Rania Vale selalu percaya cinta bisa menembus perbedaan. Sampai suaminya sendiri menjadikannya bahan hinaan keluarga.
Setelah menikah satu tahun dan belum memiliki anak, tiba-tiba ia dianggap cacat.
Tak layak, dan tak pantas.
Suaminya Garren berselingkuh secara terang-terangan menghancurkan batas terakhir dalam dirinya.
Suatu malam, setelah dipermalukan di depan banyak orang, Rania melarikan diri ke hutan— berdiri di tepi jurang, memohon agar hidup berhenti menyakitinya.
Tetapi langit punya rencana lain.
Sebuah kilat membelah bumi, membuka celah berisi cincin giok emas yang hilang dari dunia para Archeon lima abad lalu. Saat Rania menyentuhnya, cincin itu memilihnya—mengikatkan nasibnya pada makhluk cahaya bernama Arven Han, putra mahkota dari dunia lain.
Arven datang untuk menjaga keseimbangan bumi dan mengambil artefak itu. Namun yang tak pernah ia duga: ia justru terikat pada perempuan manusia yang paling rapuh…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rania di temukan
Tanpa kata, sosok itu menariknya mundur dari semak—perlahan, tapi tegas. Rania tidak melawan. Tidak bisa. Kakinya seperti kehilangan tulang.
Seketika ia terangkat dari tanah—Arven menggendongnya begitu saja, seolah Rania tidak lebih berat dari hembusan angin.
Rania mendongak, menatap rahang tegas dan hidung yang menjulang. “Kenapa kau ada di sini?” bisik Rania serak, kepalanya bergetar menahan tangis.
Arven menunduk menatapnya lama. Sorot matanya bukan marah—tapi terluka melihat Rania terluka.
“Kenapa berbohong? Kau bilang mau ke kafe,” ucap Arven lirih, sedikit getir. “Tapi aku menemukanmu di sini… mengintip sesuatu yang tak layak kau lihat.”
Rania menggigit bibir, menahan isak.
Arven menghela napas, lalu berkata dingin—lebih untuk menutupi rasa pedulinya yang memuncak.
“Kau menyiksa dirimu sendiri.”
Rania menangis pecah di d4da Arven, sementara Arven mempererat gendongannya dan menjauh dari tepian sungai, seolah menyingkirkan Rania dari mimpi buruk yang nyaris menelannya hidup-hidup.
“Aku hanya ingin mengambil tasku saja… aku tidak tahu ada mereka disana,” Jawab Rania sambil terisak.
Tiba-tiba tangannya meraih ujung kemeja Arven, dan membuang ingusnya disana—tanpa beban.
Arven terpaku. Tatapannya justru malah meredup, sedikit lebih lembut dari biasanya. Ia menahan napas sejenak, lalu dengan ragu-ragu mengangkat tangannya dan membelai kepala Rania seperti memperlakukan sesuatu yang sangat rapuh.
“Menangislah sampai puas,” ucapnya pelan. “Setelah itu… kau bisa kembali menjadi wanita galau lagi.”
BRAK!
Rania langsung bangkit, mendorong d4da bidang Arven seolah memukul tembok batu.
“Apa maksudmu?” desisnya, nyaris mencakar.
“Kau memanggil dirimu sendiri wanita galau,” jawab Arven enteng. “Dan aku setuju. Kau memang segalau itu.”
Rania menatap langit seolah ingin protes pada Tuhan. “Oh ya Tuhan… lepas dari pria penuh birahi, kini bertemu pria gila. Kau pikir galau itu apa?”
“Indah, bukan?” Arven menjawab cepat, penuh percaya diri. Mata beningnya menatap jauh ke dalam mata Rania yang masih bergetar luka—seolah berusaha memungut serpihan hatinya satu per satu.
“Lihatlah dirimu,” lanjut Arven tenang. “Kau sangat indah. Matamu bulat, hidungmu menjulang seperti gunung Cahaya. Senyummu sangat indah, tapi… galaumu berkurang saat matamu bocor.”
