SHE LOVE ME, I HUNT HER

(Flashback On)

Bagi Agatha, masa depan adalah labirin kepedihan. Dua tahun lalu, dunianya hancur saat mengetahui Rena, istrinya, berselingkuh. Kehilangan putri mereka, Riry, hanya memperdalam luka. Rena, yang dulu hangat, berubah menjadi sosok asing setelah kembali bekerja sebagai manajer umum di hotel mewah. Rumah mereka menjadi sunyi, pernikahan mereka hambar.

Suatu malam, di basement apartemen, Agatha menyaksikan Rena berciuman dengan pria lain. Pemandangan itu menghancurkannya. Namun, secercah cinta yang tersisa membuatnya memilih bertahan, berharap Rena akan kembali.

Namun, bagi Rena, cinta untuk Agatha telah lama memudar. Lebih dari tiga dekade mereka saling kenal, terikat oleh persahabatan ibu mereka. Agatha selalu ada, mengekornya sejak masa sekolah. Cinta memang tumbuh, tetapi terasa hambar.

Setelah lulus SMA, Agatha menyatakan cintanya dengan dingin, “Aku ingin kita bersama selamanya. Tunggu aku selesai S1, lalu kita menikah.” Rena mengira itu karena Agatha memang dingin, penyendiri yang menghabiskan waktu dengan judo dan belajar demi meraih gelar doktor.

Namun, sebelum pernikahan, Agatha mengungkapkan kebenaran yang menghancurkan hati Rena. “Kamu tahu, Rena? Ibuku selalu ingin aku menikahi mu. Katanya, persahabatan mereka harus menjadi keluarga. Lahir bersama adalah bukti kita berjodoh.” Kata-kata itu bagai pisau, mengungkapkan bahwa cinta Agatha hanyalah janji pada mendiang ibunya.

Rena merasa menjadi beban. Pernikahan mereka terasa seperti kebohongan. Agatha sibuk kuliah di Amerika selama tiga tahun, sementara Rena terikat dengan pekerjaannya di Indonesia. Hubungan jarak jauh itu memadamkan api cinta.

Meski yakin Agatha tak akan berselingkuh, Rena tak bisa menahan air mata. Ia merasa terperangkap dalam pernikahan tanpa cinta. Saat ingin mengakhiri semuanya, Rena hamil. Di usia pernikahan ketujuh, ia menahan diri, berharap keajaiban akan datang.

Kehadiran Riry mengubah Agatha. Ia menjadi ayah yang penuh kasih, selalu pulang untuk putrinya. "Bagaimana kalau kita punya anak lagi?" pinta Agatha. Rena merasa terbebani, terjebak dalam kewajiban sebagai istri.

Namun, kebahagiaan itu singkat. Riry meninggal dunia. Di saat-saat terakhir, Riry memanggil nama ayahnya, tetapi Agatha sedang bertugas di luar kota. Rena hancur. Alasan untuk bertahan telah hilang.

Agatha kembali dari tugas seolah tak terjadi apa-apa. Ia mengunjungi makam Riry tanpa menunjukkan kesedihan. Ia menjalani hari-hari seperti biasa, bekerja dan sering bepergian.

“Aku ingin bercerai,” kata Rena suatu hari.

Agatha hanya diam, menghindar setiap kali Rena membahas perceraian. Akhirnya, Rena memutuskan untuk berselingkuh, berharap Agatha akan menceraikannya. Ia ingin Agatha bahagia, tetapi suaminya tetap mempertahankan pernikahan yang hancur itu.

(Flashback Off)

Kemudian, Agatha mendapatkan kesempatan langka, kembali ke masa lalu. Ia melihat ini sebagai pelarian dari masa depan yang menyakitkan. Ia bisa bertemu ibunya lagi, sosok yang dirindukannya. Ia ingin lari dari kekecewaan, impian yang hancur, dan pernikahan yang menyesakkan. Masa lalu adalah oasisnya.

Ia ingin terjebak di masa lalu selamanya, tetapi takdir berkata lain. Misi perjalanan waktunya adalah menyelamatkan Larast, pengagum rahasianya di SMA. Gadis yang tak pernah dikenalnya.

Pertemuan dengan Larast membangkitkan sisi lain dalam diri Agatha. Sikap dinginnya mencair di dekat gadis yang sederhana namun mempesona itu. Larast adalah oasis yang sebenarnya.

Setelah pertengkaran, Agatha menemukan buku harian Larast. Di halaman kedelapan, tertulis “Aku di ambang kehancuran. Aku dijadikan alat untuk melunasi hutang kakakku. Di klub malam, aku diperlakukan seperti sampah. Aku ingin lari dan bertemu ibuku.”

