Niat hati ingin menghilangkan semua masalah dengan masuk ke gemerlap dunia malam, Azka Elza Argantara justru terjebak di dalam masalah yang semakin bertambah rumit dan membingungkan.
Kehilangan kesadaran membuat dirinya harus terbangun di atas ranjang yang sama dengan dosen favoritnya, Aira Velisha Mahadewi
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apakah hubungan mereka akan berubah akibat itu semua? Dan apakah mereka akan semakin bertambah dekat atau justru semakin jauh pada nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
Waktu menunjukkan pukul setengah delapan pagi, matahari secara perlahan-lahan mulai naik ke titik tertinggi di atas angkasa dengan memancarkan cahaya yang membuat setiap makhluk hidup merasakan kehangatan sangat tiada tara—mengusir sisa-sisa hawa dingin dari gelapnya malam beberapa jam lalu.
Suasana kota Jakarta pada pagi hari ini terlihat lebih lengang daripada biasanya. Jalan-jalan protokol tidak mengalami kemacetan sama sekali, membuat beberapa orang yang sedang melintas refleks mengukir senyuman tipis penuh akan kebahagiaan.
Di pinggir-pinggir jalan, terlihat para pedagang kaki lima tengah sibuk menyiapkan barang dagangannya, sembari sesekali melayani pembelian yang mulai berdatangan untuk sekadar membeli sarapan.
Meninggalkan kehidupan kota Jakarta, di dalam ruangan dapur sebuah apartemen mewah, kini terlihat sosok Aira tengah sibuk berkutat pada beberapa peralatan masak—membuat berbagai macam menu makanan yang akan dirinya nikmati sendiri pada pagi hari ini.
Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama, karena Aira refleks mematikan api pada kompor dan sesegera mungkin melangkahkan kaki menuju ke arah wastafel, saat tiba-tiba saja merasakan mual sangat luar biasa pada bagian perutnya.
Aira menggenggam tepi wastafel dengan kedua tangannya sangat erat, tubuhnya sedikit membungkuk ke arah depan. Napasnya mulai tersengal—panas, berat, dan terputus—saat rasa mual itu datang begitu sangat cepat seperti sebuah gelombang yang memaksa dirinya untuk mengeluarkan seluruh tenaga.
“Kenapa, sih … pagi-pagi gini udah begini …,” gumam Aira dengan begitu sangat lemas, sembari memejamkan mata sejenak guna berusaha menstabilkan napasnya yang masih sangat berantakan.
Beberapa detik kemudian, Aira berkumur pelan dan membasuh wajah cantiknya di bawah keran air, berharap sensasi dingin bisa sedikit meredakan rasa tidak enak yang sedang menyelimuti seluruh tubuhnya sekarang. Namun, itu tidak berlangsung lama, lantaran rasa pusing tiba-tiba mulai hadir dan menyerang kepalanya secara membabi-buta, membuat perempuan berparas cantik itu spontan meringis kesakitan sambil berusaha memberikan pijatan pada pelipisnya.
Aira berdiri di depan wastafel cukup lama—lebih lama daripada saat dirinya mencuci bahan-bahan makanan. Perutnya masih terasa melilit, tetapi ada sesuatu yang berbeda pada beberapa hari ini—karena sudah tiga hari rasa mual terus-menerus datang di jam yang sama.
“Aneh banget … aku nggak pernah kayak gini sebelumnya,” bisik Aira, mengalihkan pandangan ke arah kanan, menatap pantulan dirinya melalui bahan kulkas—wajahnya tampak sedikit pucat, bibir mungilnya memucat, dan mata indahnya terlihat lebih lelah daripada biasanya—padahal kemarin dirinya tidaklah melakukan aktivasi yang begitu sangat berat.
Detik demi detik berlalu, Aira menoleh ke arah tempat kompor berada, menatap makanan yang sedang dirinya masak di dalam wajan, lalu secara perlahan-lahan mulai melangkahkan kaki mendekat untuk melanjutkan aktivitasnya. Namun, itu tidak berlangsung lama, karena dirinya sesegera mungkin mengurungkan niat, kala rasa pusing kembali hadir dan menyerang kepalanya lebih menyakitkan daripada sebelumnya.
Aira mengerang cukup kencang, lantas dengan gerakan pelan dan penuh kehati-hatian mulai mendudukkan tubuh di atas kursi meja ruangan dapur. “Nggak bisa … rasanya benar-benar aneh banget. Aku nggak bisa beraktivitas sama sekali … Harus ke dokter … nggak bisa kayak gini terus … Yang ada nanti tambah parah ….”
Setelah menggumamkan akan hal itu, Aira dengan sisa tenaga yang ada mulai bangun dari atas tempat duduknya. Ia melangkahkan kaki dengan sangat gontai menuju ruangan kamarnya, sembari menggerakkan kedua tangan untuk memegang beberapa benda yang sedang dirinya lewatin—agar tubuhnya tidak kehilangan keseimbangan dan jatuh ke atas lantai ruangan.
