Di balik gunung-gunung yang menjulang,ada dunia lain yang penuh impian. Dunia Kultivator yang mampu mengendalikan elemen dan memanjangkan usia. Shanmu, seorang pemuda desa miskin yang hidup sebatang kara, baru mengetahuinya dari sang Kepala Desa. Sebelum ia sempat menggali lebih dalam, bencana menerjang. Dusun Sunyi dihabisi oleh kekuatan mengerikan yang bukan berasal dari manusia biasa, menjadikan Shanmu satu-satunya yang selamat. Untuk mencari jawaban mengapa orang tuanya menghilang, mengapa desanya dimusnahkan, dan siapa pelaku di balik semua ini, ia harus memasuki dunia Kultivator yang sama sekali asing dan penuh bahaya. Seorang anak desa dengan hati yang hancur, melawan takdir di panggung yang jauh lebih besar dari dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ancaman yang Diatasi
Setelah kejadian aneh dengan Lady Lanxi, Tuan Yao kembali memegang sapunya. Namun, sebagian pikirannya masih terganggu oleh tingkah polos Shanmu dan perhatian tak terduga dari murid sekte yang terpandang itu. Ia mulai menyapu lagi, berusaha kembali ke ritme biasanya, menggoyangkan pinggulnya dengan lagu rakyat untuk menenangkan diri.
Shanmu, yang telah diperingatkan untuk bekerja pelan-pelan, berusaha keras untuk mengikuti instruksi. Ia memperhatikan gerakan Tuan Yao dengan saksama. Ia melihat bagaimana sapu itu diayunkan dengan halus, bagaimana tubuh Tuan Yao bergerak mengalir seperti air, lembut dan efisien. Sepertinya kuncinya adalah kelembutan dan ketenangan, pikir Shanmu.
Dengan tekad untuk meniru, Shanmu mulai bergoyang-goyang kecil, mencoba melonggarkan otot pinggulnya yang biasanya tegang. Ia juga mulai bersenandung, sebuah melodi tanpa kata yang ia ciptakan sendiri, dipenuhi oleh kegembiraan. Pikirannya melayang pada tawaran sepuluh koin emas dari Lanxi, ditambah sepuluh koin emas dari gaji menyapu hari ini. Dua puluh koin emas dalam satu hari! Itu adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Semangatnya membuncah, begitu meluap hingga hampir tak terbendung.
Ia memulai menyapu, berusaha untuk pelan. Tapi energi yang menggelegak dalam dirinya mencari jalan keluar. Tanpa disadari, goyangan pinggulnya yang awalnya kecil mulai berubah. Lagu hum-nya menjadi lebih ritmis. Dan kemudian, seperti mekanisme pegas yang dilepaskan, tubuhnya berputar.
Bukan putaran biasa. Ia berputar seperti gasing raksasa yang diluncurkan dengan kekuatan penuh. Sapunya menjadi perpanjangan dari pusaran itu, menyapu bersih setiap partikel debu, setiap helai daun kering dalam radius beberapa meter hanya dalam satu putaran. Dan ia tidak berhenti. Dengan kecepatan yang mengaburkan pandangan, ia melesat meninggalkan halaman depan, masuk ke pelataran sekte yang luas.
Di pelataran, beberapa murid sedang berlatih. Mereka hanya merasakan hembusan angin kuat yang tiba-tiba, menyapu rambut dan pakaian mereka, lalu lenyap begitu saja. Mereka saling pandang, bingung. "Angin apa tadi?" gumam salah satunya. Mereka tidak melihat apa-apa, hanya merasakan adanya gangguan udara yang aneh.
Shanmu, dalam keadaan setengah sadar karena kecepatan dan fokusnya, membersihkan seluruh pelataran dalam sekejap, lalu berputar balik dan kembali ke posisinya semula di halaman depan. Semua terjadi dalam hitungan napas. Begitu kembali, ia segera mengerem, kembali ke posisi menyapu pelan-pelan, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Napasnya bahkan tidak terengah-engah.
Tuan Yao, yang baru saja berbalik untuk menyapu area di belakangnya, menghentikan langkahnya. Matanya menyapu halaman depan yang sudah bersih mengkilap. Ia lalu menoleh ke arah Shanmu yang tampak sedang asyik menyapu sebuah sudut dengan gerakan yang 'dipelankan'.
Kali ini, Tuan Yao tidak bingung. Ia tahu. Ia benar-benar tahu. Ia berjalan kembali menemui Shanmu, yang dengan polosnya melihat ke arahnya.
"Sudah siap?" tanya Tuan Yao, berusaha terdengar biasa. "Ayo kita ke pelataran."
Shanmu mengangguk patuh dan mengikuti.
Kemudian, dengan perasaan tidak enak, ia berjalan ke pelataran. Sesampainya di pelataran yang sudah bersih sempurna, Tuan Yao hanya bisa menepuk dahinya sendiri, merasa campur aduk antara kagum dan frustrasi. "Sudahlah. Ayo kita ke halaman belakang."
