Sebuah kisah cinta rumit dan menimbulkan banyak pertanyaan yang dapat menyesakan hari nurani
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ericka Kano, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pastikan Christy tetap baik-baik saja (2014)
Rasa mual ini tak tertahankan. Aku segera izin untuk ke toilet di sela-sela penjelasan dari manager SDM. Aku setengah berlari menuju toilet. Begitu tiba di depan wastafel, rasa ini tak bisa dibendung lagi. Nasi uduk yang tadi aku makan harus ku keluarkan.
"Ueekkk, ueeekkkkk," suara muntah ku
Tak lama rasa itu hilang karena semua sudah dimuntahkan. Yang datang sekarang adalah keringat dingin disertai rasa pusing. Semua yang kulihat di dalam toilet seperti bayangan klise. Tak jelas. Aku berusaha meraih gagang pintu. Begitu pintu terbuka, terdengar suara dentuman kuat. Semuanya jadi gelap. Dan aku tak ingat lagi.
Perlahan aku membuka mata. Aku ternyata sedang ditidurkan di salah satu sofa di ruangan marketing SDM.
"Ibu sudah sadar," Triana mendekat
Aku mencoba bangun perlahan-lahan sambil meringis.
"Apa yang terjadi, Na?," kataku serak
"Ibu tadi pingsan di depan pintu toilet. Ibu sakit? Dari kemarin hari pertama ibu kelihatan tidak sehat," Triana membantuku untuk duduk
Aku menggelengkan kepala.
"Saya tidak sakit, Na. Saya hanya kena morning sickness," ujarku sambil memegang kepalaku
"Ibu hamil?,"
Aku mengangguk.
"Kenapa ibu paksakan untuk tetap ikut Diklat ini? ibu bisa keluhkan kondisi ibu sekarang ke Pak Marsel,"
"Tidak apa-apa, Na. Saya bisa kok,"
Dan Diklat pun dilanjutkan. Berbekal minyak kayu putih di tangan, aku berusaha kuat untuk menyelesaikan Diklat hari ini.
Kegiatan ini selesai malam hari dan aku memilih langsung pulang ke penginapan, sedangkan Triana ikut ajakan teman-teman staf akademik pusat untuk kulineran malam.
Aku merasakan pangkal perutku seperti tidak baik-baik saja. Niatku membersihkan diri lalu segera beristirahat. Tadi sebelum pulang, aku sudah makan di kantor pusat.
Tiba-tiba aku merasakan ada yang merembes di bagian paha bagian dalam. Aku segera masuk ke kamar mandi dan mengecek.
Darah. Ada darah yang merembes. Aku panik. aku berlari ke arah tempat tidur untuk mengambil hp ku. Aku menelpon nomor Triana tapi tidak dijawab. Aku menelpon beberapa nomor staf yang ku kenal di sini tidak ada yang menjawab juga. Mungkin mereka juga ikut jalan-jalan kulineran malam. Aku menelpon Steve, tidak dijawab juga. Ada sekitar lima kali aku menelpon Steve. Aku putus asa dan akhirnya menelpon Anthon. Selama ini, kakak sepupuku itu adalah yang paling gercep menjawab panggilan ku.
Panggilannya berdering dan dijawab.
"Halo,Ty," suara Anthon terdengar.
"Halo, Thon, kamu di mana?,"
"Masih di kantor Ty, lagi makan gado-gado sama teman-teman kantor. Habis ini baru pulang. Kenapa, Ty?," Anthon menjawab sambil mengunyah makanan.
"Thon, kayaknya aku keguguran,"
"Keguguran? Kamu hamil? Kok aku gak tau Ty,"
"Aku baru tahu juga beberapa hari lalu, Thon. Baru cek dokter,"
"Nah terus kamu dimana?,"
"Aku di Bandung sekarang lagi ikut Diklat. Tadi siang aku pingsan. Dan sekarang ada darah merembes,"
"Kamu sudah telpon orang di situ untuk minta tolong diantarkan ke dokter?,"
"Sudah, tapi tidak ada yang menjawab,"
"Steve?,"
"Sudah ku telpon juga tapi tidak menjawab,"
"Aku harus bagaimana, Ty. Aku juga belum menikah. Jadi aku bingung. Kalau jarak kita dekat, aku pasti langsung ke sana," Anthon mulai panik.