“Semoga bukan penyakit yang parah ….”
•••
Waktu menunjukkan pukul setengah tiga sore, matahari yang sedari tadi menyinari dunia secara perlahan-lahan mulai turun ke ufuk barat, membuat para makhluk hidup mulai memberanikan diri untuk melaksanakan aktivitas di luar ruangan—kala suhu udara pelan-pelan berubah menjadi begitu sangat sejuk.
Di dalam sebuah ruangan putih yang terasa begitu sangat hening, terlihat sosok Aira sedang duduk di depan meja seorang dokter dengan wajah cantiknya masihlah terlihat begitu sangat pucat—padahal, dirinya telah tidur beberapa jam sebelum datang ke tempat ini.
Aira menggenggam erat jari-jemarinya yang mulai bergetar sangat hebat saat sedang menunggu hasil pemeriksaannya beberapa menit lalu. Ia beberapa kali menghirup udara segar sebanyak yang dirinya bisa dan mengembuskannya secara perlahan-lahan, berusaha menenangkan diri ketika berbagai macam delusi negatif mulai hadir dan berputar-putar di dalam benaknya.
Beberapa menit berlalu, atensi Aira seketika teralihkan ke arah belakang saat mendengar suara pintu masuk ruangan secara perlahan-lahan mulai terbuka. Dari tempatnya berada sekarang, Aira dapat melihat sosok seorang dokter perempuan paruh baya dengan jas putih yang begitu sangat rapi sedang masuk ke dalam, sembari membawa map berisikan hasil pemeriksaan laboratorium yang baru saja keluar.
Dokter perempuan itu mengukir senyuman manis penuh akan arti ke arah Aira, sembari melangkahkan kaki mendekati tempat sang pasien saat ini sedang berada. Ia mendudukkan tubuh di kursi kerjanya, menatap wajah cantik sang pasien beberapa saat, sebelum membuka map yang telah dirinya bawa.
Dokter itu sempat membaca beberapa lembar hasil pemeriksaan sebelum pada akhirnya mengangkat kepala, menatap wajah cantik Aira dengan sorot mata lembut yang dipenuhi oleh kehati-hatian.
Melihat tatapan yang sedang diberikan oleh dokter itu, membuat Aira kembali menelan air liur dengan begitu sangat susah payah—jantungnya berdetak lebih cepat daripada biasanya, seolah ingin melompat keluar dari dalam dada.
“Maaf membuat anda menunggu cukup lama, Mbak Aira,” ucap dokter perempuan itu, “Bagaimana? Sudah lebih tenang sekarang?”
Aira mengangguk pelan, meskipun jelas terlihat dari cara jari-jemarinya terus meremas satu sama lain bahwa dirinya tidak benar-benar dalam keadaan tenang. “Iya, Dok … sudah lumayan ….”
Dokter perempuan itu menganggukkan kepala paham, memaklumi hal yang sedang dilakukan oleh Aira. “Baik. Sekarang … kita bahas hasilnya, ya.”
Aira mengangguk pelan sebagai jawaban, lantas sedikit menegakkan posisi duduknya dengan mata indahnya terpaku pada setiap gerakan sang dokter, seolah hidup dan matinya berada di sana.
Dokter perempuan itu menarik satu lembar hasil pemeriksaan, meletakkannya di atas meja, lalu menggerakkan kursi agar sedikit lebih dekat ke arah Aira.
“Mbak Aira,” panggil Dokter itu dengan begitu sangat lembut, “Saya ingin kamu dengar ini semua dengan keadaan tenang.”
Aira hanya mampu mengangguk pelan sebagai jawaban, tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari sang dokter.
Dokter itu mengambil napas pelan. “Semua gejala yang kamu rasakan belakangan ini … mual, cepat lelah, sakit kepala, perubahan hormon … itu bukan penyakit berat seperti yang kamu takutkan.”
“Ma-maksud Dokter?” tanya Aira, dengan suara serak dan sedikit terbata-bata.
Dokter perempuan itu merekahkan senyumannya menjadi begitu sangat lembut, sebelum kembali membuka suara. “Kamu nggak sakit apa-apa, Mbak Aira … kamu sekarang sedang mengandung.”
Mendengar hal itu, membuat dunia Aira seketika membeku. Suara pendingin ruangan, detak jam dinding, bahkan napasnya sendiri seolah lenyap dari pendengarannya.
“A-apa?” bisik Aira nyaris tak terdengar, “Saya … h-hamil?”
“Iya. Usia kandungan Mbak sekitar empat minggu.”
Aira otomatis menutup bibir mungilnya menggunakan kedua tangan—mata cantiknya membesar, berkaca-kaca antara syok, takut, dan bingung yang bertabrakan menjadi satu-kesatuan.