NovelToon NovelToon
Pengganti Yang Mengisi Hati

Pengganti Yang Mengisi Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Tukar Pasangan
Popularitas:574
Nilai: 5
Nama Author: Vanesa Fidelika

Seharusnya hari itu jadi momen terindah bagi Tiny—gaun putih sudah terpakai, tamu sudah hadir, dan akad tinggal menunggu hitungan menit.
Tapi calon pengantin pria... justru menghilang tanpa kabar.

Di tengah keheningan yang mencekam, sang ayah mengusulkan sesuatu yang tak masuk akal: Xion—seseorang yang tak pernah Tiny bayangkan—diminta menggantikan posisi di pelaminan.

Akankah pernikahan darurat ini membawa luka yang lebih dalam, atau justru jalan takdir yang diam-diam mengisi hatinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanesa Fidelika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19: Salah Sebut Nama

“Nanti kita belanja bulanan, ya?”

Xion hampir tersedak udara. Ia menoleh pelan, sedikit terkejut. Kalimat barusan... terdengar sangat istri. Sangat nyata. Sangat… rumah tangga.

Tapi ia hanya menjawab singkat, “Iya.”

Tiny mengerucutkan bibir. “Snack kamu nggak ada. Bisa mati aku lama-lama.”

Xion menoleh sebentar, lalu menanggapi dengan datar, “Aku jarang makan snack. Nggak mati pun.”

Kalimatnya biasa saja. Tapi entah kenapa, bagi Tiny, terdengar sangat... menyebalkan dalam versi yang menggemaskan.

Ia menggigit lidah sendiri, menahan diri agar tidak spontan cubit lengan Xion. Gemas. Tapi tentu saja, itu hanya disimpan di hati.

Xion melirik ke arahnya. “Kapan perginya?”

Tiny langsung menoleh. Matanya berbinar. “Nanti malam, boleh?”

Xion mengangguk. “Boleh.”

°°°°

“Nanti mau beli apa aja? Udah ada daftarnya?”

Suara Xion terdengar tenang, matanya tetap fokus ke jalan, tangan kirinya mantap di kemudi.

Malam itu jalanan cukup lengang. Lampu jalan berpendar lembut di kaca mobil, sesekali memantulkan cahaya ke wajah Xion yang tetap terlihat... dingin tapi tenang.

Tiny yang duduk di sebelahnya langsung menegakkan badan. Wajahnya bersinar, seolah baru saja diberi panggung untuk pidato besar.

“Hmm, jadi gini—”

Dan kalimat itu langsung berlanjut dengan rentetan daftar panjang dari mulut Tiny. Tanpa jeda. Tanpa pikir lama. Tanpa keseleo. Lancar jaya.

Xion sempat melirik sekilas.

Ia heran. Sungguh heran. Bagaimana bisa seseorang yang sepanjang hari hanya rebahan, tiba-tiba meluncurkan daftar belanja seakurat itu tanpa catatan.

Tiny menyebutkannya dengan semangat. Penuh gestur tangan. Seolah sedang menjelaskan misi penting di sebuah rapat negara.

Xion hanya mengangguk-angguk pelan.

“...dan itu aja, kok,” tutup Tiny akhirnya, tersenyum lebar.

Xion membalas dengan singkat, “Kamu hafal banget.”

Tiny mengangkat dagu sedikit. Bangga. “Yalah. Otak aku tuh, kayak note berjalan.”

Xion mendengus kecil. “Note berjalan... tapi rumah nggak disapu?”

Tiny cengengesan. “Lupa,” katanya santai, sambil menggaruk pelipis.

Padahal... dia ingat. Tadi siang bahkan sempat melirik sapu di pojok dapur. Tapi setelah memastikan lantai masih bersih, dia pikir: Untuk apa disapu? Nanti aja pas benar-benar ada debu.

Tiny melipat tangan di dada. Dengan bangga, ia mengganti topik.

“Aku udah buat lirik lagu lho, Ndi.”

Sunyi. Sepersekian detik. Matanya melebar. Otaknya baru sadar.

‘Ndi.’

Itu bukan panggilan untuk Xion.

Itu... Andika.

Tiny langsung membeku. Kepalanya perlahan menoleh ke arah Xion, takut-takut.

Wajahnya mulai memucat, lalu memerah. “Eh... maksud aku... itu, itu kebiasaan lama...”

Tiny berusaha menjelaskan cepat. Lalu dengan tulus, ia berkata, “Maaf ya.”

Xion tetap menyetir. Tatapannya ke jalan. Tak menoleh sedikit pun. Sunyi. Sekali lagi.

“Bang?” Suara Tiny lirih.

