"aku pernah membiarkan satu Kalila merebut milik ku,tapi tidak untuk Kalila lain nya!,kau... hanya milik Aruna!"
Aruna dan Kalila adalah saudara kembar tidak identik, mereka terpisah saat kecil,karena ulah Kalila yang sengaja mendorong saudara nya kesungai.
ulah nya membuat Aruna harus hidup terluntang Lantung di jalanan, sehingga akhirnya dia menemukan seorang laki laki tempat dia bersandar.
Tapi sayang nya,sebuah kecelakaan merenggut ingatan Aruna,sehingga membuat mereka terpisah.
Akankah mereka bertemu kembali?,atau kah Aruna akan mengingat kenangan mereka lagi?
"jika tuhan mengijinkan aku hidup kembali, tidak akan ku biarkan seorang pun merebut milik ku lagi!"ucap nya,sesaat sebelum kesadaran nya menghilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aru_na, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20.
"Kalila?, untuk apa dia menelpon?" arza terlihat acuh,dia masih fokus menyetir mobil. Aruna menggeleng,dia tidak tau dan juga tidak mau tau.
"biarkan saja" ketidak pedulian arza membuat hati Aruna menghangat, dia merasa arza menghargai nya sehingga tidak memperdulikan wanita lain.
Malam itu, saat mereka pulang ke rumah, suasana terasa berbeda. Ada kehangatan dan keintiman yang baru tumbuh di antara mereka. Percakapan di pantai telah membuka gerbang komunikasi yang sebelumnya tertutup. Aruna merasa lebih nyaman berbagi pemikiran dan perasaannya dengan Arza, dan Arza pun tampak lebih terbuka.
Aruna melihat Arza menatapnya dengan pandangan yang dalam, seolah sedang mencari sesuatu di matanya. Perasaan aneh menjalar di dada Aruna, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Apakah ini yang dinamakan cinta? Tidak mungkin secepat itu bukan? Atau hanya sekadar perasaan nyaman dan aman yang perlahan tumbuh.
Arza meraih tangan Aruna yang dingin, menggenggamnya erat. "Dingin sekali tanganmu," bisiknya. "Mungkin kau lelah." Dia mengusap punggung tangan Aruna dengan ibu jarinya, mengirimkan gelombang kehangatan yang menjalar hingga ke hati Aruna.
Aruna tidak menjawab, hanya tersenyum tipis. Entah mengapa, sentuhan sederhana itu terasa begitu menenangkan. Perasaan yang tadinya aneh dan membingungkan, kini terasa lebih jelas.
Mungkin memang bukan cinta yang menggebu-gebu seperti di novel, tapi ini adalah ketenangan, kenyamanan, dan rasa aman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sebuah perasaan yang perlahan namun pasti, mulai mengisi kekosongan dalam dirinya.
"Besok pagi, kita akan menemui Ami dan Anara," kata Arza, memecah keheningan. "Aku yakin mereka akan senang bertemu denganmu lagi, dan aku juga tidak sabar bertemu dengan mereka."
Aruna mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, dokter Arza. Terima kasih sudah mau mengantarkan aku untuk bertemu mereka lagi."
Arza tersenyum, memarkir mobil di halaman rumah. "Ini baru awal, Aruna. Banyak hal indah menanti kita"
Aruna tersenyum, arza membuka pintu, meraih tangan istrinya dan membawa nya masuk ke dalam rumah mereka, mereka mengabaikan handphone arza yang masih berbunyi di dalam tas Aruna, bahkan arza sama sekali tidak melirik nya.
"cepat mandi,ganti baju dan aku akan menyiapkan makan malam" Aruna menghempaskan tubuhnya di atas sofa, dia sangat lelah dan memang tubuh nya terasa lengket terkena angin laut seharian ini.
"bagaimana kalo aku yang masak malam ini?" arza menggeleng, "kamu pasti kecapean, biar aku saja. Kamu bisa menyiapkan sarapan besok pagi" ujar nya tegas, membuat Aruna menghela nafas.
"buruan gih,mandi. Atau mau mandi bareng?" arza terkekeh geli melihat ketakutan Aruna karena di goda oleh nya. Dia cepat cepat melangkah masuk ke kamar dan menutup pintu nya.
"Aruna... Akhirnya aku menemukanmu, aku berjanji akan selalu membahagiakan mu" lirihnya, menatap punggung Aruna yang perlahan menghilang di balik pintu kamar.
...****************...
Pagi hari, seperti yang telah di janjikan. Setelah dokter arza mengecek keadaan di dalam puskesmas, dia yang sudah rapi dengan pakaian santai nya itu kembali kerumah untuk sarapan.
Aruna telah menyiapkan semua nya, dia tersenyum menatap arza yang sudah kembali dan berdiri di depan pintu belakang rumah mereka.
"ayo sarapan" arza masuk, mencium pipi Aruna sekilas, setelah itu langsung duduk di kursi meja makan,tanpa merasa bersalah.
Aruna hanya terkejut sesaat,lalu melanjutkan pekerjaan nya didapur selayaknya seorang istri yang sedang melayani suami nya, untuk menyembunyikan rona merah di pipi nya karena merasa malu.
"emm, rasa nya sangat enak" ujar arza,saat sendok nasi goreng telah masuk ke mulut nya, sedang Aruna merasa Was was , takut arza tidak menyukai nya dan muntah.
