Hanabi di bunuh oleh wakil ketua geng mafia miliknya karena ingin merebut posisi Hanabi sebagai ketua mafia dia sudah bosan dengan Hanabi yang selalu memerintah dirinya. Lalu tanpa Hanabi sadari dia justru masuk kedalam tubuh calon tunangan seorang pria antagonis yang sudah di jodohkan sejak kecil. Gadis cupu dengan kacamata bulat dan pakaian ala tahun 60’an.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Ruangan itu remang, hanya diterangi satu lampu gantung tua yang bergoyang pelan di langit-langit. Bau kopi instan dan sisa rokok memenuhi udara.
Di tengah ruangan, Jiyo duduk di kursi logam, tangannya terikat. Pandangannya masih buram, tapi nalurinya sudah siaga.
“Ugh… di mana gue?” gumamnya pelan, suaranya serak.
Dari arah gelap, suara langkah sepatu hak terdengar. Sosok Moira muncul — tenang, tapi sorot matanya tajam.
Rio berdiri santai di samping, memegang secangkir kopi sambil meniup uapnya. Gentha di dinding, diam, tapi matanya waspada.
“Tenang,” kata Moira dengan nada datar. “Lo nggak diculik buat dijual kok. Lo diselamatin.”
Jiyo menyipitkan mata. “Diselamatin? Dari siapa? Dan lo siapa, sih?”
Moira menatapnya lurus. “Nama gue Moira.”
Lalu, dengan nada yang lebih dingin.“Atau mungkin lo lebih kenal gue sebagai Hanabi.”
Wajah Jiyo langsung menegang. “Hanabi…? Itu nggak mungkin. Hanabi udah mati.”
Moira menyeringai tipis. “Itu yang semua orang pikir.” Dia mendekat setapak. “Tapi seperti yang lo lihat, gue masih hidup tapi di tubuh orang.”
Keheningan menggantung di antara mereka.
Detak jam dinding terdengar jelas, nyaris menekan udara.
“Sekarang denger baik-baik,” ujar Moira sambil menarik kursi dan duduk di depannya. “Ini soal Razka.”
Nama itu membuat Jiyo langsung kaku. “Apa yang lo tahu tentang Razka?” nada suaranya tajam, defensif.
Moira menatapnya dalam. “Gue tahu dia main licik. Dan salah satu di jadi baby sugarnya— Paula ibu tiri Moira.
Jiyo langsung tertawa pendek, tidak percaya. “Serius? Lo culik gue cuma buat ngomongin gosip? Paula? Ibu tirinya lo?”
Nada suaranya naik, matanya berkilat. “Gue tahu Paula. Dan gue tahu Razka. Lo pikir gue bakal percaya begitu aja?”
Rio menyandarkan diri ke meja sambil mengangkat alis. “Sayang, ini bukan gosip. Kita punya bukti.”
Jiyo mendengus. “Bukti dari mana? Dari lo? Dari kamera mahal lo yang bisa diedit seenaknya?”
Ia menatap Moira tajam. “Lo pikir gue gampang dikibulin? Gue tahu siapa Razka. Dia mungkin keras, tapi dia bukan tukang licik dan tukang selingkuh”
Gentha, yang dari tadi diam, angkat bicara pelan. “Hahaha wanita selalu saja bilang seperti itu.. makanya jangan terlalu bucin sama laki-laki..”
Mata Jiyo beralih padanya.
“Dia lebih dari itu,” lanjut Gentha datar. “Dia bahkan udah ngebunuh Hanabi dengan cara meracuni Hanabi dan membakar keluarga gue.”
Moira mengeluarkan ponsel, menaruhnya di meja. Ia menyalakan video pengintaian — rekaman Razka dan Paula di mall, bergandengan tangan.
Wajah Jiyo langsung menegang. Bibirnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar.
