Dikhianati oleh murid yang paling ia percayai, Asura, sang Dewa Perang, kehilangan segalanya. Tubuhnya musnah, kekuatannya hilang, dan namanya dihapus dari dunia para Dewa. Namun, amarah dan dendamnya terlalu kuat untuk mati.
Ribuan tahun kemudian, ia terlahir kembali di dunia fantasi yang penuh sihir dan makhluk mistis bukan lagi sebagai Dewa yang ditakuti, melainkan seorang bocah miskin bernama Wang Lin.
Dalam tubuh lemah dan tanpa kekuatan, Wang Lin harus belajar hidup sebagai manusia biasa. Tapi jauh di dalam dirinya, api merah Dewa Asura masih menyala menunggu saatnya untuk bangkit.
“Kau boleh menghancurkan tubuhku, tapi tidak kehendakku.”
“Aku akan membalas semuanya, bahkan jika harus menantang langit sekali lagi.”
Antara dendam dan kehidupan barunya, Wang Lin perlahan menemukan arti kekuatan sejati dan mungkin... sedikit kehangatan yang dulu tak pernah ia miliki.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumun arch, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penjaga Air
Kabut pagi berubah semakin tebal saat mereka semakin dekat ke arah timur. Suara burung tak terdengar, hanya gemuruh halus dari air yang mengalir entah dari mana.
Raga memegangi dadanya. “Kenapa udara di sini terasa... berat sekali?”
Wang Lin berhenti, menatap ke depan.
Kabut yang bergerak aneh seperti hidup, berputar mengikuti langkah mereka. Dari dalamnya, aroma air laut tercium kuat meski mereka berada jauh dari pantai.
“Dia sudah tahu kita datang,” ujar Wang Lin tenang.
“Dia... siapa?”
Sebelum Raga sempat menyelesaikan pertanyaannya, tanah di depan mereka bergetar hebat. Air keluar dari celah-celah batu, menyembur tinggi seperti air mancur raksasa, membentuk pusaran.
Dari dalam pusaran itu, muncul sosok tinggi berjubah biru. Rambutnya panjang, mengalir seperti ombak, dan di matanya berkilau warna laut yang dingin.
Wajahnya tenang... tapi hawa di sekelilingnya menekan seperti lautan yang bisa menelan apa saja.
“Wang Lin,” suaranya bergema dalam nada rendah dan berwibawa.
“Api-mu membangunkan dunia yang seharusnya tetap tidur.”
Wang Lin menatapnya tanpa gentar.
“Jadi kau Penjaga Air.”
Sosok itu mengangguk ringan. “Orang-orang dulu memanggilku Varuna, sang penyeimbang. Dan tugasku sama seperti dulu: memadamkan apimu sebelum dunia terbakar lagi.”
Raga melangkah mundur satu langkah. “Tunggu—kita tidak berniat—”
Namun Varuna hanya mengangkat tangan. Air di sekeliling mereka langsung bergetar dan membentuk dinding besar, mengurung mereka di dalam lingkaran.
Wang Lin menghela napas. “Selalu saja begini... tidak ada yang ingin bicara dulu sebelum saling membunuh.”
Varuna menatapnya tajam. “Kau tahu lebih dari siapa pun bahwa kata-kata tidak bisa memadamkan api Asura.”
Wang Lin tersenyum kecil. “Mungkin karena dulu aku terlalu sombong.”
Api merah menyala di matanya.
“Tapi sekarang... aku hanya ingin tahu, apakah dunia benar-benar masih takut pada apiku?”
Air bergolak hebat, berubah menjadi gelombang setinggi pohon.
Raga menjerit kecil dan mundur lebih jauh, sementara Wang Lin berdiri diam api biru muda mulai membungkus kedua tangannya.
Varuna mengangkat tangan. “Kalau begitu, buktikan padaku. Apakah bara itu masih bisa menyala... tanpa membakar segalanya.”
Gelombang pertama menghantam tanah, suara ledakannya mengguncang hutan. Wang Lin mengayunkan tangannya, memecah air dengan semburan api panas. Uap langsung menyelimuti seluruh tempat.
Kabut berubah menjadi awan putih pekat.
Dua sosok itu kini tak terlihat, hanya cahaya merah dan biru yang saling berbenturan di dalam kabut.
Raga hanya bisa berteriak dari kejauhan,
“Wang Lin! Jangan mati, oke?! Aku belum siap melawan penjaga yang lain sendirian!”
Suara Wang Lin terdengar samar di tengah badai:
“Tenang saja, aku belum selesai hidup, Raga!!”
