Dua puluh tahun setelah melarikan diri dari masa lalunya, Ayla hidup damai sebagai penyintas dan penggerak di pusat perlindungan perempuan. Hingga sebuah seminar mempertemukannya kembali dengan Bayu—mantan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu malam, satu kesalahan, dan Ayla pergi tanpa jejak. Tapi kepergiannya membawa benih kehidupan. Dilema mengungkungnya: mempertahankan bayi itu atau tidak, apalagi dengan keyakinan bahwa ia mengidap penyakit genetik langka.
Namun kenyataan berkata lain—Ayla sehat. Dan ia memilih jadi ibu tunggal.
Sementara itu, Bayu terus mencari. Di sisi lain, sang istri merahasiakan siapa sebenarnya yang pernah menyelamatkan nyawa ayah Bayu—seseorang yang mungkin bisa mengguncang semua yang telah ia perjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Tak Pernah Bisa
Bayu menatap ke arah jendela lantai dua LPA, satu-satunya jendela yang beberapa menit lalu ia panjat dengan nekat—demi melihat wanita yang bertahun-tahun lalu ia relakan, tapi tak pernah benar-benar bisa ia lepaskan.
Hatinya masih tertinggal di kamar itu. Pada wajah Ayla yang masih sama, pada tatapan matanya yang dulu membuat Bayu yakin dunia ini tak selamanya kelabu. Tapi kini, matanya kosong. Sama seperti hatinya yang telah dicabik waktu.
Mobil melaju menembus malam, jalanan gelap bagai lorong tak berujung. Bayu menatapnya dengan pandangan hampa. Tak ada satu pun kata terucap, bahkan helaan napasnya pun nyaris tak terdengar.
Sopirnya sesekali melirik lewat kaca spion tengah, mencoba menangkap sisa-sisa ekspresi pria itu, tapi nihil. Tadi pria itu begitu tergesa ingin sampai ke LPA, seperti seseorang yang tengah mengejar waktu, mengejar cinta. Tapi sekarang? Wajahnya seperti patung—penuh luka tapi diam.
"Apa yang terjadi di sana?" batin sang sopir. "Apa yang membuatnya begitu hidup saat pergi, lalu kembali seperti mayat yang berjalan?"
Setibanya di hotel, Bayu melangkah masuk ke kamarnya dengan gerakan lelah. Ia menutup pintu pelan, seolah suara sedikit saja akan membuat hatinya benar-benar runtuh. Punggungnya bersandar pada daun pintu, lalu tubuhnya perlahan merosot ke bawah, duduk di lantai dingin hotel yang terasa tak lebih beku dari hatinya.
Ia memejamkan mata. Menahan gejolak yang kembali menghantam dada. Laras. Nama itu masih menjadi doa dalam kesunyian hidupnya.
Dulu, Laras menolaknya karena mengaku mencintai Edward.
"Kau berdusta saat itu, kan?" batinnya lirih. "Aku tahu matamu berbohong. Aku tahu hatimu masih milikku. Tapi kau memilih pergi, memilih menikah karena kau merasa tak punya pilihan lain."
Bayu mendongak menatap langit-langit kamar yang buram dalam cahaya lampu temaram.
"Kau menolakku saat itu demi menyelamatkan nama baikku," ucapnya nyaris tak bersuara, hanya gema kesakitan yang terpental di dalam dada. "Kau menolakku lagi saat pernikahanmu hancur karena kau tak mau aku jadi alasan kehancurannya. Dan sekarang..."
Suaranya tercekat.
"... lagi-lagi kau menolakku. Karena aku telah menjadi suami dari wanita lain. Kau bilang, tak mau jadi orang ketiga."
Bayu tertawa. Pelan. Penuh getir. Tawa yang menggema seperti ironi paling kejam dari hidup.
"Aku dipermainkan takdir, Laras. Tuhan tahu aku tak pernah berhenti mencintaimu. Aku mencoba, sungguh. Bertahun-tahun. Tapi nyatanya aku tak pernah berhasil... Dan saat kau muncul lagi... aku tahu aku benar-benar tak bisa melupakanmu. Tak pernah bisa."
Bayu menatap tangannya sendiri. Telapak yang sempat menyentuh tubuh Ayla malam ini. Yang sempat ia genggam—dan lagi-lagi ia lepaskan.
"Mengapa Tuhan mempertemukan kita lagi... jika pada akhirnya kita hanya akan saling tersakiti?"
Ia memejamkan mata lagi. Kali ini, air mata mengalir tanpa bisa ia cegah. Bisu. Panas. Memalukan.
"Jika memang kami tak ditakdirkan bersama, mengapa cinta ini tak dihapus saja sejak lama? Mengapa harus diberi kesempatan untuk tumbuh kembali, hanya untuk dihancurkan... lagi?"
Bayu menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangan. Seperti anak kecil yang tersesat, ia menangis dalam diam. Tapi ini bukan air mata kehilangan yang pertama.
Ini adalah air mata dari luka yang tak pernah sempat sembuh sejak lama. Dan mungkin... tak 'kan pernah sembuh selamnya.
Dan di dalam kesunyian malam itu, satu hal kembali menggema di dalam hati Bayu:
Ia mencintai Laras. Dulu, sekarang, dan entah sampai kapan.
Tapi cinta itu, seperti bunga di tanah beku, hanya bisa tumbuh untuk mati.
---
London
Bayu melangkah masuk ke rumah dengan wajah dingin, nyaris tanpa ekspresi. Sosoknya seperti manusia yang telah kehilangan segala rasa, seperti jasad hidup yang hanya digerakkan oleh kebiasaan, bukan hati.
