Dalam dunia korporasi yang berputar terlalu cepat, Ethan Solomon Montgomery, Presiden Direktur Montgomery Group, hidup dengan ketenangan yang dirancang oleh keluarga yang membentuknya. Ia tumbuh untuk memimpin, bukan untuk diperintah. Sejak kecil Celine Mattea selalu berdiri di sisinya, perempuan yang mampu masuk ke semua pintu keluarga Montgomery. Celine mencintai Ethan dengan keyakinan yang tidak pernah goyah, bahkan ketika Ethan sendiri tidak pernah memberikan kepastian. Hubungan mereka bukan hubungan lembut yang manis, melainkan keterikatan panjang yang sulit dilepaskan. Persahabatan, warisan masa kecil, ketergantungan, dan cinta yang Celine perjuangkan sendirian. Ketika Cantika, staf keuangan sederhana memasuki orbit Ethan, sesuatu di dalam diri Ethan bergeser. Sebuah celah kecil yang Celine rasakan lebih tajam daripada pengkhianatan apa pun. Ethan dan Celine bergerak dalam tarian berbahaya: antara memilih kenyamanan masa lalu atau menantang dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan. Ini adalah kisah dua orang yang seharusnya ditakdirkan bersama, tetapi cinta yang bertahan terlalu lama tidak selalu berarti cinta yang benar. Disclaimer: Novel ini adalah season 2 dari karya Author, “Falling in Love Again After Divorce.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ledakan
Iringan musik klasik mengalun mengiringi percakapan para tamu. Resepsi Montgomery bukan sekadar pesta, melainkan perayaan selera dan kuasa. Meja-meja panjang tertata simetris, dilapisi linen gading, dihiasi centerpiece bunga hidup yang disusun rendah agar tak menghalangi pandangan.
Hidangan datang bergantian, disajikan dengan ketepatan waktu yang nyaris matematis. Beef dengan saus red wine yang pekat dan buttery, disusul ikan kakap panggang ala Mediterania. Wagyu tataki Jepang, disajikan bersamaan dengan dim sum klasik Hong Kong yang diangkat ke level fine dining. Untuk menjaga kearifan lokal, berbagai makanan khas Indonesia juga disajikan seperti rendang, gulai, dan rawon. Cheese cake, tiramisu cake, macaron, gelato, custard tart, apple pie, dan juga jajanan pasar dijadikan sebagai hidangan penutup.
Minuman mengalir tak kalah elegan. Champagne vintage, white wine, hingga berbagai minuman buah untuk tamu yang tak menyentuh alkohol. Semua disajikan sama. Tidak ada perbedaan antara tamu penting dan tamu biasa.
“Cantika!” panggil Rania dari kejauhan sambil melambaikan tangan. “Kau ke mana saja? Aku mencarimu sejak tadi.”
Cantika menghampiri dengan langkah tenang. “Aku baru dari toilet,” jawabnya sopan dan lembut.
Rania menarik lengannya antusias. “Sini, duduk bareng aku.”
Mereka duduk di meja yang sama. Rania langsung menunjuk piring-piring yang baru disajikan. “Lihat ini, Cantika. Enak sekali. Aku baru pertama kali makan makanan seperti ini,” katanya bersemangat, mencicipi satu per satu tanpa ragu.
Pelayan datang lagi, mengganti piring dengan hidangan berikutnya tanpa jeda. Rania tidak berhenti membuka mulut saking kagumnya.
Cantika mengambil garpu, mencoba wagyu tataki yang disajikan di hadapannya. Dagingnya lembut, sausnya tajam dan segar namun rasanya asing di lidahnya. Ia menelan pelan, memaksa diri untuk mengunyah lagi meski rasanya akan muntah. Ini bukan makanan yang biasa ia santap namun ia tetap memakannya. Makanan ini adalah makanan yang biasa dimakan Ethan. Dan jika ia ingin memahami dunianya, ia harus belajar menikmatinya.
