 
                            Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.
Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada apa?
Sinar mentari perlahan masuk menembus tirai tipis berwarna putih gading yang menghiasi jendela kamar besar di lantai tiga. Arinda terbangun dari tidurnya dengan tubuh yang masih terasa lemas. Matanya sedikit berkunang karena semalam ia hampir tidak bisa tidur. Seperti biasa, hatinya masih dipenuhi rasa sepi dan kebosanan, meski ia tinggal di rumah megah yang seolah tidak kekurangan apa pun.
Pelan-pelan ia bangkit dari ranjang besar yang dipenuhi bantal-bantal empuk. Tatapannya kosong ke arah jendela, menatap halaman luas di bawah sana. Di balik kaca, tampak kebun yang begitu hijau, ditata rapi dengan berbagai bunga mahal. Namun semua itu tak mampu membuatnya benar-benar bahagia.
"Dulu… kalau pagi begini, Arinda pasti sudah lari ke kebun di belakang rumah. Menyapa ayam-ayam, mencabuti rumput, ikut menyiram tanaman. Sesederhana itu, tapi rasanya hati jadi ringan," gumamnya lirih.
Lamunan itu membuat matanya berkaca-kaca. Arinda sangat merindukan kehidupannya dulu, kehidupan sederhana sebelum ia resmi menjadi istri Leo. Sejak menikah, seluruh dunianya berubah drastis. Ia merasa seperti terkurung dalam sangkar emas. Semua serba ada, tapi justru membuatnya kehilangan kebebasan kecil yang dulu membuatnya merasa hidup.
Pikiran itu buyar seketika ketika pintu kamarnya terbuka. Sofia masuk dengan langkah pelan, mengenakan setelan rapi seperti biasanya. Wajahnya kalem, tetapi tatapannya selalu penuh kewaspadaan, seolah setiap gerak Arinda harus berada dalam pengawasannya.
“Selamat pagi, nona,” sapa Sofia dengan suara lembut, meski tetap terkesan formal. “Apakah tidurnya nyenyak?”
Arinda menoleh cepat dan menggeleng. “Tidak, Mbak… Arinda susah tidur lagi.”
Sofia hanya menghela napas pelan, seolah sudah biasa mendengar keluhan itu. “Kalau begitu, nanti saya minta pada Arsen membuatkan susu hangat untuk nona sebelum tidur malam. Sekarang… apa nona mau saya siapkan air hangat untuk mandi?”
Arinda menggigit bibir bawahnya sebentar, lalu memberanikan diri berkata, “Mbak Sofia… boleh nggak kalau Arinda berkebun di taman belakang? Arinda bosan terus-terusan di kamar saja. Arinda pengen nyentuh tanah, pengen nyiram bunga, pengen… rasain udara segar kayak dulu.”
Mata Sofia sedikit melebar, tampak ragu. Ia menunduk hormat lalu menjawab, “Tapi, nona… sudah ada tukang kebun yang mengurus semua itu. Jadi nona tidak perlu capek-capek lagi.”
Arinda mengerucutkan bibirnya, menatap Sofia dengan mata memohon. “Arinda nggak apa-apa capek, Mbak. Justru Arinda pengen capek. Pengen kotor kena tanah. Pengen merasa kayak dulu lagi… tolong ya, Mbak. Arinda janji nggak akan macem-macem, cuma mau berkebun aja.”
Sofia menunduk, tampak berpikir keras. Sebagai orang yang ditugaskan langsung oleh Leo untuk mengawasi dan menjaga Arinda, ia tahu betul kalau semua keputusan besar maupun kecil tetap harus mendapat izin dari tuannya. Akhirnya ia menghela napas.
“Baik, nona… tapi saya harus menunggu izin dari tuan Leo dulu. Nona tahu sendiri bagaimana sikap beliau. Kalau nona bertindak tanpa izin, bisa-bisa saya yang kena marah.”
Arinda menatapnya penuh harap. “Ya sudah, sekarang saja Mbak telepon Tuan Leo. Biar Arinda bisa berkebun pagi ini.”
Namun Sofia menggeleng pelan. “Tuan sedang rapat, nona. Beliau tidak bisa diganggu. Ada banyak pekerjaan penting yang menunggu.”
Arinda langsung menunduk, wajahnya murung. Perasaannya campur aduk antara kecewa dan kesal. Seolah semua hal kecil dalam hidupnya pun harus menunggu keputusan suaminya.
Sofia mendekat, berusaha menenangkan. “Sudahlah, nona. Sekarang mandi dulu. Setelah itu kita sarapan bersama di ruang makan. Percayalah, semua ada waktunya. Saya akan coba bicarakan soal ini dengan tuan setelah rapatnya selesai.”
Arinda menghela napas panjang. “Baiklah, Mbak…” jawabnya lirih.
Sofia tersenyum tipis lalu berjalan ke kamar mandi untuk menyiapkan air hangat. Arinda menatap punggung Sofia dengan perasaan yang sulit ia ungkapkan. Ia tahu Sofia hanya menjalankan tugas, tapi tetap saja ia merasa terkekang.