Rania ternganga.
“Hhhh! Aku nggak jadi nangis. Sudah—sudah! Aku mau pergi saja!”
Ia mutar badan, berjalan terburu-buru menyusuri jalan setapak, tumitnya mencacah tanah seperti balerina yang sedang marah.
Namun baru beberapa langkah—
“BERHENTI!”
Sebuah suara tegas menggema dari arah sungai. Rania membeku. Arven langsung menajamkan mata.
Seorang pria muncul dari balik semak, wajahnya terkejut melihat Rania berdiri di sana dengan gaun seksi dan heels tujuh senti—bersama pria asing.
“N-nyonya Rania?” ucapnya gugup.
Dalam hitungan detik, pria itu memanggil semua rekannya.
“Bos! Nyonya Rania di sini!”
Suara ramai bergema. Beberapa lelaki berseragam hitam berlari mendekat dari arah sungai.
Siera sedang asyik dengan permainannya, p1nggulnya bergerak pelan di atas p4ngkuan Garren. Namun tiba-tiba—
BRUK! BRUK!
Teriakan dan langkah panik terdengar dari luar. Mata Garren langsung membesar.
“Kau dengar itu? Rania… dia ditemukan!” serunya, dengan cepat mendorong tubuh mungil Siera dari pangkuannya tanpa ragu.
“Kakak!?” Siera terperanjat, hampir kehilangan keseimbangan. Duduk terbanting di kursi mobil, lalu menyentuh bibirnya yang tadi diciumi, tak percaya pria itu baru saja menyingkirkan dirinya… seolah ia hanyalah noda tak penting.
Wajahnya memerah bukan karena gairah—tapi amarah murni yang membakar sampai ke tenggorokannya.
Rania sialan! Bahkan sudah mati pun masih saja menggangguku! geramnya dalam hati.
Ia memukul-mukul kursi mobil, merapikan rambut dan bajunya yang kusut. Napasnya tersengal oleh rasa benci.
“Tidak mungkin wanita itu hidup lagi!” pekiknya, membanting tas hingga isinya tumpah berantakan di lantai mobil. Matanya melihat sekitar—mencari Garren. Namun pria itu sudah hilang dari pandangan.
Di tepi sungai—
Arven meraih tangan Rania dan menempatkannya ke belakang tubuhnya, seperti perisai kokoh yang lahir hanya untuk melindungi satu wanita itu seorang.
Anak buah Garren sudah mengepung mereka dari berbagai arah.
Tak lama, Garren muncul. Bajunya sedikit kusut karena terburu-buru, rambutnya berantakan, namun mata itu… mata itu langsung bergetar melihat Rania berdiri di sana—hidup, cantik, dan… tatapan yang aneh.
Seperti mimpi buruk dan mimpi indah yang menabrak dalam waktu bersamaan.
“Aku pikir aku kehilanganmu… sayang,” ucap Garren lirih. Suaranya pecah, seperti seseorang yang sudah dua hari bertahan tanpa oksigen.
Ia melangkah maju.
Namun Rania justru mundur. Tubuhnya gemetar, lalu jemari mungilnya mencengkeram erat gaun Luminer Arven, seolah pria asing itu adalah satu-satunya tempat selamat baginya.
Arven menoleh sebentar—hanya sepersekian detik. Tapi cukup membuat hatinya… membesar. Ada sesuatu yang terasa hangat, membengkak, dan menuntut perhatian.
*
Terima kasih sudah mengikuti kisah ini.
Jangan lupa kasih bintang terbaik dan ulasan manis ya. Setiap komentarmu adalah seperti percikan api yang bikin semangatku menyala untuk terus menulis.
Ayo, tulis pendapatmu, teorimu, atau bagian favoritmu_aku baca semuanya, lho!
aaah dasar kuntilanak
toh kamu yaa masih ngladeni si jalànģ itu