspresi. “Kalian semua datang ke sini dengan satu tujuan, dan sekarang kalian harus memilih siapa yang akan pergi. Hanya satu yang tidak bisa keluar atau semuanya terperangkap selamanya di sini.”
Kami mulai merasa semakin terpojok. Tidak ada ruang untuk bersembunyi, tidak ada tempat untuk lari. Semua yang kami lakukan terasa sia-sia. Tidak ada jalan keluar, tidak ada cara untuk menghindari kenyataan ini. Pasar ini telah menjerat kami, dan kini kami harus membuat keputusan yang tidak bisa kami hindari. Salah satu dari kami harus tetap di sini, menjadi bagian dari pasar ini, sementara yang lainnya bisa pergi.
“Ini gila,” kata Indra, suaranya semakin serak karena ketegangan. “Lo nggak bisa begitu saja bilang satu orang harus tetap tinggal di sini. Kita nggak akan bisa memilih siapa yang harus pergi.”
Pria tua itu mengangkat bahunya, seolah-olah tidak peduli dengan kebingungan dan ketakutan kami. “Ini bukan pilihan yang kalian buat,” katanya dengan suara yang dalam. “Ini adalah takdir dari pasar ini. Kalian datang ke sini, dan sekarang kalian harus menerima kenyataan bahwa hanya satu orang yang bisa keluar.”
Kami semua terdiam, perasaan cemas semakin menguasai kami. Tidak ada yang bisa menjelaskan apa yang terjadi. Kami berlari untuk mencari jalan keluar, tetapi sekarang kami dihadapkan pada kenyataan yang lebih gelap—salah satu dari kami harus tetap tinggal di sini.
“Siapa yang lo pilih?” tanya Danang, dengan suara yang hampir tak terdengar. “Apa lo sudah memilih siapa yang harus tinggal di sini?”
Pria tua itu hanya tersenyum, senyuman yang semakin mengerikan. “Itu adalah pilihan kalian,” jawabnya. “Aku hanya akan memilih siapa yang akan tinggal setelah kalian membuat keputusan.”
Kami saling pandang satu sama lain. Tidak ada yang siap untuk membuat pilihan ini. Kami sudah berjuang keras untuk sampai sejauh ini, dan sekarang kami harus mengorbankan salah satu di antara kami. Tidak ada satu pun dari kami yang siap menghadapinya. Semua orang tampak bingung, cemas, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
“Gue nggak bisa,” kata Fandi, suaranya terdengar seperti orang yang benar-benar kehilangan arah. “Gue nggak bisa memilih siapa yang harus tinggal. Kita semua berhak keluar.”
“Kita nggak bisa menghindarinya, Fandi,” kata Indra dengan suara berat. “Pasar ini sudah memutuskan takdir kita. Kita nggak bisa keluar dari sini tanpa membuat pilihan itu.”
Kami semua terdiam, terhimpit oleh pilihan yang tak bisa kami hindari. Pria tua itu tetap berdiri di sana, menunggu kami untuk membuat keputusan. Setiap detik terasa semakin menyesakkan dada kami. Kami merasa semakin terjebak dalam permainan yang tidak kami inginkan. Pasar ini seolah-olah sudah menentukan takdir kami, dan sekarang kami harus memilih siapa yang akan meninggalkan tempat ini.
“Lo nggak bisa mendikte keputusan ini!” teriak Danang, suaranya penuh kemarahan. “Kami nggak akan pilih siapa pun! Ini nggak adil! Kita semua berhak untuk keluar!”
“Tapi, kalian tidak memiliki pilihan,” kata pria tua itu dengan tenang. “Kalian terjebak, dan hanya satu yang tidak bisa keluar. Kalau kalian tidak memilih, kalian akan terperangkap di sini selamanya.”
Ketika kami mendengarkan kata-katanya, kami merasa semakin terdesak. Tak ada lagi waktu untuk berdebat. Pilihan ini harus dibuat, dan kami harus menerima konsekuensinya. Kami sudah terlalu jauh, dan pasar ini sudah mengikat kami dalam takdir yang tidak bisa kami hindari.
“Gue nggak bisa,” kata Rudi dengan suara hampir putus asa. “Gue nggak bisa memilih siapa yang harus tinggal. Kita semua nggak pantas untuk tetap di sini.”
“Apa yang kita harus lakukan?” tanya Fandi dengan suara yang semakin lemah. “Siapa yang harus tinggal? Apa kita memilih diri kita sendiri?”
“Tidak ada pilihan yang benar,” kata pria tua itu dengan tenang. “Hanya ada takdir yang harus kalian terima.”
Kami mulai merasa semakin terhimpit. Setiap kata dari pria tua itu semakin membuat kami merasa terperangkap. Pasar ini, dengan segala misterinya, telah menahan kami, dan kini kami dihadapkan pada pilihan yang paling sulit. Kami tidak tahu siapa yang harus memilih. Kami tidak tahu siapa yang harus tetap tinggal. Tak ada jalan keluar—hanya ada satu keputusan yang harus diambil, dan siapa yang memilih akan mengubah segalanya.
Kami terdiam, masing-masing dari kami merasakan kebingungan dan ketakutan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kami hanya berdiri di sana, merasakan beratnya keputusan yang harus kami buat, dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.