“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Langit mendung menggantung rendah di atas halte tua yang terletak tak jauh dari unit apartemen milik Elvino. Angin sore meniup lembut helai rambut Nayla yang berantakan, membuat jaket tipisnya berkibar pelan. Ia berdiri sendirian, memandangi kendaraan yang lalu-lalang tanpa benar-benar memperhatikan. Tangannya perlahan merogoh ke dalam tas lusuhnya, mencari lembaran uang yangmasih tersisa.
Satu… dua… tiga lembar pecahan sepuluh ribu. Matanya menatap kosong pada jumlah yang terlalu kecil itu. Napasnya berat. Uang itu cukup untuk naik angkot pulang ke kontrakan. mungkin bahkan cukup untuk sebungkus nasi dan sebotol air mineral. Tapi hatinya menolak.
“Sayang banget kalau cuma buat naik angkot,” batinnya getir.
Dengan langkah berat tapi pasti, Nayla memutuskan untuk berjalan kaki. Jaraknya memang jauh, tapi ia sudah terbiasa dengan letih dan pegal yang menyiksa. Langkahnya menyusuri trotoar, melewati deretan toko dan kafe-kafe kecil yang menjajakan aroma kopi dan roti hangat. Hatinya tiba-tiba terusik oleh satu pikiran. mungkin aku bisa kerja... kerja yang halal.
Tapi siapa yang mau mempekerjakan anak putus sekolah sepertinya?
Di sepanjang jalan, ia mampir ke beberapa toko dan kafe, memberanikan diri menanyakan lowongan pekerjaan.
Tapi jawabannya selalu sama.
“Maaf, butuh yang lulusan SMA.”
“Maaf, butuh pengalaman.”
“Maaf.”
"Maaf."
Satu kata itu terasa seperti palu yang memukul harga dirinya berkali-kali.
Setelah hampir dua jam berjalan tanpa hasil, tubuhnya mulai lelah. Ia memutuskan untuk langsung pulang ke kontrakan. Namun ketika melintasi pasar tradisional, langkahnya terhenti.
Matanya menangkap sosok kecil berpakaian seragam merah putih yang sedang mengangkat karung cabai ke atas mobil bak terbuka.
“Dio?” bisiknya, nyaris tak percaya.
Matanya menyipit, memastikan bahwa itu benar adiknya. Bocah itu berkeringat, wajahnya kusut, dan jelas-jelas tak berada di sekolah.
“Dio!” panggilnya tegas.
Bocah itu menoleh. Tatapannya membeku ketika melihat wajah Nayla. Seolah ia tertangkap basah melakukan sesuatu yang memalukan.
“Apa yang kamu lakukan di sini?! Ini masih jam sekolah, kan? Kamu bolos?!” Nada Nayla meninggi, suaranya penuh kemarahan bercampur cemas.
Beberapa kuli angkut berhenti bekerja. Mereka menatap dengan penasaran.
Tapi Dio tak menjawab. Ia hanya kembali memanggul karung cabai, membawanya ke atas bak mobil pick-up.
“Dio! Jawab Mbak! Kamu bolos sekolah buat kerja begini?!” suara Nayla mulai meninggi.
Masih tak mendapat jawaban, Nayla menarik tangan adiknya. “Mbak tanya!”
Dio menepis dengan kasar, lalu menatap kakaknya tajam.
“Aku kerja. Kenapa? Biar kita bisa makan. Biar Mbak nggak perlu jadi perempuan murahan lagi!”
Darah Nayla seolah berhenti mengalir.
“A-apa?” suaranya tercekat.
Dio mengangkat dagunya. Sorot matanya penuh amarah yang jarang Nayla lihat.
“Aku capek hidup kayak gini, Mbak! Aku capek pura-pura nggak tahu kalau Mbak jual diri. Aku tahu segalanya. Aku tahu kenapa kita bisa makan beberapa hari terakhir. Aku tahu dari mana uang itu datang!”
Nayla mulai gemetar.
