NovelToon NovelToon
Tangisan Di Malam Pertama

Tangisan Di Malam Pertama

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cinta Terlarang / Beda Usia
Popularitas:8k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Naia Seora 25 tahun, pengantin baru yang percaya pada cinta, terbangun dari mimpi buruk ke dalam kenyataan yang jauh lebih mengerikan yaitu malam pertamanya bersama suami, Aryasatya, berakhir dengan pengkhianatan.


Naia dijual kepada pria bernama Atharva Aldric Dirgantara seharga dua miliar. Terseret ke dunia baru penuh keangkuhan, ancaman, dan kekerasan psikologis, Naia harus menghadapi kenyataan bahwa kebebasan, harga diri, dan masa depannya dipertaruhkan.


Dengan hati hancur namun tekad menyala, ia bersumpah tidak akan menyerah meski hidupnya berubah menjadi neraka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 19

Naia mengangguk lirih. “Dulu aku pernah menikah dengannya. Tapi dari pernikahan itu bukan kebahagiaan. Aku dijadikan alat. Dijual seolah-olah aku ini barang dagangan. Lima miliar harga yang ia tawarkan untuk melepaskanku ke orang lain.”

Suaranya pecah di ujung kalimat. Air mata akhirnya lolos juga, jatuh membasahi pipi yang sudah memerah karena amarah yang barusan dilampiaskannya.

Safar mengepalkan tangan. “Astaga naga dragon ball jadi dia yang berani-beraninya ngomong kasar ke Kakak barusan? Jahat sekali! Kalau aku lebih besar, aku pasti sudah hajar dia.”

Kadir menepuk dada dengan penuh gaya sok berani, meski wajahnya pucat. “Iya, mbak. Kalau dia balik lagi, kami nggak akan biarin karena Mbak Naia nggak sendirian kok. Kami siap jaga Kamu!”

Naia tersenyum getir di balik air matanya. Hatinya bergetar, bukan hanya karena luka lama yang kembali diungkit, tapi juga karena ketulusan dua anak remaja tanggung itu.

“Ya Allah… aku mungkin sudah kehilangan harga diriku di masa lalu. Tapi aku tak boleh lagi membiarkan siapapun merendahkanku. Aku harus kuat. Aku harus bisa melindungi diriku sendiri.” batinnya.

Ia menghapus air matanya, lalu meraih pundak Safar dan Kadir dengan tangan yang masih bergetar.

“Terima kasih kalian selalu ada untuk aku. Jangan khawatirkan aku akan berusaha sekuat tenaga supaya dia tidak bisa menyakitiku lagi.” tekadnya Naia yang bersungguh-sungguh.

Safar dan Kadir mengangguk mantap, meski sorot mata mereka masih menyimpan cemas.

Dan di balik senyum rapuhnya, Naia tahu pertarungan melawan bayangan masa lalunya baru saja dimulai tapi dia cukup bahagia karena dikelilingi oleh orang-orang baik.

Naia menunduk, kedua tangannya perlahan mengusap perutnya yang masih datar. Gerakan kecil itu terasa penuh doa dan ketakutan.

“Ya Allah…” desisnya lirih, nyaris tak terdengar. “Semoga saja Arya tidak melapor kepada Tuan Muda Atharva. Jangan sampai dia tah, jangan sampai dia tahu kalau aku sedang mengandung anaknya.”

Matanya memejam, napasnya bergetar,”Aku belum siap menghadapi semuanya. Aku bahkan belum tahu bagaimana harus melindungi bayi ini. Apa sebaiknya aku pergi saja? Pergi jauh, menghilang dari semua orang dari Arya termasuk dari Tuan Muda Atharva…”

Tetes air mata jatuh membasahi jemari yang masih menyentuh perutnya. Rasanya dada Naia penuh sesak. Dalam kepalanya berputar wajah Arya yang licik, wajah Atharva yang dingin, dan ketidakpastian masa depannya bersama calon buah hatinya.

“Aku sangat lelah, tapi aku tidak bisa menyerah. Aku harus kuat demi bayi ini. Demi hidupku sendiri.”