Di halaman belakang, setidaknya, masih ada pekerjaan yang tersisa. Dedaunan kering yang jatuh sejak kemarin masih berserakan, meski jauh lebih sedikit karena 'pembersihan ekstrem' Shanmu sebelumnya. Tuan Yao menghela napas lega. Akhirnya ada sesuatu yang bisa ia lakukan tanpa merasa tidak berguna. Mereka pun mulai menyapu bersama, dengan Shanmu kali ini benar-benar berusaha memperlambat diri.
Waktu berlalu dengan tenang. Tepat pukul sepuluh pagi, pekerjaan mereka sudah selesai. Mereka berjalan menuju bangunan administrasi untuk mengambil gaji. Saat memasuki ruangan, atmosfer langsung terasa berbeda. Di salah satu sudut, berdiri Tuan Muda Leng Zuan. Matanya yang dingin dan penuh kebencian menancap tajam pada Shanmu, bagai dua bilah belati yang ingin menguliti kulitnya. Namun, Shanmu, dengan patuh pada aturan Tuan Yao, hanya menundukkan kepalanya dan terus mengikuti langkah Tuan Yao, seolah-olah tidak merasakan tatapan beracun itu.
Di depan meja Diaken He, sang Diaken kali ini tidak banyak bicara. Wajahnya masih menyimpan sisa keheranan dan ketidakpercayaan dari kejadian kemarin. Ia memandang mereka tajam, seolah-olah mencoba menemukan trik atau alat bantu kultivasi tersembunyi. Namun, setelah beberapa saat diam, ia hanya menghela napas, terlalu lelah untuk berdebat lagi. Dengan gerakan enggan, ia mengeluarkan dua tumpukan koin emas, dua puluh koin total, dan mendorongnya ke arah Tuan Yao.
"Ambil dan pergi," gumam Diaken He, memalingkan wajah.
Tuan Yao dengan cepat mengambilnya, memberikan sepuluh koin kepada Shanmu, lalu mengucapkan permisi dengan sopan sebelum menarik Shanmu keluar dari ruangan itu. Mereka bergegas mengembalikan perlengkapan ke gudang, lalu berjalan keluar dari gerbang sekte.
Di gerbang, Tuan Yao berpaling pada Shanmu. "Kau pulang sendiri saja hari ini. Aku ada urusan harus menemui seorang rekan di bagian kota lain."
Shanmu mengangguk mengerti. "Baik, Tuan Yao. Hati-hati di jalan."
Shanmu lalu berbalik, menggenggam erat bungkusan bekalnya yang belum sempat dimakan dan koin emas di sakunya, lalu berjalan menuju penginapan dengan langkah riang dan ringan. Dunia terasa cerah dengan dua puluh koin emas di depan mata.
Sesampainya di Penginapan Bintang Senja, Shanmu langsung menyapa Paman Gong yang sedang membersihkan konter. "Paman, saya sudah kembali!"
Paman Gong menoleh, senyum lebar menghiasi wajahnya yang keriput. "Lho, sudah selesai lagi jam segini? Kau ini benar-benar pekerja keras, Nak." Suaranya penuh kekaguman dan sedikit geli.
Shanmu hanya mengangguk sambil tersenyum cerah. Paman Gong kemudian mengajaknya untuk makan siang bersama di ruangannya. Shanmu setuju dengan senang hati.
Di meja makan, sambil menyantap hidangan sederhana namun lezat, Paman Gong bertanya tentang hari Shanmu. Dengan antusias, Shanmu menceritakan semuanya, tentang tatapan Leng Zuan yang mengancam, juga kekerasan yang dilakukannya, pemberian gaji oleh Diaken He, dan yang paling menarik, pertemuannya dengan Lanxi serta janji untuk menemaninya sore nanti dengan upah sepuluh koin emas.
Paman Gong mendengarkan dengan saksama, wajahnya berseri-seri saat mendengar tentang tawaran Lanxi. "Wah, itu keberuntungan yang besar, Shanmu! Nona Lanxi bukan sembarangan orang. Tapi..."
Ekspresinya berubah serius saat mengingat bagian pemukulan oleh Leng Zuan. "Tentang pukulan Tuan Muda Leng tadi... apa ada lukanya? Perlu diobati? Paman punya salep obat yang bagus."
Shanmu menggelengkan kepala, senyum tulus dan ceria tak pudar dari wajahnya. "Tidak apa-apa, Paman. Saya baik-baik saja. Rasanya sudah hilang."
Dan itu benar. Tubuhnya yang tangguh telah menyerap dan memulihkan dampak pukulan Qi itu dengan cepat, jauh lebih cepat dari manusia biasa.