“Lo bisa bilang itu editan,” ujar Moira pelan. “Tapi suara mereka, itu asli. Dan kalau lo mau, gue bisa kasih tanggal dan lokasi rekamannya. Bahkan siapa saksi di sana. Dan yang dikatakan oleh Gentha itu semuanya benar, dia juga udah bikin gue mati dan jiwa gue ada di tubuh orang lain.”
Jiyo memalingkan wajah. Matanya berkaca, tapi rahangnya mengeras. “Nggak… dia nggak mungkin kayak gini. Gue kenal dia lebih dari lo.”
Moira bersandar ke kursinya, suaranya tenang tapi menusuk.
“Gue juga dulu kenal dia. Sampai akhirnya gue tahu ternyata dia khianati gue dan bikin gue mati. Padahal dia salah satu orang yang gue percayai sebagai wakil ketua Nitro.”
Kata-kata itu menampar udara. Rio menunduk pelan, Bima di pojok bahkan berhenti menggulir ponselnya.
Hening.
Jiyo menunduk, suaranya kecil tapi gemetar. “Kalau yang lo bilang bener… kenapa lo nolong gue? Kenapa nggak langsung laporin aja dia?”
Moira menjawab tanpa ragu. “Karena Razka lebih licin dari yang lo kira. Kita nggak bisa jatuhin dia tanpa orang di dalam — orang yang dia percaya. Dan itu lo.”
“Jadi kalian cuma mau manfaatin gue?” tanya Jiyo cepat, tajam.
Rio menghela napas, kemudian menepuk pundaknya lembut. “Enggak, sayang. Kita ngajak lo buat sadar. Lo korban, bukan alat. Tapi kalau lo mau, lo bisa jadi pelaku yang nyudutin dia.”
Jiyo diam lama. Pandangannya ke arah layar yang masih menampilkan Razka memeluk Paula.
Tangannya menggenggam kuat, jari-jarinya memutih.
Akhirnya, ia mendongak, suaranya pelan tapi keras.
“Gue nggak percaya seratus persen. Tapi gue juga nggak bego. Gue akan cari tahu sendiri. Kalau ternyata lo bohong, Moira, gue pastiin lo nyesel udah bawa-bawa nama dia.”
Moira tersenyum kecil. “Fair enough.”
Dia berdiri, menatap Jiyo lurus. “Lo cari tahu sendiri. Tapi begitu lo tahu kebenarannya, jangan bilang gue nggak ngingetin.”
Rio menepuk tangan pelan. “Wah, fix—nih cewek keras kepala perlu gue timpuk pakai toren.”
Bima mendengus tawa, Gentha cuma menatap datar.
Moira berbalik, langkahnya mantap keluar dari ruangan.
Dan untuk pertama kalinya, Jiyo menatap punggungnya dengan campuran rasa benci, ragu, dan rasa ingin tahu.
Dalam dirinya, satu hal jelas — jika Moira benar, dunia yang dia percaya selama ini baru saja retak.
Dan kalau Moira salah… maka gadis itu baru saja menginjak ekor singa.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam sudah larut.
Langit Jakarta terlihat pekat, dengan gemerlap lampu kota yang seperti berusaha menutupi busuknya rahasia di bawahnya. Di apartemennya yang sepi, Jiyo duduk di tepi ranjang dengan ponsel di tangan. Wajahnya masih tampak bingung, tapi matanya tajam—matanya orang yang mulai ragu pada kenyataan yang dia percayai selama ini.
Ia menatap layar, menelusuri pesan terakhir dari Razka.
“Sayang, aku sibuk urus Nitro. Jangan khawatir. Nanti aku pulang bawa kabar bagus.”
Kata-kata itu dulu membuatnya tersenyum. Sekarang? Hanya terasa pahit.
Dia memutar ulang video dari Moira untuk kesekian kalinya. Gambar Razka dan Paula di mall, tertawa, bergandengan tangan, terlihat jelas. Setiap detik terasa seperti tusukan.
“Enggak mungkin…” bisiknya pelan. “Dia nggak mungkin kayak gitu…”
Namun pikirannya mulai menuntut logika.
