NovelToon NovelToon
TERSERET JANJI ATHAR

TERSERET JANJI ATHAR

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Idola sekolah
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Halwa adalah siswi beasiswa yang gigih belajar, namun sering dibully oleh Dinda. Ia diam-diam mengagumi Afrain, kakak kelas populer, pintar, dan sopan yang selalu melindunginya dari ejekan Dinda. Kedekatan mereka memuncak ketika Afrain secara terbuka membela Halwa dan mengajaknya pulang bersama setelah Halwa memenangkan lomba esai nasional.
Namun, di tengah benih-benih hubungan dengan Afrain, hidup Halwa berubah drastis. Saat menghadiri pesta Dinda, Halwa diculik dan dipaksa menikah mendadak dengan seorang pria asing bernama Athar di rumah sakit.
Athar, yang merupakan pria kaya, melakukan pernikahan ini hanya untuk memenuhi permintaan terakhir ibunya yang sakit keras. Setelah akad, Athar langsung meninggalkannya untuk urusan bisnis, berjanji membiayai kehidupan Halwa dan memberitahunya bahwa ia kini resmi menjadi Nyonya Athar, membuat Halwa terombang-ambing antara perasaan dengan Afrain dan status pernikahannya yang tak terduga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26

Setelah konferensi pers yang menggemparkan itu, Athar kembali membawa istrinya ke rumah sakit.

Ia tidak peduli dengan kerumunan wartawan yang mencoba mengejar mobilnya.

Halwa yang tampak lelah namun lega, didorong Athar masuk ke kamar VVIP.

"Istirahatlah, Sayang. Jangan pikirkan apa-apa lagi. Semua sudah selesai," ucap Athar, membaringkan Halwa di ranjang dan menyelimutinya.

Ia duduk di samping Halwa, menatap wajah istrinya.

Halwa memejamkan mata, memproses semua yang terjadi hari ini.

Sementara itu, di sekolah, Afrain yang sudah dikuasai amarah dan rasa sakit, mengendarai motornya seperti kesetanan menuju rumah.

Ia ingin melampiaskan amarahnya, namun ia juga ingin mencari ketenangan dari ibunya.

Ia membuka pintu rumah dan memanggil. "Ibu! Ibu!"

Tidak ada jawaban dari ibunya dan rumah itu terasa sunyi.

Afrain berjalan masuk ke ruang keluarga, tempat Ibunya biasanya menonton televisi sore.

Langkahnya terhenti dan ia membelalakkan matanya saat melihat Ibunya tergeletak di lantai di samping kursi.

Secangkir teh sudah tumpah dan pecahan cangkir berserakan di dekatnya.

"IBU!!" Afrain menjatuhkan diri di samping tubuh Ibunya.

Tangannya gemetar saat ia memeriksa denyut nadi Ibunya di pergelangan tangan dan leher.

Afrain langsung menjerit histeris dengan air mata yang tadi ia tahan karena amarah pada Halwa, kini tumpah karena kesedihan yang tak tertahankan.

"Innalillahi wa innailaihi roji'un..."

Ia mengguncang tubuh Ibunya. "Bu, jangan tinggalkan aku, Bu! Bu!"

Kepalanya jatuh di dada Ibunya. Rasa sakit itu, kehilangan itu, melumpuhkannya. Ia merasa dunia menimpanya sekaligus.

"Halwa membohongiku. dan Ibu meninggalkan aku..."

Afrain meracau di tengah tangisnya, ia mengangkat wajahnya yang basah.

Semua rasa sakitnya ia salurkan menjadi kebencian yang kuat pada satu nama: Halwa.

Ia yakin, jika saja Halwa tidak muncul dan membohonginya, Ibunya tidak akan shock dan semua ini tidak akan terjadi. Dendam baru kini menyelimuti hati Afrain.

Sementara itu di tempat lain dimana Halwa sedang beristirahat di ranjang rumah sakit ketika ponselnya bergetar.

Ia melihat banyak notifikasi dari grup WhatsApp sekolah.

Halwa membuka grup itu dan matanya membelalak saat membaca sebuah pesan:

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Telah berpulang ke Rahmatullah, Ibu Dyah, ibunda dari Kakak Afrain (Ketua OSIS). Mohon doanya. Jenazah disemayamkan di rumah duka."

Halwa sontak terkejut. Tubuhnya menegang. Ia merasa semua ini adalah salahnya.

"Athar..." panggil Halwa, suaranya tercekat.

Ia menunjukkan ponselnya kepada suaminya yang sedang duduk.

Athar membaca pesan itu. Ekspresinya sedikit melunak karena simpati, tetapi ia segera menatap Halwa dengan tegas.

"Athar, kita ke sana. Aku harus melayat. Aku harus minta maaf," pinta Halwa.