“Klub malam?” gumam Agatha. Ia sadar Larast dalam bahaya. “Tapi di mana alamatnya?” Agatha frustasi. Halaman-halaman berikutnya kosong.

Tiba-tiba, buku itu bersinar biru dan membawa Agatha kembali ke masa lalu.

Duk!

Agatha terlempar ke tempat asing, sempit, dan gelap. Ia berada di dalam tong sampah besar.

“Tidak harus di tong sampah juga dong,” keluh Agatha pada jam tangannya, alat yang membawanya melintasi waktu dan ruang.

Agatha keluar dari tumpukan sampah. Aroma busuk menusuk hidung, membuatnya meringis. Matanya menyapu sekeliling, mencari petunjuk.

“Astaga, ini di kota mana?” gumamnya, penasaran dengan lokasi barunya.

Ia berjalan keluar dari gang sempit, tempat tong sampah itu berada. Langkahnya terhenti di depan sebuah klub malam. Lampu warna-warni berkedip liar, memantul dari genangan air di aspal. Dentuman musik menggetarkan dadanya.

“Wow…” Matanya membulat. Ia berada tepat di sarang yang dicari.

Agatha mulai mencari keberadaan Larast di antara kerumunan orang yang keluar masuk klub.

Di depan pintu, tiga orang berbadan besar berdiri tegak, mengawasi setiap orang yang datang. Agatha tahu, anak SMA sepertinya tidak akan bisa masuk tanpa masalah.

Agatha memijat pelipisnya, mencoba menyusun rencana. Matanya bergerak cepat, mencari celah untuk menyusup tanpa ketahuan.

“Heh, apa yang kamu lakukan di sini, anak ingusan?” suara berat mengagetkannya. Seorang pria bertubuh kekar menatapnya curiga.

Sebuah ide gila muncul di benaknya. Agatha akan membuat kekacauan di luar klub, mengalihkan perhatian para penjaga.

Tanpa ragu, Agatha menarik seorang pria yang baru saja keluar dari mobil. Dengan gerakan cepat dan terukur, ia menggunakan teknik Judo harai goshi, membanting pria itu ke tanah. Pria itu terkejut, namun segera membalas dengan pukulan yang mengenai wajah Agatha.

“Asem, salah pilih lawan,” keluh Agatha, menyeka darah di sudut bibirnya. Ia bangkit dan kembali menyerang.

Keributan itu menarik perhatian dua pengawal yang berjaga di depan klub. Mereka mendekat untuk melerai.

Dengan gerakan cepat, Agatha melayangkan tinju keras ke pipi salah seorang pengawal. Pengawal itu terhuyung, memegangi pipinya yang memerah.

“Sialan anak ini!” geram pengawal yang terluka. Ia menarik tudung jaket Agatha dan menyeretnya masuk ke dalam klub melalui pintu belakang.

Agatha berpura-pura meronta, sambil matanya terus mencari Larast. Akhirnya, ia melihat sosok yang dicarinya di antara para pelayan yang berlalu lalang.

“LARAST!” teriak Agatha, melepaskan diri dari cengkeraman pengawal.

Larast yang mendengar namanya dipanggil segera berbalik. Matanya membulat melihat Agatha yang babak belur.

Agatha mengeluarkan seluruh kekuatannya untuk melawan orang-orang di sekitarnya. Dengan sigap, ia menarik tangan Larast, menyuruhnya bersembunyi di balik tubuhnya.

"Sini kalau berani jangan keroyokan! Satu lawan satu!" tantang Agatha, melindungi Larast.

“Sialan anak itu!” Dua orang yang tadi terkapar bangkit dan menyerang Agatha secara bersamaan. Agatha sedikit kewalahan, namun ia tidak menyerah.

Buk!

Buk!

GEDEBUK!

Serangan demi serangan dilancarkan. Dengan gerakan Judo yang lincah, Agatha memanfaatkan momentum lawan untuk membanting mereka ke lantai. Teknik o goshi dan uchi mata dilancarkannya, membuat lawan tak berdaya.

Kebisingan itu menarik perhatian orang lain. Tiga orang lainnya berlari ke arah Agatha, siap memberikan serangan. Agatha yang sudah membuat dua orang terkapar, segera menarik tangan Larast dan mengajaknya berlari keluar dari tempat itu.

“Lari, Rast! Jangan berhenti!” teriak Agatha, memacu langkahnya.

Misi penyelamatan Larast baru saja dimulai. Mereka harus segera keluar dari sarang penyamun ini.

Bersambung.