"Jika memang kamu menginginkan anak dari rahim ku, maka harganya bukan cuma uang. Tapi juga nama belakang suami mu."
.... Hania Ghaishani .....
Ketika hadirnya seorang anak menjadi sebuah tuntutan dalam rumah tangga. Apakah mengambil seorang "madu" bisa menjadi jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diamlah
Hania duduk di kursi di sisi ranjang, tubuhnya gemetar pelan. Sejak tadi ia menunggu, dadanya dipenuhi degup yang tak wajar—antara panik, bingung, dan... takut. Brivan tadi bergerak. Ia yakin. Ia benar-benar sadar. Tapi kenapa suster Fira malah terlihat takut, pertanyaan itu masih terus berputar benak Hania.
Meski perasan Hania gamang tentang sadarnya Brivan, bagaimana suaminya itu akan bersikap? Saat tahu ada wanita asing yang kini menjadi istri keduanya, walau di atas kertas. Tapi ada sedikit rasa lega dan bahagia dalam hati Hania. Jika Brivan membuka mata, ia bisa melihat kilau yang selama ini tertutup rapat. Mungkin, mungkin jika dia beruntung, dia bisa melihat Brivan tersenyum. Tanpa sadar ia mengusap pelan perutnya, seolah memberi tahu sang calon bayi jika ayahnya akan segera membuka mata.
Tapi senyum bahagia yang sempat singgah di wajah Hania, seketika memudar begitu suara langkah cepat Mario terdengar dari balik pintu. Pria itu masuk, dengan Fira yang berjalan tergesa di belakangnya. Wajah Mario gelap. Tidak ada sapaan, keduanya datang dengan hening dan dingin Tidak ada basa-basi. Hanya satu benda di tangan sang dokter,sebuah ampul kaca berisi cairan biru pucat.
Tanpa banyak bicara, Mario menarik selimut Brivan dan dengan cekatan menyuntikkan cairan itu ke infus.
Brivan mengerang sangat pelan. Mata Hania membeliak, mendengar suara Brivan. Ia menoleh menatap suster Fira yang terlihat pucat. Tubuh pria kembali lemas, matanya tertutup semakin rapat. Tak ada lagi gerakan, semua itu hanya mimpi singkat.
Mario berdiri tegak, menarik napas berat.
Lalu...
Menoleh, melemparkan tatapan tajam pada wanita yang berdiri disampingnya.
"Kapan kamu terakhir menyuntikkan obat?" Nada suaranya datar. Tapi dingin. Sorot mata pria itu tajam menusuk, seperti anak panah yang siap mengoyak Hania.
Hania mengangkat wajah, gugup. Menelan ludah, membasahi tenggorokan yang tiba-tiba kering.
"Aku... aku selalu menyuntikkan sesuai petunjuk Suster Fira." Hania meremas jemarinya, mengalihkan gemetar yang bisa membongkar kebohongannya. Hania jarang sekali berbohong, hampir tidak pernah. Maka dia akan merasa sangat gugup saat melakukan itu
"Selalu?" Ulang Mario tajam.
"I—iya." Hania semakin menunduk.
"Kau yakin? Tidak pernah telat? Tidak pernah lupa?" Rahang Mario mengeras.
Pertanyaan itu menggantung lama di udara, menusuk seperti jarum halus di bawah kuku.
Hania menunduk sejenak. FIra menatap sekilas Hania yang hampir kehabisan nafas saking gugupnya. Tapi Fira tidak bisa membantu, posisinya sama tidak menguntungkannya dengan Hania. Bahkan lebih. Fira memilih diam, meski batin suster muda itu meronta.
"Tidak... aku... aku melakukannya...selalu, setiap pagi," Suaranya makin kecil. Bohong, Hania sengaja berbohong pada Mario. ENtah untuk apa. Tapi dia tahu ada sesuatu yang tidak beres di sini.
Mario melangkah maju. Mendekat. Sampai ia berdiri tepat di hadapan Hania.
"Kamu pikir kamu bisa membohongiku!" Sura berat Mario meninggi, Hania terjingkat. Karena Hania paling tidak bisa mendengar bentakan.
