“Diana … kamu akan diberi hukuman mati karena telah melakukan percobaan pembunuhan.”
Diana yang sudah sangat lemah diikat dan di arak ketengah tempat eksekusi. semua rakyat dan bangsawan melihatnya, mereka melemparnya dengan batu dan mengumpat kepadanya.
Kepala Diana ditaruh di tiang untuk di penggal.
Diana melihat kearah Wanita yang dicintai suaminya dan melihat ayah serta kakaknya yang masih tetap membencinya hingga akhir hayatnya.
“Kenapa kalian sangat membenciku?” gumam Diana.
Jika aku bisa mengulang waktu, maka aku tidak akan lagi mengemis cinta kepada kalian.
KRAK. Suara alat penggal terdengar keras memenggal kepala Diana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ellani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Satu per Satu Bukti
Beberapa hari telah berlalu. Suasana istana terasa tenang pagi itu. Udara segar masuk melalui jendela besar ruang kerja Diana, membawa aroma bunga musim semi yang bermekaran di taman kerajaan. Namun, di balik ketenangan itu, ada badai kecil yang mulai berputar — badai rencana dan rahasia.
Diana berdiri di depan meja besar yang dipenuhi laporan dari wilayah perbatasan. Tumpukan dokumen berisi kondisi tanah, hasil pertanian, serta laporan sementara dari proyek perbaikan desa-desa yang baru saja ia kunjungi.
“Tanah mulai membaik setelah diberi kapur, hasil panen mungkin akan meningkat dua kali lipat pada musim berikutnya,” ucap Olim yang berdiri di sisi kirinya.
Diana mengangguk. “Kabar baik. Kita harus memastikan bantuan dari istana tiba tepat waktu. Jangan sampai rakyat kehabisan bahan pangan sebelum panen berikutnya.”
Siapa sangka hanya dalam beberapa hari tanah itu mulai membaik.
Olim mencatat cepat. “Baik, Yang Mulia.”
Diana mengangkat kedua tangannya. “Ini pasti karena kekuatannya,” pikir Diana.
Diana menarik napas pelan. Matanya menatap jauh keluar jendela — ke arah menara tertinggi, tempat bendera kerajaan berkibar. “Rakyat mulai percaya. Tapi kepercayaan itu rapuh. Satu kesalahan saja bisa menghancurkannya.”
Ia kemudian duduk dan membuka laporan lain, kali ini dari Departemen Keuangan. Ada satu nama yang menarik perhatiannya, Marques Lerky. Anggaran yang diajukan untuk wilayahnya tampak tidak wajar, terlalu besar dibandingkan wilayah lain yang kondisi ekonominya sama.
“Aneh…” gumamnya pelan.
Ia memanggil Olim. “Suruh Vilan datang padaku nanti malam. Aku ingin dia meninjau laporan ini.”
Olim menunduk. “Baik, Yang Mulia.”
Diana menutup dokumen itu dan menatap ke arah peta besar di dinding. Di sana, ia menandai titik-titik wilayah yang mulai ia perbaiki. Setiap titik kecil adalah langkah menuju perubahan.
Tapi ia tahu, tak semua bangsawan senang melihat seorang wanita ikut campur dalam urusan kerajaan, karena jarang sekali wanita bangsawan yang memasuki politik.
Wanita bangsawan kebanyakan hanya menikah, memiliki anak, dan mengurus rumah.
Menjelang siang, Diana menghadiri rapat di aula utama bersama para penasihat kerajaan. Raja belum kembali dari kunjungan ke wilayah utara, sehingga pertemuan dipimpin oleh penasihat tertinggi, Tuan Calder.
“Wilayah selatan menunjukkan peningkatan signifikan di bawah pengawasan Putri Diana,” ucap Calder dengan nada netral. “Namun, beberapa bangsawan mempertanyakan besarnya dana yang digunakan.”
Diana menatap lurus ke arah meja, tanpa ragu. “Dana yang digunakan sesuai dengan kebutuhan lapangan. Jika ada yang keberatan, mereka boleh meninjau langsung. Aku memiliki laporan dan bukti setiap transaksi.”
Beberapa bangsawan saling berpandangan. Salah satunya, Marques Lerky, menatap Diana dengan senyum tipis. “Tentu saja, Yang Mulia. Namun, akan lebih meyakinkan jika laporan itu diperiksa oleh pihak ketiga.”
Diana mengangkat alis. “Apakah Anda meragukan kejujuran orangku, Tuan Lerky?”
Senyum Lerky sedikit menegang. “Tentu tidak. Saya hanya ingin memastikan semuanya berjalan sesuai aturan.”
Calder menengahi. “Cukup. Kami akan meninjau bersama laporan itu minggu depan.”
Diana mengangguk sopan, namun di dalam hatinya, ia tahu Lerky sedang merencanakan sesuatu. Tatapan mata pria itu terlalu tajam untuk sekadar komentar biasa.
Sore harinya, Diana berjalan sendirian di taman istana. Bunga-bunga bermekaran, kolam air mancur memantulkan cahaya matahari yang mulai meredup. Ia berhenti di tepi kolam, menatap bayangan dirinya di air.
