Luka Vania belum tuntas dari cinta pertama yang tak terbalas, lalu datang Rayhan—sang primadona kampus, dengan pernyataan yang mengejutkan dan dengan sadar memberi kehangatan yang dulu sempat dia rasakan. Namun, semua itu penuh kepalsuan. Untuk kedua kalinya, Vania mendapatkan lara di atas luka yang masih bernanah.
Apakah lukanya akan sembuh atau justru mati rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksy_K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Film Horor
Sore itu, dalam ruang klub Baca, Vania duduk tenang mendengarkan Bu Ratih—dosen sekaligus pembina Klub yang menjelaskan agenda untuk minggu depan.
“Sekian untuk hari ini. Jangan lupa minggu depan kalian menyiapkan satu cerpen dengan tema horor. Kalian bisa mengambil referensi dari buku, artikel, esai atau bahkan film,” ujar Bu Ratih sebelum mengakhiri pertemuan sore itu.
Begitu Bu Ratih melenggang pergi, satu persatu mahasiswa berhamburan meninggalkan ruangan. Sementara itu, Vania masih membereskan beberapa buku yang sempat ia pinjam di perpustakaan.
Cekrek !
Suara klik lensa kamera terdengar dari arah pintu, refleks Vania menoleh ke sumber suara. Di sana, Okta berdiri dengan kamera yang mengarahnya, sebuah kebiasaan yang tak asing lagi. Entah sudah berapa ratus jepretan candid Vania yang abadikan di kamera kesayangannya itu.
Okta mendekat dengan tangan yang masih sibuk mengotak-atik lensa kameranya.
“Mata sembab aja masih kelihatan cantik, Van.” Pujinya puas, setelah menilik hasil jepretannya.
“Coba turunin sedikit kacamatanya ... nah, sekarang coba liat sini.” Lanjutnya memberi arahan.
Vania melirik tajam, jelas sahabatnya itu sedang meledeknya dengan halus. Saat Vania menceritakan kejadian kemarin, tatapan Okta seolah berkata ‘Kan, gue bilang juga apa? Disuruh move on gak mau!’
Bukannya menghibur Vania, Okta justru meluncurkan ceramah panjang lebar ditambah sumpah serapah yang tanpa ragu ia tunjukkan pada Jalu.
“Uuhhhh! Seksi sekali!” seru Okta dengan cengiran khasnya.
“Ck, udah ah, foto mulu. Ayo pulang.” Vania menepis kamera Okta yang masih menyorotnya.
Okta terkekeh pelan, menyusul Vania yang sudah mendahuluinya. Menyamai langkah sahabatnya yang terlihat buru-buru.
“Lagian nih, ya. Biasanya orang kalau habis nangis tuh pake kacamata item biar gak kelihatan sembabnya, lo malah pake kacamata baca.”
“Gue ngampus, Ta. Bukan lagi mantai, masa iya pake kacamata item, yang ada nanti gue dikira banyak gaya.” Balas Vania, sesekali ia membenarkan kacamatanya yang merosot.
“Iya deh iya,” dengus Okta pelan. “Ini lo jalannya buru-buru amat sih. Ngejar jadwal kereta?” tanyanya heran melihat langkah lebar Vania.
“Gue mau nonton film nih. Buat tugas klub minggu depan. Lo mau temenin gue gak?”
“Emang tugasnya besok? Bukannya pertemuannya minggu depan tadi sekilas gue denger dari luar.”
“Iya sih, tapi takutnya nanti ada tugas mata kuliah lain yang lebih penting. Kalau bisa sekarang kan gue gak akan keburu nanti.” Ujar Vania. Ia memang tipe mahasiswa yang tidak bisa membiarkan tugas mangkrak. Hal itu akan mengusik pikirannya jika tidak segera ia selesaikan. Karena itu, ia putuskan akan cari referensi saat itu juga.
Okta yang mendengarnya hanya memangguk paham. “Oke, gue mau. Emang mau nonton apa?”
Langkah Vania terhenti sejenak, tangannya sibuk mengusap layar ponsel, mencari jadwal film yang sedang tayang.
“Menurut lo nonton The Counjuring: Last Rites atau The Long Walk?”
Alis Okta mengernyit, menatap Vania penuh tanya. “Film horor?” Vania mengangguk.