Terlalu banyak hal yang tidak masuk akal selama ini — kenapa Razka selalu menolak video call, kenapa suaranya sering terdengar di tempat ramai, kenapa dia mengirim uang dalam jumlah besar tanpa menjelaskan alasan.
Dia berdiri, berjalan mondar-mandir.
“Oke, Jiyo. Lo harus cari tahu sendiri.”
Tangannya lincah membuka laptop, mengakses sistem lama Nitro yang masih bisa ia jangkau — sistem yang dulu ia bantu kelola ketika masih menjadi rekrutan Hanabi.
Satu demi satu log aktivitas muncul di layar. Beberapa nama muncul, tapi satu mencolok:
[Access granted: RAZKA – File: GAVINTARA PROJECT – encrypted]
“Gavintara?” alisnya berkerut. Ia belum pernah dengar proyek itu.
Dia mencoba membuka file itu, tapi muncul notifikasi merah besar:
ACCESS DENIED — AUTHORIZATION: NITRO EXECUTIVE LEVEL ONLY
“Persetan,” desis Jiyo. Dia mencoba jalur lain, membuka log transaksi.
Kali ini berhasil — dan di sana ia menemukan sesuatu yang membuat jantungnya berdegup.
Transfer: R. Adhitama → P. Evander
Amount: 250,000 USD
Notes: “Phase 2 confirmed.”
“R. Adhitama…” Jiyo menatap layar, suaranya tercekat. “Razka Adhitama…”
Suara pintu kamar diketuk dari luar, membuatnya refleks menutup laptop.
“Jiyo? Lo belum tidur?” suara lembut seorang teman sekamarnya, Nara.
“Belum,” jawab Jiyo cepat, menyembunyikan gelisahnya. “Cuma lagi nyari file kerjaan.”
“Lo kerja terus, sih. Tidur gih, nanti sakit.”
“Ya, bentar lagi,” jawabnya, pura-pura santai.
Begitu pintu tertutup lagi, Jiyo menarik napas panjang dan membuka laptopnya kembali.
Dia mengetik pesan baru—namun bukan untuk Razka.
To: Unknown ID – “Hanabi”
Message:
“Lo bilang gue bakal lihat buktinya sendiri. Gue baru lihat setengah. Sekarang kasih gue akses buat lihat sisanya. Kalau lo bohong, gue bakal datang sendiri buat nyari lo.”
Dia menatap pesan itu lama, lalu menekan send.
Beberapa detik kemudian, balasan muncul.
[Moira]:
“Bagus. Lo udah mulai mikir. Besok jam 9 malam, kafe belakang gedung tua Omega. Datang sendirian.”
Jiyo menatap pesan itu, rahangnya menegang.
“Baik, Hanabi,” gumamnya. “Kita lihat siapa yang bohong.”
Lampu kamar padam.
Tapi di luar jendela, bayangan seseorang menatap ke arah apartemen Jiyo dari kejauhan—Rio, dengan ear-piece terpasang di telinga.
“Target udah gigit umpan,” bisiknya pelan.
Dari sisi lain, suara Moira terdengar datar lewat alat komunikasi kecil di telinganya.
“Bagus. Jangan lepas pandangan. Kita butuh dia sadar sebelum Razka tahu kita bergerak.”
Rio tersenyum kecil. “Tenang, sayang. Gue jaga dia. Tapi lo tahu kan? Cewek ini keras kepala parah.”
“Justru itu yang kita butuh.”
Suara Moira terdengar dingin tapi pasti.
“Keras kepala bisa jadi berbahaya. Tapi kalau diarahkan… dia bisa jadi senjata.”
Rio terkekeh kecil. “Senjata yang bisa meledak juga.”
“Kalau meledak,” jawab Moira pelan, “pastikan ledakannya kena Razka dulu.”
ini lagi si Stella, harusnya dia buktikan dong, bahwa dia bisa, bukannya malah jadi iri/Sweat/