NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Ternodai

Cahaya Yang Ternodai

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / One Night Stand / Romansa / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:399
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.

Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.

Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.

Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

19. Berbicara Berdua

Pulang sekolah, Alendra memilih menunggu hingga suasana lebih sepi. Ia tak ingin berdesak-desakan dengan teman-teman lain atau menarik perhatian. Sahabat-sahabatnya pun sudah ia suruh pulang lebih dahulu, mengikuti permintaan Alendra.

Setelah memastikan koridor dan halaman sekolah relatif kosong, ia perlahan keluar dari kelas, menuruni tangga, dan menuju parkiran sepeda. Napasnya sedikit terengah, campuran lega dan cemas.

Sesampainya di parkiran, pandangannya langsung tertuju pada sosok Rayven. Ia sedang duduk di atas motornya, asyik bermain ponsel, tampak santai seolah tak terjadi apa-apa. Alendra menelan ludah, hatinya berdebar kencang.

Tanpa menatap Rayven, ia berjalan langsung ke sepedanya. Tangannya gemetar sedikit saat menyalakan rem dan memeriksa rantai sepeda, berusaha bersikap biasa. Rayven sesekali menatap ke arahnya, tapi tidak menegur, membiarkan Alendra bergerak sendiri.

Alendra menarik napas panjang, menepikan rasa gugupnya, lalu mengayuh sepeda perlahan keluar dari parkiran. Rayven menurunkan pandangan dari ponselnya sejenak, matanya mengikuti gerakan Alendra, namun tetap diam, menghormati ruang dan privasinya.

“Tunggu, Len… bisa ngobrol berdua sebentar?” suara Rayven akhirnya memecah hening, nada lembut tapi penuh harap.

Alendra meneguk ludah, menoleh sekilas, lalu cepat menjawab, “Gak bisa… gue harus kerja hari ini.” Suaranya terdengar sedikit tegang, berusaha terdengar tegas padahal hatinya bergejolak.

Rayven menunduk sebentar, kemudian menatapnya lagi. “Habis Lo pulang kerja gimana? Bisa ketemu sebentar?”

Alendra menghela napas, jantungnya hampir melonjak. “Gue pulangnya malam… jam 22.00,” jawabnya, suara bergetar sedikit.

Di balik kata-katanya yang terdengar tegas itu, ada rasa sesal dan keinginan yang besar. Sebenarnya ia ingin berhenti sejenak, duduk di samping Rayven, dan membicarakan semua yang mengganjal di hatinya—tentang hubungan mereka, tentang anak yang belum lahir, tentang rasa takut dan cemas yang terus menghantuinya.

Tapi kenyataan menamparnya. Ia tak bisa… pekerjaan yang menunggu, tanggung jawab yang sudah menumpuk, dan tekanan dari orang-orang di sekitarnya membuatnya harus menunda semua itu.

Rayven menatapnya dengan mata lembut, membaca pergulatan batin Alendra. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia hanya mengangguk pelan. “Gue tunggu, Len… gue bakal tunggu. Lo kerja dulu, tapi jangan lari dari gue.”

Alendra menelan ludah, menundukkan kepala. Ada beban berat di dadanya, tapi juga secercah lega. Ia memacu sepedanya lebih cepat, mencoba menenangkan jantung yang berdebar, sementara Rayven tetap duduk di atas motor, menatapnya pergi dengan tatapan penuh rasa tanggung jawab dan rasa cinta yang diam-diam membara.

Di antara hiruk-pikuk parkiran yang mulai kosong, ada kesunyian yang terasa panjang—dua hati yang terhubung oleh rahasia dan janji, tapi dipisahkan oleh waktu dan keadaan.

---

Alendra mengayuh sepedanya melewati jalanan yang mulai lengang, setiap putaran pedal terasa berat meski secara fisik ia tak kelelahan. Hatinya bergejolak, campuran antara rindu, rasa bersalah, dan kekhawatiran. Setiap kali bayangan Rayven muncul di pikirannya, dadanya berdebar lebih cepat.