Aku mulai menangis karena aku juga panik dan perutku keram.
"Jangan nangis dulu, Ty. Aku coba berpikir,"
Tiba-tiba suara di seberang berubah.
"Halo, Ty. Ini Rai. Kamu dengar instruksi ku, mau ya," suara menenangkan itu.
Aku tidak punya pilihan lain.
"Iya," jawabku menahan tangisan dan rasa kram
"Kamu ada softex atau kain yang bisa menampung rembesan darahnya?,"
"Aku cuma punya panty liner," jawabku bergetar
"Ya udah, itu juga tidak apa-apa. Kamu pakai dulu panty liner nya, lalu kamu berbaring, usahakan menghadap ke arah kiri saat berbaring. Hp kamu tetap aktif, aku akan menelpon sepupu perempuan ku yang lagi kuliah di Bandung. Dia akan membantumu, Ty. Tolong chatting alamat persismu di mana. Sepupuku akan ke sana,"
Sebenarnya ada rasa lain di hatiku saat mendengar suara dan kata-kata nya, tapi ini bukan momen yang pas untuk beromantis dan cinta-cintaan. Aku menuruti perkataannya. Mengirim alamat jelasku, menggunakan panty liner dan berbaring sambil tanganku menggenggam hp supaya bisa mendengar kalau ada panggilan.
"Steve, kamu di mana, kenapa tidak menjawab telpon ku," gumam ku sambil berbaring
Hp ku berdering. Nomor Anthon tapi aku tahu siapa yang akan bicara saat panggilan itu ku jawab.
"Halo," ujarku pelan
"Ty, kamu masih baik-baik saja kan?," suaranya begitu tenang. Tidak panik.
"Iya," jawabku pelan
"Sepupuku namanya Jae akan tiba kurang dari 10 menit ke tempat kamu. Dia akan membawa kamu ke dokter. Bertahan ya, Ty. Kalau kamu rasa mengantuk tolong lawan. Jangan sampai kamu tidak sadarkan diri. Eh... Anu.. Apa darahnya masih keluar?,"
"Masih," suaraku tetap pelan
"Ya sudah, memang harus ke rumah sakit kalau begitu,"
Aku tidak bisa menjelaskan lagi perasaanku sekarang. Kenapa jadi Rai yang mengurus ku. Kenapa bukan suamiku. Ah sudahlah, rasa sakit di perut membuat ku susah menelaah ini semua.
10 menit berlalu dan terdengar ketukan pintu. Itu pasti Jae. Aku tidak begitu mengenalnya. Dulu Rai hanya sempat cerita sedikit tentang sepupunya yang sedang melanjutkan S-2 di Bandung.
"Christy Fransisca?," tanyanya begitu pintu dibuka. Wanita muda sekitar 30-an, berpostur tinggi dan berisi. Rambutnya cepak dan terkesan tomboy.
"Iya, kamu Jae?,"
"Iya, kenalkan Jae, sepupunya Raihan. Raihan menyuruhku membawa mu ke rumah sakit ibu dan anak terdekat,"
Dia memperhatikan mataku yang mulai sayu, bibirku pucat, dan terlihat sangat lemah.
"Aku akan memegang mu. Aku tidak kuat untuk menggendongmu. Kita akan menuju lift lalu ke parkiran. Kamu masih bisa jalan?,"
Aku hanya mengangguk karena kepalaku terasa begitu berat.
Pintu kamarku dikunci. Dia mulai memapahku. Kami berjalan perlahan. Terdengar hp nya berdering. Ada panggilan masuk. Karena kesulitan menaruh hp di telinga maka dia menekan tombol loud speaker sambil kami terus berjalan menuju lift.
"Sudah ketemu, Je?," Ucap suara di seberang dan aku tahu suara itu
"Sudah, sudah. Ini lagi jalan ke lift," jawab Jae
"Ke RS terdekat saja, Je. Usahakan jangan terlambat. Tolong selamatkan bayinya. Namun yang lebih penting tolong pastikan Christy tetap baik-baik saja,"
Kalimat terakhir masuk ke dalam jantung ku. Ada rasa khawatir yang besar di sana. Tapi sekali lagi, situasi saat ini tidak cocok untuk memikirkan cinta-cintaan.
Kami tiba di RS ibu dan anak. Aku langsung ditangani dokter.