“Dan Aku yakin, Ibu meninggal karena kecewa. Karena stres lihat anak perempuannya jual badan demi uang!” teriak Dio.
Tamparan keras mendarat di pipinya tanpa sempat Nayla berpikir.
PLAK!
Suara itu bergema. Beberapa pedagang menoleh. Suasana pasar seketika hening.
Dio memegang pipinya yang memerah. Meski rasa perih menjalar di pipinya, tapi bocah laki-laki itu tidak menangis.
“Jaga ucapanmu, Dio...” suara Nayla gemetar. “Pulang sekarang!”
Dio tak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah dan berjalan cepat meninggalkan kerumunan, sementara Nayla mengikuti di belakangnya dengan dada sesak.
Sesampainya di kontrakan, Dio membanting pintu dengan kasar. Suara dentumannya membuat Nayla tersentak. Ia terpaku di depan pintu, menatap kosong ke arah tempat adiknya menghilang.
Tangannya masih terasa panas. Namun hatinya lebih panas lagi. oleh rasa bersalah, ketakutan, dan kesedihan yang membuncah.
“Apa... aku sudah kehilangan Dio?” bisiknya lirih, sebelum tubuhnya perlahan melorot ke lantai. Air matanya pun tumpah, seperti hujan yang akhirnya jatuh dari langit yang sejak tadi mendung.
...
Seminggu telah berlalu sejak pertengkaran itu.
Sejak kata-kata tajam Dio di pasar menusuk hatinya seperti sembilu, Nayla hidup dalam senyap yang menyakitkan. Bocah itu kini tak lebih dari bayangan yang lewat di depan matanya, tanpa sepatah kata, tanpa tatapan. Bahkan saat ia meletakkan makanan di meja atau membenahi selimut Dio saat tidur, yang ia dapatkan hanya diam dan punggung dingin.
Nayla menelan semua kesakitan itu dalam diam.
Ia tahu, Dio membencinya. Ia bisa melihatnya dari cara anak itu tak pernah menatapnya lagi.
Selama seminggu pula Nayla terus berjuang mencari pekerjaan.
Setiap pagi, setelah mengantar Lili ke sekolah, Nayla melangkah sendirian. Sepatu telah berganti menjadi sandal tipis, alasnya mulai aus, dan nyaris bolong. Kaki-kakinya lecet dan perih saat menginjak jalanan aspal yang mulai panas seiring naiknya matahari.
Tapi Nayla tak berhenti. Ia tak bisa berhenti.
“Satu toko lagi... satu kafe lagi... mungkin hari ini ada keajaiban,” batinnya menggema, mencoba menahan gemetar di lutut.
Namun lagi-lagi yang ia dapatkan hanyalah penolakan.
Lelah. Perih. Keringat bercucuran. Tapi Nayla tetap melangkah. Ia tidak boleh menyerah. Demi Dio. Demi Lili. Demi menebus dosa pada almarhum ibunya.
Hingga langit berubah kelam. Awan hitam menggantung rendah seakan ingin menelan seluruh kota. Dan benar saja...
"GRRRROOOOMMMM!!!"
Petir menyambar. Langit menumpahkan airnya tanpa ampun.
Hujan turun begitu deras, seolah seluruh dunia ingin membasahi luka-luka yang tak terlihat. Nayla berlari kecil di antara trotoar yang sudah tergenang. Rambutnya lepek, bajunya basah kuyup, dan tubuhnya menggigil hebat. Ia terus berlari hingga menemukan sebuah halte tua.
Dengan napas terengah, ia masuk dan duduk di sudut bangku besi yang dingin.
Tangannya memeluk tubuh sendiri. Giginya gemeletuk. Tapi hatinya jauh lebih dingin.
Air mata mulai mengalir. Bercampur dengan tetesan hujan yang membasahi wajahnya. Ia merindukan sosok ibunya, biasanya di saat seperti ini ibunya lah yang selalu memeluknya.
“Ibu.” bisiknya parau.
“Nayla kangen Bu.”
Tangis itu akhirnya pecah dalam diam. Tak ada yang mendengar. Tak ada yang peduli. Dunia lewat begitu saja di depannya.