“Cantika,” kata Rania sambil menatapnya kagum, “kau kelihatan sudah terbiasa dengan makanan seperti ini.”
Cantika tersipu tipis. Ia tidak menjawab, hanya kembali mengangkat garpunya dan melanjutkan makan dengan tenang, seolah benar-benar bersahabat dengan tempat itu. Sesekali ia melihat Ethan dari kejauhan. Celine, tak pernah benar-benar meninggalkannya. Perempuan itu selalu berada satu langkah di sisi Ethan dengan tangan di lengannya. Pemandangan itu menekan dada Cantika, pelan tapi pasti.
Ia berdiri. “Ran, aku mau ambil minum,” katanya lembut.
Rania mengangguk tanpa menoleh, terlalu sibuk menikmati dessert terakhir yang membuatnya berdecak kagum.
Cantika melangkah menjauh, mendekati meja minuman di dekat Ethan dan Celine. Saat ia akan mengambil gelas musik terasa semakin jauh, dan ruangan mendadak berputar perlahan. Kepalanya pening, pandangannya kabur. Cantika mencoba menarik napas, menoleh ke sekeliling, namun ia kehilangan fokus. Lututnya melemah, dan detik berikutnya tubuhnya jatuh menghantam lantai marmer.
Bruk.
Semua kepala menoleh. Aula yang tadi dipenuhi tawa mendadak senyap.
“Cantika!” Rania berteriak.
Ethan refleks melangkah maju, namun tangan Celine langsung mencengkeram lengannya.
“Jangan pergi,” kata Celine dingin, suaranya rendah namun tegas.
Ethan menoleh tajam. “Jangan kekanakan, Celine. Aku hanya menolongnya.”
Celine mempererat genggamannya. Matanya menatap Ethan lurus, dalam, tanpa toleransi.
“Kau ingat apa yang kau katakan padaku sebelum janji pernikahan, Ethan?”
Ethan terdiam sepersekian detik. “Ini berbeda.”
Celine melonggarkan tangannya perlahan. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum melainkan peringatan.
“Aku tidak peduli apa yang terjadi di antara kalian. Tapi sekali kau melangkah, aku akan membuang keyakinanku dan berhenti sampai di sini.”
Ethan menatapnya sesaat, lalu berbalik tanpa kata. Ia berlutut di sisi Cantika, memeriksa napasnya dengan teliti.
“Jerry,” panggilnya. “Bawa dia ke rumah sakit.”
Jerry yang berjaga di sudut ruangan bergerak cepat. Sean dan Ariana mencoba menghalangi langkah Ethan, wajah mereka penuh tanda tanya dan kegelisahan. Namun Ethan tak bisa dihentikan.
Bisik-bisik mulai menyebar. Kenapa Presiden Direktur Montgomery Corp menunjukkan perhatian sebesar itu pada seorang staf?
Celine berdiri kaku di tengah aula. Harga dirinya terkoyak di depan tamu undangan terlebih wanita itu. Ia menatap kerumunan, menatap Ethan yang kini mengangkat Cantika.
“Hari ini,” bisiknya pada dirinya sendiri seolah merutuki kebodohannya. “aku mengabaikan semua fakta dan mengambil keputusan yang salah karena cintaku.”
Ia meraih ponselnya, membuka daftar log panggilan yang ia hubungi kemarin malam.
“Sekarang!” katanya singkat saat panggilan tersambung.
Ia menghitung pelan, nyaris tak terdengar.
“Tiga… dua… satu.”
DUAR.
Ledakan mengguncang aula. Dentuman memekakkan telinga. Asap tebal menyebar cepat, teriakan panik pecah dari segala arah. Tamu-tamu berhamburan, kursi terjungkal, musik terhenti seketika. Semua orang sibuk menyelamatkan diri dan keluarga masing-masing.
Namun di tengah kekacauan itu, Celine tetap berdiri di tempatnya. Ia tidak bergerak, tidak berteriak, bahkan tidak menoleh.