Aruna tersenyum,hati nya merasa lega. " benar kah?" arza mengangguk,dia terus mengunyah, menikmati makanan pertama yang di buatkan Aruna untuk nya.
"ini lebih enak dari masakan ku sendiri, sayang... Kau bisa memasakkan makanan apapun setiap hari untuk ku, aku pasti akan memakan nya ".
"kau tidak berbohong kan?" Aruna masih tidak percaya, dia masih memperhatikan arza, bahkan makanan di depan nya sendiri belum tersentuh sama sekali.
"benar, aku tidak berbohong, rasa nya sangat spesial. Buruan makan, kamu sendiri akan terkejut dengan rasa masakan mu" Aruna mulai memakan makanan nya, tapi dia tidak merasakan ada rasa spesial disana seperti yang di katakan suami nya.
Arza menghabiskan makanan nya, bahkan tidak tersisa sedikit pun di dalam piring. Begitu juga Aruna, dia segera menghabiskan makanan nya, setelah arza mengatakan bahwa mereka akan berangkat sebentar lagi.
Setelah sarapan, Arza dan Aruna segera bersiap untuk berangkat. Arza membantu Aruna mengunci pintu rumah dan memastikan semua sudah aman. Mereka berdua berjalan menuju mobil dengan langkah ringan, suasana pagi yang cerah menambah semangat mereka.
"Siap, Aruna?" tanya Arza sambil membuka pintu mobil untuk Aruna.
Aruna tersenyum dan mengangguk, "Siap, Dokter Arza!"
Arza terkekeh, "Panggil saja mas, sayang. Kita kan sudah menikah."
Pipinya kembali merona, Aruna hanya bisa menunduk malu. Arza yang melihat itu tersenyum tipis, merasa gemas dengan tingkah laku Aruna.
Perjalanan menuju rumah Tante nya Aruna terasa menyenangkan. Obrolan ringan mengisi keheningan di dalam mobil, diselingi tawa Aruna yang renyah setiap kali Arza melontarkan candaan.
Saat melewati balai desa, Arza memperlambat laju mobilnya. Rupanya, masih ada beberapa warga yang berkumpul, melanjutkan acara dari kemarin. Terlihat tumpukan makanan dan minuman yang tersisa, serta beberapa ibu-ibu yang sedang bersih-bersih.
"Sepertinya masih ada acara, ya?" ucap Aruna, melihat ke arah balai desa.
Arza mengangguk. "Sepertinya begitu. Kita mampir sebentar?"
Aruna menoleh pada Arza, "Boleh, Dokter Arza... eh, mas."
Arza tersenyum simpul, lalu memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Begitu mereka keluar dari mobil, beberapa warga yang melihat kedatangan Dokter Arza langsung menyambut dengan ramah.
"Dokter Arza!" seru seorang bapak paruh baya yang sedang mengangkat kursi. "Wah, mau kemana ini, Dokter?"
Arza tersenyum hangat. "Ini mau ke rumah keluarga nya istri saya pak, tapi saya lihat masih ramai jadi mampir dulu." Matanya beralih pada Aruna. "Kenalkan, ini Aruna, istri saya."
Wajah Aruna sedikit terkejut saat Arza memperkenalkan dirinya sebagai istri, namun ia segera menguasai diri dan tersenyum ramah pada bapak-bapak itu.
"Wah, cantik sekali istrinya, Dokter!" puji seorang ibu-ibu yang baru saja mendekat. Mereka memang tidak di undang waktu acara pesta. "Pantas saja Dokter Arza betah di sini, rupanya sudah ada bidadari di sampingnya!"
Arza hanya tertawa kecil mendengar godaan para warga. "Bisa saja Ibu ini," katanya. "dokter, ayo makan dulu" salah satu warga mengajak mereka makan bersama., tapi dokter arza menolak dengan sopan. "Ini tadi sudah sarapan dirumah ,masakan istri saya, enak sekali."
Aruna semakin tersipu malu, tapi juga merasa bahagia mendengar Arza memujinya di depan orang lain. Mereka kemudian bergabung dengan beberapa warga yang sedang mengobrol santai. Aruna berusaha beradaptasi dengan lingkungan baru dan sesekali ikut tersenyum saat mendengar candaan para ibu-ibu.
"Nak Aruna," sapa seorang ibu yang membawa nampan berisi teh hangat. "Silakan diminum tehnya. Ini teh asli dari kebun warga."
"Terima kasih banyak, Bu," jawab Aruna ramah, mengambil secangkir teh. Arza juga menerima cangkir tehnya, dan mereka berdua menikmati suasana kebersamaan yang hangat di balai desa. Obrolan pun berlanjut, dari mulai kondisi desa hingga cerita lucu tentang anak-anak warga. Aruna merasa nyaman berada di tengah-tengah mereka, merasakan kehangatan kekeluargaan yang tulus.
Setelah beberapa saat, Arza melirik jam tangannya. "Pak, Bu, kami pamit dulu ya. keluarga Aruna pasti sudah menunggu."
"Oh iya, Dokter Arza. Silakan," jawab bapak paruh baya tadi.
Arza dan Aruna pun berpamitan, mengucapkan terima kasih atas sambutan hangat dan teh hangatnya. Mereka kembali ke mobil dengan senyum puas, merasa senang bisa berinteraksi dengan warga desa. Aruna merasa bahwa perlahan tapi pasti, ia mulai menemukan tempatnya di desa ini, di samping Arza.