Tak lama kemudian, Sofia kembali dan berkata, “Air sudah siap, nona. Silakan mandi dulu. Saya akan menyiapkan pakaian untuk nona.”
Arinda melangkah pelan ke kamar mandi, membawa tubuhnya yang terasa berat. Sambil membuka pintu, ia bergumam lirih, “Kapan ya Arinda bisa hidup bebas lagi? Bisa ngerasain kebahagiaan kecil tanpa harus nunggu izin siapa pun…”
Air hangat membasuh tubuhnya, namun hatinya tetap dingin. Hanya satu hal yang ia tahu pasti—hidup bersama Leo akan selalu penuh dengan aturan dan pengawasan. Dan ia harus menemukan caranya sendiri untuk tetap bertahan di dalamnya.
Arinda menghabiskan suapan terakhirnya perlahan, meneguk air putih yang tersisa di gelas kaca bening. Ia menatap meja panjang dengan piring-piring porselen yang kini sudah kosong. Perutnya kenyang, tetapi hatinya masih terasa kosong. Begitulah setiap pagi, rutinitas yang sama berulang tanpa perubahan.
Setelah meletakkan sendok, ia menoleh ke arah Sofia yang berdiri anggun di sisi meja. “Mbak, kapan nyonya Aurel pulang?” tanyanya tiba-tiba.
Sofia mengernyit halus, lalu menjawab sopan, “Kemungkinan besok, Nona. Apa Nona ada mau titip sesuatu sama Nyonya Aurel? Biar saya sampaikan.”
Arinda buru-buru menggeleng, kedua tangannya meremas ujung serbet di pangkuannya. “Jangan, Mbak. Nanti nyonya malah marah. Lagi pula, Arinda juga bingung mau titip apa.” Suaranya lirih, ada getir yang tersembunyi di balik senyumnya.
Sofia hanya mengangguk patuh, tak berani menambahkan kata-kata lain. Ia tahu, hubungan Nona muda itu dengan Nyonya Aurel tidaklah akrab. Ada jurang yang terlalu besar, yang membuat Arinda memilih diam daripada membuat masalah baru.
Tak lama, Arinda bangkit dari kursinya. Ia melangkah pelan ke arah jendela besar ruang makan yang menghadap ke halaman depan. Cahaya matahari pagi masuk dengan hangat, membuat rambutnya yang panjang berkilau keemasan.
“Arinda mau duduk di halaman depan, Mbak. Mau menghirup udara segar,” ucapnya, suaranya pelan namun jelas.
“Baik, Nona. Saya temani,” jawab Sofia, segera mengikuti langkah tuannya yang mungil namun penuh wibawa itu.
Mereka melewati koridor yang panjang, lantainya berkilau memantulkan cahaya lampu kristal. Arinda berjalan tanpa alas kaki, lebih suka merasakan dinginnya marmer yang licin di telapak kakinya. Sofia menatapnya sesekali, khawatir kalau-kalau Nona itu terpeleset, namun ia tahu menegur terlalu banyak hanya akan membuat Arinda merasa terkekang.
Begitu sampai di teras depan, udara pagi langsung menyapa mereka. Angin bertiup lembut, membawa aroma embun dan dedaunan basah. Burung-burung kecil beterbangan, berkicau riang di pepohonan rindang yang tumbuh di sekitar halaman luas itu.
Arinda menarik napas panjang, menutup mata sejenak. “Segar sekali...” bisiknya, seolah menemukan sedikit kebebasan dari jeruji tak terlihat yang mengikat kehidupannya.
Sofia menarik kursi rotan untuknya. “Silakan duduk, Nona.”
Arinda mengangguk lalu duduk, menyandarkan tubuhnya sambil menatap langit biru muda yang masih bersih. Tangannya menyentuh meja kayu yang halus, jari-jarinya mengetuk pelan.
“Mbak,” panggilnya pelan.
“Iya, Nona?” Sofia menunduk hormat.
“Kadang Arinda rindu sekali... masa kecil Arinda dulu. Pergi ke sawah sama Bapak, atau ke kebun, memetik buah, mencabut rumput. Sekarang semua terasa berbeda. Di sini, apa-apa serba ada, serba mewah, tapi Arinda malah merasa tidak punya apa-apa.” Matanya menerawang jauh, ada semburat kesedihan yang tak bisa disembunyikan.
Sofia terdiam. Ia tahu betul kerinduan itu, tapi ia juga tahu dirinya tak berhak memberi saran berlebihan. Ia hanya bisa menghibur sebisanya.
“Kalau Nona rindu, mungkin nanti saya bisa minta tukang kebun menyiapkan sudut kecil di taman belakang. Nona bisa berkebun di sana, tidak akan ada yang melarang kalau Tuan sudah mengizinkan,” ucap Sofia pelan.
Arinda menoleh cepat, matanya berbinar meski hanya sebentar. “Benarkah, Mbak? Kalau begitu, nanti tolong tanyakan lagi ya ke Tuan.”
Sofia tersenyum tipis. “Baik, Nona. Saya akan sampaikan.”