Sesampainya di tempat kerjanya, ia menepikan sepeda dengan tangan gemetar. “Tarik napas, Len… tenang aja,” bisiknya pelan, mencoba menenangkan diri sebelum masuk. Namun, rasa cemas tak sepenuhnya hilang. Ia takut jika pertemuan mereka nanti malam akan menimbulkan emosi yang tak bisa ia kendalikan.

Di sisi lain, Rayven masih duduk di motor, menunggu. Mata dan pikirannya terus mengikuti Alendra dari jauh, tak ingin mengganggunya tapi juga tak bisa berhenti merasa gelisah. Ia menatap jam di pergelangan tangannya, lalu menatap kembali jalan sepi tempat Alendra pergi.

“Gue harus pastiin Lo aman… tapi gue juga nggak boleh ganggu,” gumam Rayven pelan. Tangannya menepuk motor, menahan gelombang emosi yang ingin ia lepaskan. Ia ingin menghampiri Alendra, ingin bicara, ingin menjanjikan semuanya secara langsung, tapi ia sadar—saat ini bukan waktunya.

Di dalam tempat kerja, Alendra mulai membersihkan mejanya dan menata beberapa dokumen, berusaha terlihat sibuk agar tidak terdistraksi. Tapi matanya sesekali melirik jam, menghitung waktu menuju malam. Setiap detik terasa lambat. Ia merasakan rindu yang tak tertahankan, ingin berbicara dan melepaskan semua beban yang selama ini dipendam.

Di luar, sinar senja mulai memudar, menggantikan langit dengan nuansa malam yang sunyi. Angin malam menyapu parkiran kosong, seolah ikut menjaga rahasia mereka berdua. Rayven menarik napas dalam, meneguhkan diri, dan berbisik pelan, “Sabar, Len… nanti malam, gue bakal ada buat Lo.”

Kesunyian sore itu terasa panjang, tapi ada janji yang tak terucap, sebuah harapan yang diam-diam menguatkan hati keduanya. Dua hati yang terhubung oleh rahasia dan cinta, menunggu saat yang tepat untuk bertemu lagi—meski dunia di sekitarnya tetap bergerak seperti biasa.

---

Sekarang pukul 22.00. Alendra baru saja selesai bekerja di cafe. Setelah membereskan semua urusan dan memastikan tak ada yang tertinggal, ia melangkah keluar, berniat menuju sepeda yang diparkir di depan. Namun, pandangannya langsung tertumbuk pada sosok Rayven yang sudah menunggunya, duduk santai di atas motor sportnya.

“Lo udah selesai?” tanya Rayven begitu turun dari motor, nada suaranya lembut tapi menyiratkan perhatian.

“Udah… kenapa Lo ada di sini?” jawab Alendra, sedikit terkejut tapi mencoba terdengar tenang.

“Kan tadi gue udah bilang mau bicara berdua sama Lo?” ucap Rayven, menatap Alendra dengan mata serius.

“Ooo… iya. Gue lupa,” Alendra menjawab pelan, menundukkan kepala sebentar.

“Jadi mau ngomong apa?” tanya Alendra lagi, berdiri kaku di depan cafe, menunggu gerak Rayven selanjutnya.

“Jangan ngomong di sini. Lo udah makan?” tanya Rayven, matanya tetap menatap Alendra.

“Udah tadi. Jadi mau ke mana?” ucap Alendra, membuka handphonenya sebentar. “Boleh, tapi sebentar gue kabari orangtua dulu,” ia menambahkan sambil mengetik pesan lembur palsu.

Rayven mengangguk dan menunggu sabar. Setelah selesai, mereka berdua berjalan menuju taman yang tak jauh dari cafe. Di bawah lampu taman yang temaram, suasana menjadi lebih tenang, jauh dari hiruk-pikuk jalan. Mereka duduk di sebuah bangku, berhadap-hadapan, dan akhirnya mulai membuka pembicaraan yang selama ini terpendam.