“Lo yakin mau nonton film sekarang? Nanti selesainya malem , loh.” Tanya Okta sekali lagi, memastikan.
Kalau mau jujur, sebenarnya Okta cukup takut untuk menonton film horor malam-malam. Andai saja Vania mengajaknya saat matahari masih tinggi atau film yang akan ditonton bukan horor, pasti ia akan setuju tanpa banyak pikir.
“Iya, kenapa emang? Lo takut?” sahut Vania sambil menyipitkan mata, senyum meremehkan terulas di bibirnya.
Saat Okta sedang memikirkan cara untuk menolak ajakan Vania, ekor matanya menangkap sosok Rayhan yang tengah bersandar di samping mobil hitamnya. Dari raut wajahnya, jelas Rayhan sedang menunggu seseorang–—dan Okta tahu pasti siapa orang itu. Dan benar saja, saat mata legam itu menoleh ke arah mereka, senyuman di bibirnya tertarik lebar.
Okta ikut tersenyum tipis, ide cemerlang melintas di kepalanya. Akhirnya ia punya alasan untuk menolak.
“Emmmm, kayaknya gak bisa deh, gue baru inget ada janji malem ini sama Pandu. Gimana kalo lo sama orang lain aja?”
“Hah?
Okta melambaikan tangannya dan memanggil Rayhan.
“Rayhan!” serunya membuat Vania mendelik heran.
“Kok Rayhan? Kan gue ajak lo. Kalo lo gak mau ya udah, gue sendiri aja.” Sahutnya tak terima.
Rayhan berjalan menghampiri Vania dan Okta.
“Kenapa? Kalian malu pulang?” tanyanya ketika sampai di hadapan Vania. Senyum dan tatapannya tak lepas mengarah ke Vania.
“Bukan, ini Vania ngajak nonton. Lo mau kan?” ucap Okta seenaknya.
Tentu saja, Rayhan mengangguk setuju. Bagaimana mungkin ia menolak saat di beri kesempatan kencan secara dadakan seperti ini. “Mau, kapan? Sekarang? Ayo!”
“Gue kan ajaknya lo, Ta.” Bisik Vania.
“Nggak apa lah, itung-itung transport gratis. Nanti juga selesainya malam, biar lo ada yang jagain.” Jawab setengah berbisik, Okta mencoba meyakinkan sahabatnya itu.
Sebenarnya Vania ingin menolaknya saja, tapi lagi-lagi prinsip kuatnya bilang bahwa tugas yang bisa dikerjakan sekarang, tentu saja harus diselesaikan saat itu juga.
Setelah cukup lama berpikir, akhirnya Vania memutuskan berangkat ke bioskop bersama Rayhan. Lagi-lagi, ini menjadi pertama kalinya ia menonton film berdua bersama seorang pria. Langit sudah mulai menggelap, dan benar apa kata Okta, selesai menonton nanti pasti cukup malam.
Sesampainya di bioskop, tanpa basa-basi Vania memesan tiket tanpa bertanya pada Rayhan terlebih dulu. Baginya, tujuan awal dan niatnya untuk mencari referensi bukan sekedar hiburan.
Sedangkan Rayhan mematung, menatap poster film yang akan ia tonton. Tangannya penuh dengan dua pop corn dan dua gelas cola, namun jemarinya bergerak dengan gelisah. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa film pilihan Vania adalah film horor.
“Sialan!” umpatnya pelan nyaris tak terdengar.
“Ayo.” Ajak Vania yang sudah jalan mendahului Rayhan.
Dengan langkah berat, Rayhan menyeret kakinya memasuki studio. Bahkan sebelum layar di depannya memutar film, keringat sudah membanjiri dahinya. Ia tak ingin terlihat ketakutan di depan Vania, itu sangat menghancurkan harga dirinya.
Namun, apakah ia bisa menahan ketakutan itu? Saat lampu studio redup saja sudah membuat nyalinya ciut!
Vania menatap heran Rayhan yang tampak gelisah, dengan kedua kaki yang terus bergetar.
“Lo mau ke toilet?” bisik Vania.
Ada jeda sejenak sebelum Rayhan memaksakan senyumnya. “Nggak kok, gue kedinginan sama AC aja.” Elaknya.