Ia memajukan duduknya sedikit, mencoba melongok ke wajah Xion dari samping. “Kamu marah, ya?”

Xion masih diam. Sorot matanya tetap lurus ke jalan, tangan di setir pun tak bergerak gugup. Ia seperti biasa—tenang. Tapi justru itu yang menyesakkan.

Tiny akhirnya kembali duduk ke posisi semula. Perlahan. Kemudian menatap jendela.

Lampu-lampu jalan berkelebat lewat di kaca, tapi tak satu pun yang bisa mengalihkan isi pikirannya.

Dadanya terasa sempit. Kepalanya penuh. Dan tenggorokannya seperti menelan batu.

Sesak sekali rasanya. Di kota yang terasa sangat asing baginya. Dengan pria yang tak pernah ia bayangkan akan jadi suami.

Dan sekarang… pria itu diam. Setelah ia salah sebut nama.

Tiny menggigit bibirnya pelan. Lalu menunduk.

Dan di detik berikutnya, setetes air mata jatuh begitu saja ke pangkuannya. Lalu satu lagi. Lalu... dua lagi. Ia buru-buru menyeka pipinya dengan punggung tangan.

Tak ingin Xion melihat. Tak ingin terlihat lemah. Tapi…

Air mata tetap mengalir diam-diam. Tiny mengusap wajahnya cepat. Tapi sisa air mata masih ada. Matanya memerah.

Suaranya lirih. Nyaris tak terdengar. “Turunin aku sekarang…”

Xion mengerutkan kening. “Hah?”

Tiny menghadap ke depan, tak berani menatapnya. Lalu dengan suara yang nyaris hilang, ia ulangi lagi.

“Turunin aku sekarang…”

Nada bicaranya tidak marah. Tapi juga bukan bercanda. Lebih seperti... seseorang yang sudah terlalu penuh dan ingin berhenti.

Xion menoleh singkat ke arahnya. Lalu kembali fokus ke jalan.

Tak ada mobil lain di sekitar mereka. Suasana malam lengang. Lampu-lampu toko berkelebat pelan.

Ia menghela napas. Lalu menepikan mobil. Meski pelan, bunyi rem itu terdengar sangat jelas di dalam kabin yang sunyi.

Mobil berhenti.

Tiny tak langsung membuka pintu. Ia diam. Punggungnya tegak. Tangannya mengepal di atas rok jeans-nya.

Lalu… Suara Xion terdengar. Lebih rendah. Lebih dingin. Tapi jelas mengandung emosi yang ditahan.

“Kamu mau jalan di kota yang bahkan kamu sendiri belum kenal arahnya?” Ia menoleh. Tatapannya menusuk.

Tiny tetap menunduk.

“Kamu bilang maaf, tapi langsung nyerah gitu? Baru salah sebut nama.”

Nadanya naik sedikit. Tapi bukan membentak. Lebih seperti seseorang yang sedang menahan kecewa.

“Kita ini nikah, Tiny. Bukan main perosotan. Salah dikit langsung mau turun?”

Tiny mengerjap pelan. Tangannya gemetar.

Xion menggeleng pelan. Tangannya mengusap wajah sendiri. “Aku diem bukan karena marah. Tapi karena… aku lagi mikir. Gimana caranya biar kamu bisa nyaman di sini. Di kota yang baru. Di rumah yang baru. Sama orang yang baru.”

Ia menoleh lagi, kali ini lebih pelan. “Tapi kalau kamu sendiri nggak yakin, aku bisa apa?”

Tiny tetap diam. Pundaknya sedikit bergetar, menahan sesuatu yang makin lama makin sesak di dadanya. Napasnya pendek-pendek. Matanya mulai kembali berkaca-kaca. Lalu… akhirnya ia bicara. Pelan. Tertahan. Tapi jujur.

“Aku nggak nyerah…” Suaranya serak. “Aku Cuma… capek.”

Xion menoleh. Wajahnya tak setegang tadi.

Tiny melanjutkan, suaranya mulai gemetar. “Capek pura-pura biasa aja… di tempat asing… sama orang yang bahkan nggak pernah aku sangka akan jadi suami aku…”

Air matanya kembali jatuh.

“Tiap hari aku mikir, harus gimana supaya kelihatan cocok… supaya kamu nggak nyesel nikah sama aku.”

Xion menatapnya dalam. Kali ini benar-benar mendengarkan. Tak menyela. Tak mengalihkan pandangan.

Tiny menghapus air mata dengan punggung tangan. “Aku bukan siapa-siapa di sini. Nggak ada temen. Nggak ada keluarga. Nggak ada ponakan yang bisa aku ajak main. Cuma ada kamu.”