Lalu...
Suara deru mesin terdengar mendekat. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya.
Nayla mengangkat wajah. Matanya langsung membulat. Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
Itu mobil Elvino.
Pintu terbuka. Pria bertubuh tinggi itu turun dengan langkah cepat meski hujan terus mengguyur tubuhnya. Kemeja putihnya basah. Rambutnya menempel di dahi.
“Apa yang kau lakukan di sini?” ucapnya tajam, penuh nada tidak percaya.
Nayla cepat-cepat menghapus air mata. Ia berusaha berdiri tegak.
“Aku cuma berteduh,” ucapnya pendek.
“Aku tahu. Tapi bukan itu yang aku tanya,” Elvino berjalan lebih dekat, air hujan menetes dari ujung dagunya.
“Kenapa kau bisa hujan-hujanan seperti ini? Sendirian? Di tempat seperti ini?”
“Aku…” Nayla menggigit bibir.
“Aku mencari pekerjaan.”
Elvino mendekat, menatapnya tajam.
“Dalam keadaan seperti ini?”
Nayla menunduk."Iya."
“Masuk ke mobil. Sekarang,” suara Elvino terdengar lebih tinggi dari sebelumnya. tegas, nyaris seperti perintah.
Nayla menggeleng keras. “Tidak,” ucapnya sambil memeluk tubuh sendiri yang mulai membiru oleh dingin.
“Aku akan menunggu sampai hujannya reda, di sini saja.”
Suara hujan yang mengguyur deras tak mampu menutupi ketegangan yang mulai membumbung di antara mereka.
Elvino, yang sejak dulu tak pernah suka dibantah, mengeraskan rahangnya. Tatapan matanya menusuk, seolah tak memberi ruang untuk pembelaan apa pun.
Dalam hitungan detik, tanpa memberi Nayla kesempatan untuk menghindar, pria itu merunduk dan mengangkat tubuh mungil Nayla ke pelukannya.
“Elvino! Lepaskan! Aku bilang tidak!” Nayla berontak, tangannya memukul-mukul dada pria itu. Tapi usahanya sia-sia. Tubuh kecilnya tak sebanding dengan kekuatan Elvino.
Ia hanya bisa mengumpat dalam hati saat tubuhnya dimasukkan ke dalam kabin mobil yang hangat. Pintu ditutup. Dunia luar terisolasi dalam satu dentuman pelan.
Napas Nayla memburu. Rambutnya basah, air hujan menetes dari ujung dagunya ke kursi mobil.
“Apa yang kau lakukan?!” serunya dengan nada tinggi, matanya membelalak marah.
Elvino menatapnya sebentar, lalu mengambil jas yang tergantung di kursi belakang. Ia melemparkannya ke pangkuan Nayla.
“Apa kau benar-benar ingin mati kedinginan di luar sana?” katanya datar, tapi mengandung kekhawatiran yang tersembunyi di balik sikap dinginnya.
Nayla terdiam. Tangan gemetar memegang jas itu. Ia ragu sejenak, namun akhirnya menyelimutkan tubuhnya dengan kain tebal dan hangat itu.
Aroma maskulin langsung menyeruak, memenuhi indra penciumannya. Wangi yang sangat ia kenali. Wangi Elvino.
Dan saat itu juga, jantung nya berdebar tak karuan. kenangan kelam malam itu datang menyerbu.
Desahan napas panas, sentuhan asing di tubuhnya, dan malam itu. malam yang tak pernah ia ingin ingat.
“Astaga cukup…” bisiknya dalam hati, lalu menggelengkan kepala keras-keras, berusaha mengusir bayangan itu dari pikirannya.
Ia memalingkan wajah ke luar jendela, menatap tetesan hujan yang mengalir di kaca. Tak ada kata-kata. Hening. Mobil melaju di antara derasnya hujan dan riuhnya pikirannya sendiri.
kasian Nayla hancur N merasa bersalah bngt pastinya ..ibunya mninggal karna tau kerjaan nayla😭