Langkahnya melewati ruang tengah ketika Shailendra muncul dari balik tangga. Mereka bertatap muka, atau lebih tepatnya, Bayu melintas begitu saja tanpa mengindahkan keberadaan ayahnya. Seolah Shailendra tak ada. Seolah pria yang dulu memegang kendali atas hidupnya itu bukan siapa-siapa.
Shailendra terdiam. Ada getar yang tak bisa dijelaskan di dadanya. Dulu, ia tahu Bayu membencinya. Ia bisa menerima dinginnya anak itu karena merasa pantas menerimanya. Tapi kini, Bayu bukan lagi dingin. Ia beku. Tak tersentuh.
Langkah Bayu belum sempat mencapai tangga ketika suara Ellen terdengar dari arah dapur.
"Kau dari menemui mantan pacarmu itu, bukan?"
Suara itu tak mengguncang langkah Bayu sedikit pun. Ia terus berjalan, seperti angin yang tak peduli pada suara, pada omongan, pada dunia.
"Bayu!"
Ellen berlari dan menarik tangan suaminya dengan paksa. Jemarinya mencengkeram erat lengan pria itu, menuntut perhatian, jawaban, apapun.
Bayu berhenti. Ia berbalik perlahan dan menatap Ellen. Tatapan itu dingin. Bukan marah, bukan sedih, bukan kecewa. Tapi dingin. Seperti es yang bahkan cahaya pun tak sanggup menembus.
"Aku akan mengurus perceraian kita," katanya pelan namun tegas, seperti palu yang menghantam hati Ellen. "Aku sudah muak."
Tangannya mencengkeram jemari Ellen yang masih melekat di lengannya dan melepaskannya dengan kasar, seperti menepis sesuatu yang menjijikkan. Lalu ia berbalik, melangkah naik ke lantai atas tanpa menoleh lagi.
Ellen membeku sejenak, tak percaya. Lalu ia berteriak.
"Kau tak bisa seenaknya! Kau tak bisa cerai dariku begitu saja, Bayu!"
Bayu tetap berjalan. Tak mempercepat, tak memperlambat.
"Ayahku dan ayahmu bekerja sama! Apakah kau lupa itu? Perusahaan kalian terikat!"
Langkah Bayu masih tak goyah. Ia seperti tak mendengar apapun.
"Dan jangan lupa! Aku yang menyelamatkan ayahmu! Tanpaku, mungkin ia sudah mati malam itu!"
BRAK!
Pintu kamar Bayu tertutup keras. Suara dentumannya menggema ke seluruh penjuru rumah. Ellen tersentak. Napasnya memburu. Matanya merah. Tangan yang tadi mencoba meraih, kini terkepal begitu erat hingga buku-bukunya memutih.
"Ini semua karena perempuan itu," gumamnya dengan suara parau. Wajahnya dipenuhi amarah. Matanya berkobar. "Perempuan itu. Pasti karena dia."
Ia masuk ke kamarnya dan tak lama kemudian keluar membawa koper. Ellen melangkah keluar rumah, membanting pintu dengan kekuatan yang sama brutalnya dengan hatinya yang terbakar cemburu. Atau mungkin egonya yang terbakar.
Shailendra berdiri diam di tangga. Ia melihat dan mendengar semuanya. Tapi ia memilih bungkam. Ia tahu Ellen bertahan karena status. Ia tahu pernikahan itu hanya permainan bagi wanita itu. Tapi hatinya tetap menyimpan ganjalan yang belum juga menemukan jawaban.
Ellen. Ya, Ellen memang menyelamatkannya. Itu kata semua bukti dan saksi. Tapi setiap kali ia mengingat malam itu, hatinya tetap berbisik. Ada yang tak beres. Ada yang tak terlihat. Ada kebenaran yang disembunyikan rapat oleh seseorang.
Dan ia tak tahu... apakah ia siap menemukannya.
Mobil melaju membelah malam, meninggalkan rumah besar dengan amarah yang belum tuntas. Ellen duduk diam di kursi belakang, matanya menatap ke luar jendela, tapi pikirannya tak ada di jalanan yang mereka lalui.
"Ke bandara," ucapnya dingin. "Aku ingin menemui wanita sialan itu."
Lia, sang sopir pribadi, tidak mengatakan apa-apa. Ia tahu kapan harus diam, dan malam ini bukan waktu yang tepat untuk mengajukan pertanyaan. Wajah Ellen menyimpan bara. Tatapannya seperti pisau yang siap menguliti siapa pun yang menghalangi jalannya.
---
Penerbangan malam membawa mereka ke Swiss. Langit kelabu dan hawa dingin menyambut kedatangan mereka seperti pertanda bahwa badai belum benar-benar berlalu.
Setibanya di hotel, Ellen menutup pintu kamar dengan satu gerakan cepat. Ia berdiri membelakangi pintu, tubuhnya tegang, napasnya berat. Ia memutar tubuhnya perlahan, lalu menatap Lia yang sedang meletakkan koper mereka di pojok ruangan.
"Hari ini menyebalkan," suaranya pelan namun mengandung tekanan, seperti racun yang siap menyebar. "Sangat menyebalkan."
Ia melangkah mendekat, jari-jarinya meraih kerah baju Lia dan menariknya dengan kasar. Matanya berkilat. Bukan karena cinta. Tapi karena dendam, amarah, dan frustrasi yang mencari pelampiasan.
"Kau tahu apa yang harus kau lakukan. Bersihkan dirimu. Aku ingin semua tentang hari ini lenyap saat kulitmu menyentuhku. Aku ingin lupa."
...🍁💦🍁...
.
To be continued
jangan takut Ayla semoga ayah Bayu mau menerima kamu dan cucunya.
semangat kak ditunggu kelanjutannya makin seru nih,aku suka aku sukaaaaa