Paman Gong menghela napas, campur aduk antara lega dan takjub. "Baiklah, jika kau bilang begitu. Tapi tetap hati-hati, ya. Orang seperti dia... biasanya tidak berhenti hanya dengan sekali."
Shanmu mengangguk dan mereka pun melanjutkan makannya. Setelah makan, Shanmu kembali ke kamar mewah barunya untuk beristirahat beberapa jam sebelum janji jam tiga sore. Ia berbaring di ranjang empuk, memandang langit-langit, menghitung koin emas dalam pikirannya. Dua puluh hari ini. Ditabung dengan baik. Suatu hari nanti...
Tepat pukul dua, ia terbangun. Ia segera mencuci muka dengan air dingin, menyegarkan diri, lalu keluar kamar. Di depan konter, ia berpamitan dengan hormat pada Paman Gong.
"Paman, saya pergi menemui Nona Lanxi."
"Pergilah, Nak. Jaga sopan santun dan... tetap waspada," pesan Paman Gong, matanya penuh perhatian.
Shanmu mengangguk, lalu melangkah keluar. Ia melewati lorong-lorong penginapan yang tenang, lalu memasuki hiruk-pikuk jalanan Kota Lama. Suasana kota hari ini berbeda. Jalanan lebih ramai dari biasanya, dipenuhi orang-orang yang bersiap untuk pelelangan besar yang akan datang. Suara dari tawar-menawar, teriakan pedagang, dan obrolan tentang lot lelang yang berharga memenuhi udara. Shanmu tidak terlalu memedulikannya.
Tujuannya jelas, Sekte Langit Biru.
Sesampainya di gerbang sekte yang megah, ia berdiri menunggu di tempat yang sama seperti pagi tadi. Menit demi menit berlalu. Hampir satu jam ia menunggu dengan sabar, tidak menunjukkan tanda-tanda gelisah. Ia terbiasa menunggu.
Tiba-tiba, dari balik gerbang, dua sosok familiar muncul. Dua murid yang merupakan anak buah Leng Zuan. Mereka berbisik-bisik, mata jahat mereka tertuju pada Shanmu. "Ini saat yang tepat," bisik salah satunya. "Tidak ada yang lihat. Kita harus melaksanakan tugas yang diberikan Tuan Muda."
Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih dekat, sebuah aura dingin yang menekan tiba-tiba menyelimuti area itu. Seperti embun beku di tengah musim panas. Nona Lanxi berjalan keluar dari gerbang, melewati mereka tanpa sekalipun memandang. Suaranya, rendah namun penuh wibawa dan ancaman yang tak terbantahkan, mengiris udara.
"Jika kalian berani menyentuhnya, kalian akan mengalami hal yang jauh lebih buruk daripada apa yang kalian rencanakan untuknya."
Kedua murid itu membeku. Darah mereka seolah membeku di pembuluh. Mereka tahu reputasi Nona Lanxi. Dia tidak pernah mengancam tanpa maksud serius. Dan kekuatannya, serta latar belakang keluarganya, membuat ancaman itu sangat, sangat nyata. Mereka gemetar, lalu dengan cepat berbalik dan melarikan diri, menghilang ke dalam kompleks sekte.
Shanmu, yang tidak menyadari percakapan singkat yang menyelamatkannya itu, baru menoleh ketika merasakan kehadiran Lanxi. Wajahnya langsung berseri saat melihatnya. Ia melambaikan tangan dengan riang.
Lanxi tersenyum, ekspresi dinginnya mencair menjadi kelembutan saat mendekati Shanmu. "Maaf membuatmu menunggu lama," ucapnya. "Tadi ada latihan tambahan yang diberikan guruku."
Shanmu menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak apa-apa, Lanxi. Lagi pula, aku sengaja datang lebih cepat." Itu adalah kebenaran. Ia memang selalu memilih untuk menunggu daripada berisiko terlambat.
Lanxi mengangguk, senang dengan kesabaran dan ketulusannya. "Baiklah. Kalau begitu, temani aku ke Kota Lama untuk mengikuti pelelangan. Apa kau siap?"
Mendengar kata 'pelelangan', ingatan Shanmu langsung melayang pada percakapan yang ia dengar kemarin sore tentang Batu Jiwa Emas dan keluarga dari ibukota. Rasa antusiasme yang berbeda, bukan karena uang, tetapi karena ingin melihat seperti apa dunia di luar lingkupnya, menyala di matanya.
"Baik, Lanxi. Aku siap menemani," jawabnya dengan tegas.
Sebuah senyum lembut yang tulus menghiasi bibir Lanxi. "Ayo."
Dan dengan itu, Shanmu, si tukang sapu dengan kekuatan tersembunyi dan hati yang polos, berjalan berdampingan dengan Nona Lanxi, seorang murid sekte yang cantik dan misterius, meninggalkan gerbang Sekte Langit Biru dan menuju ke jantung keramaian serta intrik Kota Lama. Perjalanan menuju pelelangan pun dimulai.