Ethan muncul dari balik asap, dengan Cantika di lengannya. Wajahnya tegang, napasnya terdengar berat.
“Celine! Keluar!” teriaknya keras, tanpa melepaskan Cantika.
Pandangan Celine tidak terangkat ke wajah Ethan. Ia hanya menatap satu hal, tangan pria itu yang menggenggam tubuh wanita lain.
“Celine, kubilang keluar!” suara Ethan meninggi, retak oleh urgensi. “Apa kau tidak punya kaki?!”
Celine tetap diam, seolah menunggu sesuatu.
Langkah-langkah datang mendekat. Anggota Amox muncul, berlari menembus asap. Rega berhenti tepat di depan Celine, wajahnya merah oleh amarah dan panik.
“Apa kau gila?” bentaknya. “Kau lupa paru-parumu tidak boleh terkena asap?!”
Tak ada jawaban, yang tersisa hanya keheningan yang menegangkan.
Raga dan Rega saling pandang, lalu mengangguk bersamaan. Tanpa sepatah kata mereka bergerak serempak. Rega dan Raga mengangkat tubuh Celine dari sisi kanan dan kiri, sementara Sambo menyusul mengangkat kedua kakinya. Mereka berlari keluar aula dengan cepat.
Celine sempat melihat Ethan yang juga berlari, tapi kali ini bukan bersamanya. Tatapan mereka berpapasan sepersekian detik. Namun ada yang berbeda, tatapan ini terasa kosong dan jauh.
Anggota Amox, meletakkan Celine di luar aula.
“Nakal,” gerutu si kembar sembari menarik kedua telinga Celine bersamaan.
“Celine!”
Golda berlari menghampiri, wajahnya pucat, napasnya tersengal. Ia memeluk putrinya erat, tangannya gemetar saat memeriksa wajah, bahu, lengan Celine.
“Kau baik-baik saja?” suaranya pecah. “Papa mencarimu ke mana-mana.”
Celine menatap lurus ke depan. “Aku lebih dari baik, Papa,” jawabnya terlalu tenang.
Golda terdiam, ia menatap mata putrinya lama.
Rega dan Raga saling menoleh, lalu menghela napas bersamaan. Mereka tahu, ada yang tidak baik-baik saja. Dan kali ini bukan tubuh Celine yang terluka, melainkan sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
"Apa yang sebenarnya terjadi sih?" Sambo menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kebingungan dengan situasi ini. "Siapa perempuan ta...?"
Rega segera menutup mulutnya kuat, menyentil keningnya kurang ajar.
“Jangan bertanya sekarang! Aku pusing,” kata Rega. Jika biasanya Raga akan menegur sikap Rega maka kali ini tidak.
“Dari pada kau banyak bicara, lebih baik kau kerjakan tugas dariku.” Rega melepas tangannya, lalu berbisik di telinga Sambo.
“Tapi…”
Rega melipat tangannya di dada, terlihat cuek. “Keputusan ada di tanganmu. Ikut kami atau kau…” ia menyeret telunjuknya di leher, tanda ‘kau akan mati sendirian jika tidak menurut’.
Sambo mengangguk dengan cepat. PIlihan pertama menyeramkan, tapi pilihan kedua akan membuatnya mati.
pengorbanan celine terlalu besar hy untuk se ekor ethan...
cepatlah bangkit dan move on celine dan jauh jauh celine jangan terlibat apapun dgn amox apalagi yg didalamnya ada ethan² nya...
mungkin si SEthan merasa bersslah dan ingin bertanggung jawab atas kematian ayahnya Cantika, karna mungkin salah sasaran dan itupun sudah di jekaskan Raga & Rega.
tapi dadar si SEthan emang sengaja cari perkara, segala alasan Cantika punya adik, preettt...🤮🤮🤮
Balas dendam kah?
Siapa Barlex?
Berhubungan dengan ortunya Cantika kah?
Haiisz.. makin penisiriin iihh.. 😅😅🤣🤣
Thanks kk Demar 🤌🏻🤌🏻