Naia menarik napas panjang, berusaha menguatkan diri. Ia menatap ke arah langit yang membiru, seolah mencari jawaban.

“Ya Allah, lindungi aku dan anak ini,” bisiknya, suara itu patah-patah namun sarat keikhlasan.

“Tunjukkan jalan terbaik untukku. Aku hanya ingin hidup tenang jauh dari orang-orang yang ingin menghancurkan hidupku.”

Safar dan Kadir yang sedari tadi mengawasinya dari jarak tak jauh tampak bingung. Mereka melihat Naia mengusap perutnya dan menangis dalam diam, namun tak berani langsung bertanya. Hingga akhirnya Safar memberanikan diri mendekat.

“Mbak Naia nggak apa-apa kan, apa calon keponakan kami di dalam sana nakal?” tanyanya pelan, penuh hati-hati.

Naia buru-buru menghapus air matanya dan memaksa tersenyum. “Tidak apa-apa Mbak cuma berdoa untuk kebaikan kita bersama.”

Kadir menatapnya penuh penasaran, tapi Safar memberi kode agar tidak bertanya lebih lanjut.

Naia hanya mengangguk kecil, dalam hati masih menggenggam ketakutan yang belum berani ia bagi kepada siapa pun.

Sedangkan di tempat lain, Arya berjalan cepat meninggalkan taman puskesmas dengan rahang mengeras, bibirnya masih terasa perih bekas tamparan Naia.

Darah di sudut mulutnya sudah ia seka, tapi panas di hatinya justru makin menyala.

“Berani sekali perempuan itu menamparku…” gumamnya, suaranya parau bercampur amarah.

“Dulu dia hanyalah perempuan naif yang tak tahu apa-apa. Sekarang berani melawan? Hah! Dia pikir bisa lari dari bayangan masa lalu?”

Ia mengerutkan kening, langkahnya terhenti di depan pagar. Tatapannya liar, penuh rencana.

“Kenapa dia ada di puskesmas ini, Untuk apa?” Pikirannya berputar cepat, menyusun potongan-potongan kecurigaannya penuh tanda tanya.

“Jangan-jangan…” bisiknya pelan, kedua tangannya mengepal. “Dia sedang hamil…” tebaknya Arya sambil mengepalkan kepalan tangannya.

Senyum licik terlihat dari mimik wajahnya. “Kalau benar dia sedang mengandung hah, bukankah ini kesempatan emas?”

Arya menyalakan rokok, menghembuskan asap sambil menatap ke langit yang mulai meninggi.

“Aku harus datangi Tuan Muda Atharva. Aku akan buka mulut, tapi tentu tidak gratis. Harga informasi itu pasti mahal. Kalau benar bayi yang dikandung Naia adalah anak Atharva, aku bisa dapat lebih dari lima miliar dulu.”

Ia tertawa pendek, getir tapi penuh keserakahan. “Atharva terlalu menjaga harga diri dan nama besarnya. Dia pasti tidak mau aib ini terungkap. Aku tinggal ancam, tekan, dan manfaatkan. Uang bisa kembali mengalir ke tanganku.”

Arya menginjak puntung rokoknya, lalu melangkah dengan tekad bulat.

“Bersiaplah, Naia. Kau pikir sudah bebas dariku? Tidak semudah itu. Aku akan buat hidupmu kembali hancur. Kau akan tahu, sekali aku menaruh dendam, aku tak akan pernah berhenti sampai puas.”

Angin siang berembus, membawa serta niat busuk yang baru saja ia tanam dalam hatinya.

Beberapa hari kemudian…

Naia akhirnya memberanikan diri untuk berpamitan kepada kedua orang tua angkatnya, Haji Abidin dan Hajah Wahidah.

Sejak pertama kali ia diterima di rumah sederhana keluarga itu, kasih sayang yang diberikan begitu hangat, seolah ia benar-benar darah daging mereka sendiri.

Walau baru dua bulan lebih menjadi anak angkat, ikatan hati yang terjalin terasa begitu dalam.

Tangis tak terbendung ketika Hajah Wahidah memeluk Naia erat, seakan enggan melepaskannya.