Uap panas dan air terus bertarung, menciptakan pelangi singkat di udara.
Dan di tengah ledakan cahaya itu, suara Wang Lin terdengar pelan tapi tegas:
“Aku tidak akan memadamkan apiku... tapi aku juga tidak akan membakar dunia lagi!”
Suara air dan api bertabrakan di udara, menghasilkan letupan yang membutakan. Tanah berguncang, pepohonan tercabik, dan udara menjadi berat oleh uap panas.
Wang Lin berdiri di tengah pusaran, napasnya terengah.Api di tangannya mulai melemah, tapi matanya masih menyala.
Varuna melayang di atas air yang berputar cepat, menatapnya dengan sorot dingin.
“Api-mu kuat, Asura. Tapi kekuatan tanpa kendali tetaplah bencana.”
Wang Lin mengusap darah di bibirnya dan tersenyum samar.
“Lucu. Dulu aku sering bilang hal yang sama pada musuh-musuhku.”
Gelombang besar muncul lagi, kali ini dari segala arah. Air itu seperti memiliki kehendak, menutup rapat setiap ruang gerak Wang Lin.
Raga berteriak dari kejauhan, “Wang Lin! Di belakangmu!”
Namun Wang Lin hanya menutup matanya sejenak, menarik napas panjang.Lalu, dalam satu gerakan, api meledak dari tubuhnya bukan merah seperti biasa, tapi biru pucat, seperti nyala yang tenang tapi tajam.
Air yang mengurungnya langsung menguap seketika.
Varuna sempat menutup wajahnya, terlambat menyadari perubahan itu.
"Api biru…” gumamnya. “Kau telah mengubah esensinya.”
Wang Lin menatapnya dengan tenang.
“Aku tidak ingin menghancurkan dunia. Aku hanya ingin menyeimbangkannya kembali.”
Varuna menurunkan tangannya perlahan.
Air di sekitarnya mulai mereda, berubah menjadi butiran hujan kecil yang jatuh tenang ke tanah.
“Aku tidak mengerti,” katanya pelan. “Kenapa... seorang Asura bisa berkata seperti itu?”
Wang Lin tersenyum lelah. “Karena aku sudah mati sekali.”
Ia menatap langit, yang kini mulai cerah setelah badai. “Dan aku sadar... membakar dunia tidak pernah membuat api ini tenang.”
Hening. Hanya suara air menetes dari ranting dan batu.
Varuna menatapnya lama, seolah mencari kebohongan di mata Wang Lin tapi yang ia lihat hanyalah ketulusan aneh, sesuatu yang tak pernah ia duga dari Dewa Asura.
Perlahan, ia menurunkan tangannya sepenuhnya.
“Kalau begitu, mungkin... dunia memang berubah.”
Tapi sebelum Wang Lin sempat menjawab, langit bergetar pelan. Sebuah suara bergema, bukan dari bumi tapi dari langit tinggi yang diselimuti awan.
“Penjaga Air… kau terlalu lembut.”
Wang Lin menoleh cepat.
Kilatan cahaya keemasan melintas di antara awan. Lalu, seberkas sinar jatuh menembus hutan, membelah pepohonan dengan sempurna.
Varuna menatap ke atas dengan wajah tegang. “Tidak... mereka datang terlalu cepat.”
Wang Lin menyipitkan mata. “Mereka?”
Sinar itu memadat, membentuk sosok berzirah putih dengan sayap emas di punggungnya.
Tatapan tajam menembus udara. Suaranya bergema seperti guruh:
“Aku, Penjaga Langit, datang untuk menegakkan kembali hukum para Dewa.”
Raga langsung berbisik panik, “Astaga... kita baru selesai satu, sekarang datang lagi satu?”
Wang Lin tersenyum miring, menatap sosok bersayap itu.
“Sepertinya dunia memang tak suka memberiku waktu istirahat.”
Api biru kembali menyala di tangannya — kali ini bukan karena amarah, tapi karena tekad.
“Kalau begitu... mari kita buktikan siapa yang benar-benar layak menjaga dunia ini.”
Api dan cahaya bertemu di udara, menyalakan langit pagi dengan ledakan dahsyat tanda bahwa pertempuran yang sesungguhnya baru saja dimulai.
Ledakan cahaya itu mengguncang seluruh lembah.
Raga sampai terjatuh ke tanah, menutupi wajahnya dari semburan panas yang memancar.
“Wang Lin! Kau masih hidup, kan?!” teriaknya putus asa.
Asap tebal menutupi pandangan.
Tiba-tiba, dua cahaya beradu di tengah langit satu biru, satu keemasan. Suara logam beradu terdengar keras, disusul dengan semburan energi yang membuat udara bergetar.