"Kamu masih sakit, Hal. Demammu baru turun. Kursi rodanya sudah dikembalikan," tolak Athar.

"Athar, kumohon. Sebentar saja. Aku harus pergi. Ini tentang Afrain," Halwa merengek, matanya memancarkan rasa bersalah yang dalam.

Athar menghela napas panjang. Ia tahu ia tidak akan bisa menolak tatapan memohon istrinya.

"Baiklah. Tapi kita sebentar saja. Kamu jangan berdiri lama-lama."

Athar meminta Yunus untuk menyiapkan mobil dan segera membantu Halwa berganti pakaian dengan dress yang sopan.

Sesampainya di rumah Afrain, suasana sudah ramai dipenuhi karangan bunga.

Banyak teman sekolah, guru, dan tetangga berkumpul.

Saat mobil mewah Athar berhenti, dan Athar keluar dari sisi pengemudi, semua mata tertuju pada mereka.

Athar membantu Halwa keluar dari mobil. Halwa berjalan pelan-pelan, dipapah oleh suaminya.

Kedatangan Halwa dan Athar, yang kini sudah berstatus resmi dan tampil di depan publik, mengejutkan semua orang.

Para guru dan teman sekolah menatap mereka dengan takjub dan berbisik-bisik.

Athar, dengan wajah serius, berjalan tegak menuju Kepala Sekolah, Bapak Hardiman, dan beberapa guru lain.

"Saya Athar Emirhan, suami Halwa. Saya turut berbelasungkawa atas wafatnya Ibu Dyah," ucap Athar, menjabat tangan Kepala Sekolah dan guru-guru lainnya satu per satu.

Ia memastikan semua orang di sana tahu bahwa Halwa datang sebagai Nyonya Emirhan.

Halwa menundukkan kepalanya dalam-dalam, mencoba mengabaikan tatapan semua orang.

Kemudian, matanya menangkap sosok Afrain. Afrain berdiri di dekat peti jenazah Ibunya, matanya sembab, wajahnya lelah, dan dipenuhi kesedihan yang mendalam.

Afrain melihat kedatangan Halwa, dan pandangannya bertemu dengan Halwa.

Matanya tidak lagi menunjukkan cinta atau cemburu, melainkan kebencian yang dingin.

Afrain hanya diam, tidak bergerak sedikit pun, membiarkan kebencian itu menjadi jarak tak terlihat yang memisahkan mereka.

Halwa tahu, ia tidak akan pernah bisa meminta maaf secara langsung.

Setelah memberikan penghormatan terakhir dan menguatkan hati Halwa, Athar mengajaknya meninggalkan rumah duka.

Athar menyadari Halwa sudah terlalu lelah dan rapuh.

Saat Athar membantu Halwa kembali ke mobil, Bapak Hardiman, Kepala Sekolah, menghampiri mereka.

"Tuan Athar, saya mohon maaf mengganggu di saat seperti ini," ucap Pak Hardiman dengan nada hormat dan sedikit cemas.

"Bisakah besok Anda datang ke sekolah bersama Halwa? Ada beberapa hal penting yang perlu kami bicarakan terkait status Halwa sebagai siswa. Terutama setelah konferensi pers kemarin."

Halwa menoleh ke arah Athar dengan wajah khawatir.

Athar menganggukkan kepalanya, wajahnya tenang namun tegas.

"Baik, Pak Hardiman. Saya akan datang. Jam berapa?"

"Jam sembilan pagi, Tuan. Saya tunggu di ruang kepala sekolah," jawab Pak Hardiman.

"Baiklah." Athar kemudian membantu Halwa masuk ke mobil.

Mereka kembali ke rumah sakit. Halwa langsung dibantu perawat untuk beristirahat.

Setelah makan malam dengan porsi yang lebih banyak dari biasanya, Halwa merasa sangat mengantuk. Ia akhirnya tertidur pulas, kelelahan fisik dan mental setelah kejadian hari ini.

Athar memastikan selimut Halwa tersampir dengan baik.

Ia duduk di sofa, mengambil laptopnya. Meskipun masih di rumah sakit, Athar mulai menyiapkan beberapa surat penting yang akan ia gunakan besok di sekolah.

Ia menyusun surat pernyataan resmi dari perusahaan dan legal standing Halwa sebagai istri, serta surat pengunduran diri jika sekolah tetap bersikeras mencabut status siswi Halwa.

Athar tidak akan membiarkan istrinya dipermalukan, tetapi ia juga tidak akan membiarkan masalah kecil ini mengganggu istrinya. Ia sudah siap untuk segala kemungkinan.

Keesokan paginya, Halwa dan Athar sudah siap. Athar mengenakan setelan jas abu-abu, sementara Halwa memakai blus dan celana panjang yang sopan, wajahnya sudah dirias tipis oleh Athar agar terlihat segar.