Suasana kembali hening, hanya suara alam yang mengisi udara. Arinda memejamkan mata, menikmati setiap detik ketenangan itu. Namun dalam hatinya, ia tetap merasa ada sesuatu yang hilang. Ia seperti burung dalam sangkar emas—cantik, mewah, terawat, tetapi tetap terkurung.
“Mbak,” Arinda membuka suara lagi.
“Iya, Nona?”
“Kalau misalnya suatu hari... Arinda bisa keluar rumah ini, bebas seperti dulu, Mbak mau ikut Arinda?” tanyanya tiba-tiba, membuat Sofia terdiam.
Sofia menatap wajah polos itu dengan mata yang bergetar. Ia tidak tahu harus menjawab apa. “Saya...” ucapnya terbata, “Saya ini hanya pelayan, Nona. Dimana pun Tuan memerintah, di situ saya berada.”
Arinda tersenyum miris. “Ya, Arinda tahu. Semua orang di sini hidup untuk Tuan. Hanya Arinda yang masih belum tahu... Arinda hidup untuk siapa.”
Sofia menunduk dalam, berusaha menyembunyikan hatinya yang ikut pedih mendengar kata-kata itu.
Udara yang tadi segar kini terasa berat. Arinda menyandarkan kepalanya di kursi, menatap langit yang perlahan berubah cerah. Entah sampai kapan ia harus menjalani rutinitas ini—menunggu, tunduk pada aturan, dan menahan segala rasa penasaran yang kian hari kian mengikatnya.
Namun, ia tahu satu hal: suatu saat nanti, semua pertanyaan yang ia simpan akan menemukan jawabannya.
Arinda menoleh ke arah Sofia yang sudah berdiri dengan wajah serius. Ada bayangan tegas di sorot matanya, tidak seperti biasanya yang selalu ramah dan penuh senyum.
“Nona, sebaiknya kita segera masuk ke kamar nona,” ucap Sofia dengan suara tegas tapi tetap lembut.
Arinda mengerutkan kening, menoleh ke arah halaman luas yang masih terasa menenangkan.
“Tapi ini masih jam sepuluh, Mbak. Arinda bosan kalau harus di kamar terus…” ucapnya polos sambil sedikit manyun.
Sofia menarik napas panjang, mencoba menahan diri agar tidak menampakkan kekhawatiran yang sebenarnya. Ia lalu merunduk sedikit, suaranya diturunkan agar lebih lembut.
“Nona, ada hal-hal yang harus nona ikuti di rumah ini. Meski nona adalah istri tuan, aturan tetap harus dijaga. Ini juga demi keselamatan nona. Jadi tolong… ikut saya sekarang.”
Nada itu terdengar seperti permintaan, tapi juga terselip perintah yang tidak bisa ditawar.
Arinda terdiam sejenak, menatap Sofia dengan mata bulatnya yang lugu. Tidak ada kecurigaan, hanya kepatuhan murni dari seorang perempuan yang tak terbiasa menolak. Ia kemudian mengangguk pelan.
“Baiklah, Mbak… Arinda ikut.”
Sofia segera bergerak lebih dulu, lalu menoleh sambil memberi isyarat. Dua bodyguard yang tadi berbisik padanya masih berjaga tak jauh dari pintu masuk rumah. Wajah mereka serius, mata menyapu setiap sudut halaman, seakan mencari sesuatu yang mencurigakan.
Arinda melangkah pelan di belakang Sofia. Saat hendak masuk ke dalam, ia sempat menoleh sekali lagi ke arah halaman luas yang mulai diterpa angin sepoi-sepoi. Hatinya masih berat, tapi ia memilih diam.
“Kenapa ya, Mbak? Tadi bodyguard itu bilang apa ke Mbak Sofia?” tanya Arinda pelan, rasa penasarannya akhirnya tak terbendung.
Sofia terdiam sejenak sebelum menjawab.
“Bukan sesuatu yang perlu nona khawatirkan. Yang jelas, tuan ingin nona tetap aman di dalam rumah. Itu saja.”
Arinda mengerucutkan bibirnya.
“Hmm… ya sudah, kalau memang itu maunya Tuan.”
Sofia melirik sebentar ke arah Arinda, hatinya sedikit miris. Nona muda itu terlalu polos, terlalu lugu untuk menyadari bahwa ada begitu banyak bahaya yang mengintai di luar sana, bahkan kadang tanpa ia sadari.
Saat mereka sampai di kamar, Sofia membukakan pintu lalu mempersilakan Arinda masuk.
“Nona istirahatlah dulu. Kalau bosan, saya bisa bawakan buku atau kita bisa ngobrol di sini. Tapi jangan keluar dulu, ya.”
Arinda hanya tersenyum kecil.
“Baiklah, Mbak Sofia. Arinda nurut kok.”
Sofia mengangguk patuh, menutup pintu dengan hati-hati, sementara pikirannya terus berputar tentang pesan yang tadi diterimanya dari bodyguard. Ada sesuatu yang tidak beres, dan ia harus memastikan nona mudanya tetap aman sampai tuan Leo pulang.
 
                    