Vania mengangguk, tak ingin bertanya lebih. Lampu ruangan mulai meredup, film pun mulai di putar. Ia merogoh tas, mengambil notes kecil untuk mencatat beberapa hal yang mungkin bisa menjadi inspirasi cerpennya nanti. Dan film yang ia pilih adalah The Counjuring: last Rites.
Adegan demi adegan mulai bergulir, dan seperti film horor pada umumnya, adegan mulai meneggang... hingga–
“AAKKHH!!!”
Yup, jumpscare. Semua penonton berteriak, tapi bukan itu yang membuat Vania terkejut. Melainkan teriakan Rayhan yang memekik tepat di telinganya. Tubuh Rayhan condong ke arahnya, bahkan tangan kekarnya memeluk lengan Vania, hingga membuatnya tidak bisa bergerak.
Boro-boro duduk diam, Rayhan malah gelisah. Beberapa kali tubuhnya menggeliat, kaki jenjangnya saja bergetar heboh, dan tangan kanannya sibuk menutupi wajah. Meski begitu, matanya tetap melihat dari celah jari.
“AAKKHH!!!”
“AAKKHH!!!”
“AAKKHH!!”
Rayhan tak henti-hentinya berteriak histeris, Vania sampai berpikir, mungkin saja gendang telinganya bisa pecah ketika keluar studio nanti. Bahkan beberapa penonton lainnya menoleh ke arah mereka, karena reaksi Rayhan kelewat heboh. Kesal bercampur malu, semua perasaan itu akhirnya ia pusatkan pada Rayhan.
“Lo takut film horor?” bisik Vania dengan sorot mata tajam.
Rayhan mengangguk cepat, matanya terpejam erat namun sesekali melirik layar. Vania hanya melongo dibuatnya, tentu saja ia kesal sebab ia tidak bisa mencatat hal penting untuk ia masukkan ke dalam cerpennya.
Namun, di satu sisi ia tak menyangka Rayhan akan sangat ketakutan seperti sekarang ini.
Akhirnya Film pun selesai, Rayhan keluar dengan wajah yang sudah pucat pasi. Ia berjalan dengan lunglai seolah energinya terkuras habis karena sport jantung.
“Harusnya lo bilang kalau gak bisa nonton horor.” Ujar Vania yang miris melihat kondisinya.
“Gue kan mau terlihat pemberani juga, nyatanya filmnya serem banget.” balas Rayhan, suaranya lemas sedikit serak .
“Lo juga udah beli tiket, masa nggak jadi.” Imbuhnya lagi.
Mendengar itu Vania justru tertawa lepas, merasa lucu dengan tingkah Rayhan yang memaksakan diri demi dirinya. Rasa kesalnya tadi seketika hilang, terganti dengan rasa kasihan ketika ia teringat kembali ekspresi Rayhan yang ketakutan.
Wajah Rayhan yang tadinya lesuh, bibirnya kini tertarik membentuk senyuman. Tak sia-sia ia menonton film horor jika ketakutannya terbayar lunas dengan senyum manis di wajah cantik Vania.
“Kalo kaya gini, gue rela deh nonton film horor bareng lo, kalo bisa bikin lo tertawa lepas. Tapi ... jangan sering-sering ya.” Ungkap Rayhan, tersenyum puas.
Vania hanya menggeleng pelan, dan tersenyum tipis. Ia sudah kenyang dengan berbagai gombalan Rayhan yang selalu ada di segala situasi.
Rayhan masih menatap wajah Vania yang penuh dengan senyum tipis, seolah tak ingin mengalihkan pandangannya. Belum sempat ia membuka suara, terdengar dari kejauhan seseorang memanggil namanya dengan lantang.
“Kak Rayhan!”
Jelas, itu adalah suara seorang wanita yang melengking.
Rayhan tersentak, Vania pun menoleh ke belakang, ke arah suara itu terdengar. Samar-samar sosok gadis berlari dari lorong studio ke arah mereka. Tanpa memberi ruang untuk bertanya, gadis itu merengkuh ke dalam pelukan Rayhan.
“Siapa sangka kita bisa bertemu, aku kangen banget sama Kak Rayhan." ungkap gadis itu, mempererat pelukannya.
Rayhan membeku. Vania terdiam, senyumnya perlahan menghilang, menyisakan tanda tanya yang mengganjal di dada.
Bagus k, saya suka yg temanya sekolahan gini. jadi kangen masa” skolah 😄
aww gemes ih