“Nak, jaga dirimu baik-baik di kampung halamanmu. Jangan pernah merasa sendiri, karena rumah ini selalu menjadi rumahmu juga,” ucapnya dengan suara parau penuh haru.

Haji Abidin menepuk bahu Naia lembut, menatapnya dengan mata berkaca-kaca tak bisa menyembunyikan kesedihannya akan berpisah dengan Naia yang disayanginya.

“Kalau suatu hari kau ingin kembali ke Jakarta, Nak, pintu rumah ini selalu terbuka untukmu. Anggap kami orang tuamu selamanya.” ujarnya Haji Abidin.

Naia menunduk, air matanya jatuh berderai. Perjalanan pulang ke kampung halamannya bukan sekadar perjalanan biasa, melainkan perjalanan penuh luka dan tanggung jawab baru, terlebih dengan kandungan yang mulai ia jaga dalam perutnya.

Safar dan Kadir, rekan kerjanya di peternakan, ikut mengantarkan sampai ke halaman. Keduanya terdiam, wajah mereka muram.

“Mbak Naia, hati-hati di jalan. Kami bakal kangen kerja bareng, bercanda bersama, makan bersama kamu,” ujar Safar lirih.

Sementara Kadir hanya mampu mengangguk, menahan rasa sesak di dada.

Siang itu, suasana perpisahan begitu berat. Angin berhembus seakan ikut membawa kesedihan yang menyelimuti hati mereka.

Dengan langkah gontai dan mata berkaca-kaca, Naia akhirnya meninggalkan rumah penuh kenangan itu, memeluk erat doa-doa yang dipanjatkan untuknya.

Naia pulang ke kampung halamannya demi keselamatan calon buah hatinya yang baru berusia dua bulan dalam rahim.

Keputusan itu bukanlah hal yang mudah dipilihnya, sebab hatinya sudah terikat dengan kasih sayang Haji Abidin dan Hajah Wahidah yang begitu tulus. Namun, ia tahu dirinya tak bisa lagi tinggal di Jakarta lebih lama.

Dalam perjalanan menuju terminal, Naia sesekali mengusap perutnya yang masih datar. Wajahnya muram, matanya sembab karena terlalu banyak menangis.

"Maafkan Mama, Nak… Mama harus pergi jauh dari orang-orang baik yang selama ini sudah menjaga kita. Tapi Mama nggak punya pilihan lain, hanya ini cara agar kamu bisa tumbuh dengan aman di dalam sini," batinnya sambil menekan lembut bagian bawah perutnya.

Air matanya kembali jatuh. Ingatan akan wajah Hajah Wahidah yang berlinang air mata dan suara berat Haji Abidin yang bergetar tadi siang masih jelas terbayang.

"Ya Allah… kuatkan aku. Aku takut kalau di sini aku tetap diburu masa laluku. Aku nggak mau anakku nanti hidup dalam bayang-bayang ancaman. Aku ingin dia lahir dengan selamat, tumbuh tanpa rasa takut," doa Naia dalam hati, sesekali menahan sesak di dadanya.

Di kursi tunggu terminal, ia menghela napas panjang. Orang-orang berlalu-lalang, namun pikirannya hanya dipenuhi rasa cemas.

"Aku benar-benar harus meninggalkan Jakarta. Walaupun hatiku berat, aku tahu ini jalan terbaik. Aku rela kehilangan kenyamanan di rumah Haji Abidin, asalkan anakku selamat.” gumamnya sambil melangkah pergi sesekali menyeka air matanya.

Dalam perjalanan menuju kampung halamannya, Naia duduk di kursi paling belakang bus, dekat jendela. Perutnya yang masih datar sesekali ia usap, mencoba menahan rasa mual yang menyerang. Nafasnya pendek-pendek, keringat dingin membasahi pelipisnya.

"Ya Allah, semoga perjalanan ini lancar. Jangan sampai ada yang mengetahui aku pulang. Aku hanya ingin melindungi anakku," batinnya sambil memejamkan mata sejenak.