Rayven menatap Alendra, suaranya tegas. “Len… gue nggak bisa diam. Anak Lo, anak kita… gue bakal tanggung jawab. Gue harus ada, gue nggak bisa ninggalin Lo dan anak ini sendirian.”

Alendra menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. “Ray… gue paham maksud Lo, tapi… Lo nggak perlu terlalu terbebani. Gue akan rawat anak ini dengan baik. Gue janji. Lo tenang aja, kita bisa jalani ini.”

Rayven menggeleng, tatapannya tak surut sedikit pun. “Gue nggak bisa, Len. Ini anak gue juga. Gue harus ada, dari awal sampai akhir. Gue nggak peduli orang-orang ngomong apa. Gue tanggung jawab, dan gue bakal pastiin Lo sama anak kita aman.”

Alendra menunduk, hati berdebar. “Tapi… Ray, gue nggak mau Lo ngerasa berat. Gue nggak mau Lo nyesel atau hidup Lo jadi ribet karena anak ini. Gue bisa ngurus semua.”

Rayven meraih tangan Alendra, menggenggamnya erat. “Lo jangan ngomong begitu. Gue mau tanggung jawab, gue mau ada buat Lo dan anak kita. Gue nggak bakal tinggal diam. Gue serius, Len. Gue janji.”

Alendra menatap tangan mereka yang saling menggenggam, dada bergetar. Ada rasa lega tapi juga sedikit takut. “Gue… gue percaya sama Lo. Tapi… gue masih takut, Ray. Takut kalau semua ini terlalu berat buat kita.”

Rayven mencondongkan tubuhnya, menatap Alendra dalam-dalam. “Lo nggak sendirian. Gue bakal ada di sisi Lo, di sisi anak kita. Kita jalani semua ini bareng-bareng. Gue janji, Len.”

Alendra menarik napas panjang, menatap mata Rayven yang penuh keteguhan. “Ray… terus langkah selanjutnya gimana? Kita nggak bisa terus kayak gini,” suaranya pelan, bergetar antara takut dan penasaran.

Rayven menunduk sebentar, menahan berat hatinya. “Lo harus tahu, Len… gue nggak bisa sembunyiin ini selamanya. Gue harus jujur… ke orangtua gue dulu,” ucapnya dengan nada serius. Matanya menatap Alendra, menahan segala rasa takut dan malu. “Gue akan ngaku semua… apa yang udah gue lakuin sama Lo, konsekuensinya, gue terima. Gue nggak bakal lari dari tanggung jawab gue sendiri.”

Alendra menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. “Ray… itu… berat banget. Lo yakin bisa ngadepin mereka?”

Rayven mengangguk tegas, menepuk lembut tangan Alendra. “Gue harus. Gue nggak mau anak kita lahir dengan kebohongan. Lo penting buat gue, anak kita lebih penting. Gue harus jujur dulu sama mereka, gue terima semua konsekuensi. Baru setelah itu… gue akan jujur sama orangtua Lo, dan kita hadapin semuanya bareng-bareng.”

Alendra menunduk, menahan air mata. “Ray… gue takut. Tapi gue juga lega… Lo nggak akan lari dari semua ini. Gue percaya sama Lo.”

Rayven menggenggam kedua tangan Alendra, menatapnya penuh keteguhan. “Gue janji, Len… gue bakal ada. Gue bakal pastiin Lo sama anak kita aman. Kita jalani semua ini bareng-bareng. Mulai dari gue jujur ke orangtua gue, sampai gue tanggung jawab sepenuhnya.”

Alendra mengangguk pelan, dada berdebar. Meski masih ada rasa takut dan cemas, hatinya mulai merasa ringan. Untuk pertama kalinya sejak semuanya terjadi, ada secercah harapan yang nyata—bahwa mereka tidak akan menghadapi masa depan ini sendirian.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!