Kerajaan itu berdiri di atas darah, dusta, dan pengkhianatan.
Putri Mahkota yang logis dan penuh tanggung jawab mulai goyah ketika seorang tabib misterius menyingkap hatinya dan takdir kelam yang ia sembunyikan.
Putri Kedua haus akan kekuasaan, menjadikan cinta sebagai permainan berbahaya dengan seorang pria yang ternyata jauh lebih kuat daripada yang ia kira.
Putri Ketiga, yang bisa membaca hati orang lain, menemukan dirinya terjerat dalam cinta gelap dengan pembunuh bayaran yang identitasnya bisa mengguncang seluruh takhta.
Tiga hati perempuan muda… satu kerajaan di ambang kehancuran. Saat cinta berubah menjadi senjata, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19 : Aku Tidak Pernah Berharap
Arion terdiam ketika tiga pasang mata menatapnya bersamaan. Veyra kembali duduk di bangku taman, menyilangkan satu kaki di atas kaki yang lain. Ia menghela napas panjang, lalu berkata lirih namun tajam,
“Aku memang tidak mengerti urusan politik... tapi kenapa setiap kesalahan harus ditutupi dengan mencari pengganti, seolah-olah mereka tidak pernah bersalah?”
Yvaine menoleh padanya, suaranya tenang namun terdengar getir.
“Itu dilakukan demi menjaga nama baik kekuasaan. Namun kembali lagi pada setiap hukum di kerajaan ini… kadang pelaku yang sebenarnya dihukum secara pribadi, kadang juga dilepaskan dari kesalahannya.”
Lyanna yang sejak tadi terdiam akhirnya bersuara, nadanya tegas meski lembut.
“Kesalahan tetaplah kesalahan. Kita tidak bisa menutupinya hanya demi nama baik. Jika semua pemimpin bertindak seperti itu, bagaimana masyarakat akan percaya, kalau kebohongan atas kesalahan mereka sendiri saja tidak berani mereka akui?”
Veyra bangkit perlahan dari duduknya. Tatapannya kini menancap lurus ke arah Arion.
“Awalnya, aku hanya ingin mengungkit bagaimana kau pernah menyentuh Lyanna. Tapi... ternyata ada banyak hal lain yang ingin kutanyakan.”
Arion tetap membisu. Veyra melirik ke arah Yvaine, lalu kembali menghela napas berat.
“Percaya pada seseorang... sejujurnya aku tidak pernah berharap bisa melakukan itu. Terutama kepada orang sepertimu, Arion. Kau memang menolong, tapi sekaligus terlibat dalam pengalihan isu kerajaan. Bagiku, orang yang memegang dua wajah dalam hidupnya... tidak pantas dipercaya.”
Nada suaranya dingin ketika menambahkan,
“Mungkin aku sedikit berterima kasih karena kau menyelamatkan Lyanna. Tapi di luar itu, aku tidak bisa menghargai orang yang menyembunyikan kebenaran.”
Veyra lalu berbalik, melangkah tenang meninggalkan halaman istana. Arion tidak bergeming, matanya tetap menatap lurus ke depan tanpa ekspresi.
Lyanna menatap punggung adiknya yang menjauh. Sikap Veyra memang terkesan berlebihan dalam menilai orang, tapi di lubuk hatinya, Lyanna tahu adiknya memiliki alasan. Semua yang terjadi padanya membuatnya sulit lagi mempercayai siapa pun.
Perlahan, Lyanna menoleh ke arah Arion.
“Sudah lama aku ingin membicarakan hal ini denganmu lebih dulu. Tapi... semuanya sudah diucapkan oleh Veyra. Jadi... aku tak bisa menambahkan apa pun lagi.”
Ia pun ikut berbalik, melangkah menyusul Veyra. Arion hanya bisa menatap punggungnya hingga menghilang.
Hening beberapa saat sebelum Yvaine membuka suara.
“Kedua adikku... mereka memang membenci hukum yang tidak ditempatkan sebagaimana mestinya. Meski tidak pernah duduk di kursi kekuasaan, mereka bisa merasakan dampaknya.”
Arion menoleh pelan pada Yvaine, namun masih memilih diam. Yvaine hanya menanggapi dengan senyum tipis.
“Lakukan saja apa yang kau anggap benar selama berada di istana ini. Dan... terima kasih, Arion, karena sudah membawa kedua adikku kembali dengan selamat.”
Setelah Yvaine pergi meninggalkannya, Arion masih berdiri kaku di halaman itu. Hening menyelimuti udara ketika pandangannya kembali terarah pada pintu istana, tempat Lyanna terakhir kali menghilang.
Matanya tetap tenang, namun jemarinya mengepal erat di sisi tubuhnya. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya, tapi tidak pernah benar-benar ia tunjukkan keluar. Dengan suara rendah yang nyaris tak terdengar, ia bergumam,
“Jika mereka sudah mengetahuinya sejak awal... lalu kenapa mereka tetap mengizinkanku ikut?”
Kata-kata itu menguap begitu saja di udara, seolah hanya untuk dirinya sendiri. Arion terdiam lagi, menarik napas perlahan sebelum akhirnya memutuskan untuk berbalik pergi meninggalkan halaman istana.
Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok berdiri tak jauh darinya, tepat di dekat jendela batu yang dihiasi tirai tipis. Sosok itu menatapnya lekat, seakan sudah menunggu sejak tadi.
“Tuan Arion,” suara tenang itu terdengar, namun penuh arti, “apa kita bisa bicara?”