Tanpa ia sadari, sebuah mobil mewah melaju tak jauh di belakang bus. Dari balik kaca depan, sepasang mata menatap tajam ke arah Naia.

Sosok itu terkejut ketika mengenali wajah yang begitu dirindukan. “Itu… Naia Seora,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tercekat.

Ia bisa melihat jelas Naia yang bersandar lemah di dekat jendela, tatapannya kosong menatap keluar.

Hatinya bergejolak. Mobilnya kian dipacu, berusaha agar tak kehilangan jejak. Namun karena terlalu fokus pada sosok di dalam bus, ia tak menyadari ada sebuah truk bak besar melaju kencang dari arah berlawanan dan tiba-tiba.

“Brakkkk!!”

Benturan keras tak terhindarkan. Mobil mewah itu terpental, lalu terguling-guling di tengah jalan. Suara kaca pecah dan logam beradu bergema, membuat jalanan mendadak riuh. Teriakan orang-orang memenuhi udara.

“Arghhh… tidak!!” pekik sang pengemudi dengan napas tersengal, tubuhnya terjepit setir.

Darah mulai mengalir dari pelipisnya. Pandangannya kabur, tapi matanya masih berusaha mencari bayangan Naia di jendela bus.

“Naia… Seora… jangan tinggalkan aku…” lirihnya, suaranya semakin melemah.

Sesaat kemudian, kedua matanya perlahan tertutup, tenggelam dalam gelap bersama dentuman bising dan hiruk-pikuk orang yang berlari menolong.

Sementara itu, bus yang ditumpangi Naia tetap melaju menjauh, tanpa ia tahu bahwa seseorang baru saja mempertaruhkan nyawa hanya untuk mengikutinya.

1
Isma Isma
baguss Leni kasih tau niaa biar Ndak timbul masalah baruu 🥰🥰🥰🥰
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: kan bagus kalau banyak fans 🤭🤣
total 1 replies
Hana Ariska
gak sabar nunggu kelanjutan nya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak.. insya Allah besok double update
total 1 replies
Milla
Pasti nyaaa anak buah tuan muda arthava 🤭 semangat up thorrr🙏🌹
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Belum tentu 🤭🤣
total 1 replies
Hijriah ju ju
sangat bagus menghibur
Marlina Taufik
seru ni di tunngu lanjut y
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kak 🙏🏻🥰

insha Allah besok lanjut soalnya kalau malam mau jualan dulu cari tambahan penghasilan meski dikit ☺️🤗🙏🏻
total 1 replies
Milla
Lanjutt thorrr💪🌹
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: insha Allah besok kakak 🙏🏻🥰
total 1 replies
Hijriah ju ju
sungguh miris kisah hidupmu
Rahmi Jo
kenapa nggak dibantu??
Hijriah ju ju
najong loh Arya
Rahmi Jo
kok bisa dahulu bisa jatuh cinta??
Hijriah ju ju
wajar dikasari
Uba Muhammad Al-varo
semoga semua usaha kamu berhasil Naia dan kamu bisa bangkit sementara Artharva menjalani kesembuhan, sebenarnya Artharva orang nya baik tapi caranya salah besar membuat Naia menderita dan kau Arya tunggu detik2 kehancuran mu
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: oh ho siap
total 3 replies
Uba Muhammad Al-varo
sungguh memilukan hidup mu Naia, semoga ditempat baru nanti hidup mu akan bahagia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: amin ya rabbal alamin
total 1 replies
Uba Muhammad Al-varo
ayo Naia pergi dari kampung mu,cari daerah/tempat untuk menata hidup mu lebih baik lagi dan bikinlah hidup mu dan anakmu kuat,agar bisa membalas semua perbuatannya si Arya
Uba Muhammad Al-varo
kenapa kejadian tragis hanya terjadi pada Artahrva seharusnya terjadi juga pada si Arya keparat
Siti Aminah
ceritanya bagus
AsyifaA.Khan⨀⃝⃟⃞☯🎯™
semoga bahagia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: amin ya rabbal alamin
total 1 replies
Ana Natsir
setuju
Ana Natsir
semoga nggak gila
Ana Natsir
sedih jdi mewek
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!