Napas Hania tercekat. Tapi ia tak membantah, hanya tangan yang semakin erat mengepal, hingga buku tangannya memutih.
Mario menarik kursi kecil dan duduk. Tatapannya menelanjangi wajah Hania, bukan sebagai wanita, tapi sebagai ancaman. Tikus kecil yang ingin mengoyak keranjang keju.
Bagi Mario, wanita di depannya ini tak lebih dari tikus kecil yang mengendus keju di dapur bangsawan. Ingin mencicip. Tapi tak tahu dirinya. Tidak mungkin Mario biarkan begitu saja.
"Aku tahu kamu tidak menyuntikkan obat itu. Aku tahu kamu sengaja membiarkannya tanpa dosis. Apa yang kau rencanakan?!"
"Kau berharap dia sadar? Kau pikir kau bisa memainkan permainanmu?"
"BODOH!?" Suara Mario menggelegar, membuat nyali Hania menciut.
Hania membuka mulut, tapi Mario menepukkan telapak tangan ke lututnya keras—membuat Hania terdiam. Mengigit bibirnya.
"Dengar baik-baik," ucapnya pelan, tapi tajam.
"Mulai hari ini, kamu tidak lagi bertanggung jawab atas obat-obat yang akan diberikan pada Brivan."
"Suster Fira akan mengambil alih. Dan kamu..."
Ia mencondongkan tubuh, menatap lurus ke mata Hania.
"Kamu hanya wanita yang dibayar. Jangan lupa posisi itu."
Napas Hania tercekat. Tapi bukan karena marah. Tapi karena... sakit. Bukan di tubuh, tapi di harga dirinya.
"Apapun yang kamu lihat di mansion ini... apa yang kamu dengar... bukan urusanmu. Kamu hanya alat. Kamu akan melahirkan anak untuk Audy. Setelah itu—selesai. Jaga batasmu sendiri jika kau ingin masih sayang nyawamu."
"Jangan buat kami mempersingkat waktumu di sini," lanjut Mario,lirih seperti bisikan namun mampu membuat Hania menggigil.
Mario berdiri, membenarkan jas putihnya, lalu menatap Brivan sejenak—seolah memeriksa hasil suntikan. Matanya sejenak memicing.
"Kau! Jangan terlalu ingin tahu. Dan terlalu berharap. Diam dan lakukan apa yang tertulis di kontrak."
Hania menggigit bibirnya. Matanya panas.
“Tidak seperti ini… kenapa begini? Brivan ... Ini kenapa, kenapa mereka seperti ini?" Bisik hatinya. Tapi dia tahu, dia tak bisa mengucapkannya. Bukan sekarang.
“Kau harus ingat satu hal lagi,” tambah Mario dari ambang pintu.
"Tutup mulutmu tentang hari ini. Terutama pada Audy, kalau kau mencoba apa yang sudah aku tata rapi… kau akan tahu kenapa wanita sepertimu hanya cukup hidup di pinggiran dunia kami.”
Lalu Mario pergi, bersama Fira yang mengekor setia. Menutup pintu dengan suara nyaris tak terdengar.
Hania terdiam. Air matanya jatuh pelan-pelan. Bukan karena takut. Tapi karena...
ia tak tahu siapa lagi dirinya sekarang. Kebingungan mendekap Hania.
emak nya brivan bakalan pulang. dan si nenek tapasya pasti gak bisa bergerak sesuka hati nya setelah ini
Oh nggak bisa, yang mengandung anak brivan itu hania, jadi Audy gak ada hak emm
kapan aja,, Brivan pasti bisa bangun melawan bius yang kau ciptakan !!
apa ibunya Brivan ga tau ya klu Audy sdh keguguran dan anaknya lagi terbaring sakit.
Ibunya Brivan akan datang,, berharap bgt dia akan bisa membawa Brivan pergi bersamanya,jika Brivan menjauh dr Mario,itu artinya Brivan akan bisa segera sadar,,,
nah loh ibunya brivan mau ke indo jenguk brivan gimana ya nanti reaksinya kalau tau Audy udah ga mengandung lagi
dan untuk mu ibu briv semoga segera menengok ya. putra mu tidak berdaya