"Aku sudah berjalan sejauh ini… tapi musuhku bukan hanya waktu, melainkan mereka yang menyembunyikan kebenaran di balik senyum."
Suara langkah kaki mendekat. Vilan muncul, membawa beberapa gulungan kertas.
“Yang Mulia memanggil saya?”
Diana berbalik, tersenyum kecil. “Ya. Aku butuh matamu untuk melihat ini.”
Ia menyerahkan laporan keuangan dari wilayah Lerky. “Kau lihat bagian ini. Angkanya terlalu tinggi. Apa menurutmu ada yang disembunyikan?” tanya Diana. Ia menanyakan ini kepada kepala pelayan karena kepala pelayan dulu pernah membantu bagian laporan keuangan kerajaan dan beberapa kali membantu penasihat kerajaan.
Vilan memeriksa cepat, lalu mengangguk. “Bahan bangunan yang disebutkan di sini tidak cocok dengan daftar impor kerajaan. Jika benar dia membeli batu dan kayu sebanyak ini, seharusnya gudang pusat mencatatnya.”
“Jadi, kemungkinan besar dia memalsukan data.” Diana mengelus dagunya pelan.
“Benar, Yang Mulia.”
Diana menatap Vilan dengan tajam. “Temukan bukti. Tapi lakukan diam-diam. Kita belum tahu siapa saja yang terlibat.”
Vilan menunduk hormat. “Saya mengerti.”
Setelah Vilan pergi, Diana berdiri lama di taman. Angin sore bertiup lembut, tapi hatinya terasa berat. Ia tahu, langkah berikutnya akan membawa risiko besar. Mengusik bangsawan seperti Lerky sama saja seperti menginjak ular berbisa. Banyak bangsawan kelas atas di belakang Lerky.
Namun Diana tak gentar.
“Aku sudah mati tiga kali," bisiknya. “Kali ini, aku akan hidup untuk melihat mereka semua berlutut.”
Malam tiba, langit istana gelap bertabur bintang. Dari balkon kamarnya, Diana menatap ke arah selatan, ke wilayah yang baru ia kunjungi beberapa hari yang lalu. Di sanalah rakyat yang mulai menaruh harapan padanya. Dan di sanalah, ia akan membangun kekuatannya dari bawah, dari akar yang kokoh.
TOK TOK. Suara ketukan pintu memecah keheningan.
“Masuk.”
Olim melangkah masuk. “Yang Mulia, ada laporan baru dari perbatasan. Putra Mahkota Rowan sedang mencari seseorang di dalam goa.”
Diana menatapnya sejenak dan mengambil surat itu. Diana memiliki mata-mata dalam kamp Putra Mahkota. Suatu kebetulan itu adalah salah satu dari keluarga Olim. Diana tidak tahu kalau Olim memiliki keluarga yang menjadi prajurit.
Setelah membaca surat itu, Diana berjalan menuju api unggun dan membakar surat itu. “Sebentar lagi aku akan menemukanmu,” ucap Diana sambil memegang kalung yang berwarna merah di lehernya.
“Keluarlah,” ucap Diana.
Olim memberi salam dan pergi meninggalkan ruangan Diana.
Diana berbaring di kasurnya dan memejamkan mata. “Masih ada beberapa hari lagi sebelum Lucien ditangkap,” gumam Diana sambil mencari posisi nyaman untuk tidur.
Malam itu bulan semakin tinggi menyinari kamar Diana yang gelap tanpa lampu. Saat itu cahaya kecil muncul dari bawah bantal Diana tanpa ada orang yang tahu.
Di pagi hari Diana terbangun dan meregangkan badannya, masih memejamkan mata.
Diana mengangkat tangannya untuk menghalangi cahaya matahari yang masuk ke kamarnya dan membuka matanya perlahan.
Saat membuka mata, Diana melihat seperti ada bayangan. “Apa aku bermimpi?”
Diana mengusap matanya dengan kuat dan membuka matanya lebar-lebar.
“Selamat pagi.”Terdengar suara kecil yang imut.
Diana membelalakkan matanya. “Aaaaa!!!” teriak Diana.
“Mengapa kau berteriak?!”
Diana terkejut dan mundur sedikit. “Binatang apa ini?!”
TOK TOK.
“Yang Mulia, apa Anda baik-baik saja?” tanya Olim khawatir.
“Y-ya… aku hanya terbangun dari mimpi buruk,” jawab Diana.
“Baiklah, Yang Mulia… jika terjadi sesuatu segera panggil saya,” ucap Olim.
“Baiklah.” Diana berhenti berbicara dan melirik binatang yang ada di depannya.
“Siapa kau?” tanya Diana.
“Aku adalah spirit yang membuat kontrak denganmu,” jawabnya.
“Spirit?”
“Ya… namaku adalah Yurey, raja dari para spirit,” ucapnya dengan bangga.
Diana membelalakkan matanya. “Raja Spirit?!!”
semangat selalu
jangan lengah jangan lelah