Wang Lin melayang di udara, kedua tangannya menyala dengan api biru yang berputar seperti pusaran. Di hadapannya, sosok bersayap emas melayang tanpa emosi, memegang tombak bercahaya.
“Jadi kau benar-benar hidup kembali, Asura,” suara Penjaga Langit terdengar datar tapi menusuk.
“Langit telah memutuskan. Keberadaanmu harus dihapus.”
Wang Lin menyeringai kecil. “Lucu. Dulu aku juga dengar kalimat itu sebelum kalian menurunkanku dari surga.”
Tombak emas meluncur cepat, menembus kabut dan udara. Wang Lin menangkis dengan semburan api, menciptakan ledakan besar yang membuat langit bergetar.
Varuna, yang masih berdiri di bawah, menatap dengan ekspresi berat.
“Dia belum siap... kekuatannya belum sepenuhnya pulih,” gumamnya.
Raga menatapnya panik. “Kalau begitu bantu dia, dong! Kau kan Penjaga Air!”
Varuna hanya menggeleng pelan. “Pertarungan ini bukan milikku, anak muda. Ini adalah ujian antara langit dan api.”
Sementara itu, di langit, Wang Lin mulai terdesak.
Setiap serangan Penjaga Langit terasa presisi, seolah membaca gerakannya sebelum ia sempat bereaksi.
Api birunya memang kuat, tapi... belum cukup.
Tombak emas menghantam dadanya keras, membuat Wang Lin terpental jauh dan menghantam batu besar.
Darah menetes di bibirnya.
Penjaga Langit menurunkan tombaknya perlahan.
“Lihatlah dirimu, Asura. Dulu kau bergetar memerintah dunia. Kini kau bahkan tidak bisa berdiri tanpa terbakar oleh apimu sendiri.”
Wang Lin menatap tanah, napasnya berat... tapi senyumnya tetap muncul.
“Kalau begitu... mungkin aku sedang belajar jadi manusia.”
Cahaya api biru di tubuhnya tiba-tiba berubah lebih terang, tapi kali ini tak mengamuk.
Menyala lembut, seperti nyala lilin yang tenang — tapi stabil.
“Kau tahu,” ucap Wang Lin pelan, “api tidak hanya membakar... api juga menerangi.”
Penjaga Langit sempat terdiam sejenak.
Dan saat itulah, kilatan pedang melintas dari sisi kanan — cepat, tajam, hampir tanpa suara.
CLANG!
Tombak emas tertahan oleh bilah pedang perak panjang. Sosok berambut perak berdiri di antara mereka, gaun putihnya berkibar oleh hembusan angin.
Lianhua.
Tatapannya dingin, tapi suaranya tegas.
“Cukup. Pertarungan ini tidak seharusnya terjadi di sini.”
Penjaga Langit menatapnya tajam. “Lianhua, kau berpihak pada Dewa Asura?”
“Aku berpihak pada kebenaran,” jawabnya cepat. “Dan kebenaran hari ini... bukan seperti yang kalian pikirkan.”
Wang Lin memandangnya dalam diam, masih menahan napas di sela luka. Ia ingin bicara, tapi Lianhua menatapnya singkat dan menggeleng pelan tanda agar ia diam.
Penjaga Langit menatap keduanya dengan sorot tajam, tapi akhirnya menurunkan tombaknya sedikit.
“Baiklah,” ujarnya dingin. “Aku akan menunggu. Tapi ingat, Lianhua… saat langit memanggil, tak ada yang bisa menolak.”
Ia mengepakkan sayapnya dan menghilang ke balik awan, meninggalkan riak cahaya di udara.
Begitu suasana tenang kembali, Lianhua menoleh pada Wang Lin.
Tatapannya lembut, tapi suaranya menekan.
“Kalau kau ingin hidup... sekarang saatnya kau mulai mempercayai seseorang selain dirimu sendiri.”
Wang Lin menatapnya lama, lalu tertawa kecil meski darah masih mengalir di bibirnya.
“Percaya, ya? Hah... sepertinya itu lebih sulit daripada melawan dewa.”
Lianhua tersenyum tipis. “Dan itulah kenapa aku datang. Untuk membuatmu mencoba.”
Ia mengulurkan tangannya pada Wang Lin.
“Bangkitlah, Asura. Dunia belum selesai denganmu.”
Wang Lin menatap tangan itu beberapa detik… lalu perlahan menggenggamnya.
Untuk pertama kalinya, api Asura menyentuh sesuatu tanpa membakar hanya menghangatkan.