Ia menunduk lagi. “Jadi waktu kamu diam… aku takut.”

Hening.

Xion perlahan melepas sabuk pengamannya. Kemudian memiringkan tubuh, menghadap Tiny sepenuhnya.

Xion perlahan bergerak. Tidak banyak bicara. Tidak ada kalimat bijak atau panjang.

Ia hanya merentangkan tangannya… lalu menarik Tiny ke dalam pelukannya.

Tiny terkejut. Tubuhnya kaku sesaat.

Tapi kemudian, ketika dada Xion menyentuh pipinya… Ia menangis. Bukan sekadar sesenggukan kecil, tapi tangisan yang selama ini ia tahan.

Tangisan karena rindu. Karena takut. Karena lelah menyesuaikan diri. Karena semua yang menumpuk, akhirnya diberi ruang untuk jatuh.

Xion memejamkan mata sejenak, lalu mengangkat tangan kanannya… mengusap pelan kepala Tiny.

Rambutnya tergerai, sedikit berantakan. Tapi Xion mengusapnya seolah itu adalah mahkota.

“Maaf…”

Itu saja yang ia ucapkan. Pelan.

Tak ada kalimat panjang. Tak ada janji besar. Hanya satu kata tulus, dari suami yang mulai mengerti betapa beratnya jadi Tiny hari ini.

Tiny malah makin menangis lagi. Bukan karena marah. Bukan juga karena sedih yang dalam. Tapi karena...

Akhirnya, ada ruang untuk menangis. Dan dipeluk saat menangis… itu seperti tombol rusak yang makin ditekan, makin meledak air matanya.

Xion diam beberapa detik. Kepalanya masih bersandar ke atas, tangannya masih di kepala Tiny. Lalu, dengan suara berat yang terdengar agak dipaksakan jadi lembut, Xion akhirnya membuka mulut, mencoba membujuk.

“Ssstt... udah, ya.”

Tangannya masih mengusap kepala Tiny. “Yang nangis... Cuma bayi. Kamu ‘kan bukan bayi.”

Tiny justru makin terisak. Xion mulai panik, tapi tetap jaga ekspresi.

“Tiny, denger ya…”

Ia menatap kaca depan, lalu kembali bicara, suaranya berusaha semanis mungkin meski jelas kaku,

“Nangisnya cukup sekarang. Nanti matanya bengkak, malah dikira aku nyakitin istri sendiri. Kan malu…”

Tiny tersedak kecil. Antara menangis dan tertawa. Tapi tetap belum bisa berhenti.

Xion makin gelisah. Ia garuk-garuk tengkuk sendiri pelan. “Kalau kamu nangis terus, belanjanya nggak jadi. Snack kamu nggak kebeli. Nanti kamu mati.”

Sungguh tak romantis memang. Tapi hanya ini yang bisa Xion lakukan.

Suara Xion tetap berat, tapi jelas niatnya menenangkan.

Tiny mulai terisak pelan. Napasnya turun-naik, tapi volume tangisnya mereda.

Xion menghela napas pelan—geli sendiri. Untuk keponakan kecilnya yang cerewet pun, ia tidak pernah bersusah payah membujuk seperti ini.

Tapi sekarang? Ini istri. Yang nangis seperti anak umur lima tahun kehabisan balon.

“Kalau kamu nangis terus, aku mau peluknya susah.”

Tiny akhirnya tertawa kecil. Masih terisak, tapi sudah lebih tenang.

Karena Xion ternyata tahu cara memeluk. Meski caranya membujuk seperti bapak-bapak bingung memegang bayi.

Tiny perlahan melepaskan pelukannya. Air mata masih tersisa di pipinya, tapi senyumnya mulai muncul sedikit.

Ia tarik napas panjang, lalu berkata pelan, “Yaudah… ayok jalan lagi.”

1
Arisu75
Alur yang menarik
Vanesa Fidelika: makasih kak..

btw, ada novel tentang Rez Layla dan Gery Alicia lho..

bisa cek di..
Senyum dibalik masa depan, Fizz*novel
Potret yang mengubah segalanya, wat*pad
total 1 replies
Aiko
Gak bisa dijelaskan dengan kata-kata betapa keren penulisan cerita ini, continue the good work!
Vanesa Fidelika: aa seneng banget..makasih udah mau mampir kak. hehe

btw ada kisah Rez Layla dan juga Gery Alicia kok. silakan mampir kalau ada waktu..

Senyum Dibalik Masa Depan👉Fi*zonovel
Potret Yang Mengubah Segalanya👉Wat*pad
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!