Dokter datang untuk pemeriksaan terakhir.

"Kondisi Nyonya Halwa sudah stabil. Saya perbolehkan pulang hari ini, Tuan Athar. Namun, Nyonya Halwa harus banyak istirahat. Hindari stres dan aktivitas berat selama beberapa hari ke depan," pesan dokter dengan tegas.

"Terima kasih, Dokter. Saya pastikan itu," jawab Athar.

Athar segera melajukan mobilnya menuju ke sekolah Halwa.

Sepanjang perjalanan, Athar menggenggam tangan Halwa, memberikan kekuatan.

Sesampainya di sekolah, Athar memarkir mobilnya di tempat khusus.

Ia memapah Halwa yang masih berjalan perlahan.

Mereka langsung menuju ke ruang Kepala Sekolah, Bapak Hardiman.

Mereka berdua duduk di sofa yang sudah disiapkan.

Wajah Pak Hardiman terlihat tegang dan serba salah.

Athar tanpa basa-basi mengeluarkan map cokelat dan memberikan surat resmi pernikahan mereka kepada Kepala Sekolah.

"Ini adalah bukti sah pernikahan kami," ucap Athar datar.

Pak Hardiman menerima surat itu, membaca sekilas, lalu menghela napas panjang. Ia meletakkan surat itu kembali di meja.

"Tuan Athar, Nyonya Halwa, saya sungguh minta maaf. Kami sangat menyayangkan kejadian ini," ujar Pak Hardiman dengan nada hati-hati.

"Namun, sesuai dengan peraturan yayasan kami, status Nyonya Halwa yang sudah menikah, apalagi dengan pengumuman publik yang begitu besar, sangat sulit untuk dipertahankan sebagai siswi di sini. Kami harus menjaga reputasi sekolah. Dengan berat hati, kami memutuskan bahwa Halwa tidak bisa sekolah lagi di sini."

Halwa menahan air matanya. Ia sudah tahu konsekuensinya sejak ia menikah, tetapi mendengar keputusan itu secara langsung tetap menyakitkan. Ia menundukkan kepala.

"Saya mengerti, Pak Hardiman," bisik Halwa pelan.

"Kami persilakan Nyonya Halwa untuk mengambil barang-barang miliknya di loker dan kelas," lanjut Pak Hardiman.

Athar mengangguk dingin. Ia berdiri dan membantu Halwa.

Saat Halwa masuk ke dalam kelas, ia disambut keheningan. Nisa, yang sudah tahu, langsung berlari dan memeluk Halwa dengan erat.

"Aku akan merindukanmu, Hal. Kita tetap akan bertemu, kan?" bisik Nisa.

Halwa membalas pelukan itu. "Tentu saja, Sa. Aku akan menghubungimu."

Dinda, yang melihat adegan itu dari sudut kelas, tidak bisa menahan dirinya.

"Akhirnya pergi juga. Tidak tahu malu! Gara-gara dia, Afrain kehilangan ibunya. Dia itu jahat!"

Mendengar cibiran Dinda, Halwa mengepalkan tangannya.

Namun, kali ini ia memilih untuk menghela napas panjang dan mengabaikannya. Ia tidak mau lagi terlibat dalam drama ini.

Halwa mengambil buku dan barang-barang miliknya, lalu berpamitan pada Nisa dan teman-teman lainnya.

Kemudian ia kembali ke ruang Kepala Sekolah.

Athar sudah menunggu. Ia berdiri, mengambil tas Halwa.

"Ayo, kita pulang, Sayang."

"Hal, barang-barangmu sudah lengkap?" tanya Pak Hardiman.

"Sudah, Pak. Terima kasih untuk semuanya," jawab Halwa.

Di dalam mobil, Halwa menatap kosong ke arah gerbang sekolah yang kini ia tinggalkan.

"Jangan sedih, Hal," ucap Athar sambil menggenggam tangan Halwa.

"Aku sudah menyiapkan semuanya. Kamu akan melakukan home schooling di rumah. Aku sudah menghubungi guru privat terbaik yang akan datang setiap hari. Pendidikanmu tidak akan terputus. Bahkan, kamu akan lulus lebih cepat."

Halwa menatap Athar. "Kamu sudah menyiapkannya?"

"Tentu saja. Aku suamimu. Kewajibanku. Sekarang, tidak ada lagi yang bisa memisahkanmu dariku, dan tidak ada lagi yang berani menghinamu di sekolah." Athar tersenyum tipis.

Sementara itu, di rumah duka, Afrain masih tenggelam dalam kesedihan dan dendam, tidak menyadari bahwa Halwa sudah meninggalkan tempat yang menjadi awal dari pertemuan mereka.

1
November
lanjut
My 78
di tunggu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!