Meira, gadis muda dari keluarga berantakan, hanya punya satu pelarian dalam hidupnya yaitu Kevin, vokalis tampan berdarah Italia yang digilai jutaan penggemar. Hidup Meira berantakan, kamarnya penuh foto Kevin, pikirannya hanya dipenuhi fantasi.
Ketika Kevin memutuskan me:ninggalkan panggung demi masa depan di Inggris, obsesi Meira berubah menjadi kegilaan. Rasa cinta yang fana menjelma menjadi rencana kelam. Kevin harus tetap miliknya, dengan cara apa pun.
Tapi obsesi selalu menuntut harga yang mahal.
Dan harga itu bisa jadi adalah... nyawa.
Ig: deemar38
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OT 19
Kevin menarik napas panjang, lalu menepuk-nepuk pipinya sendiri seakan memberi semangat. Ia berjalan ke lemari, mengambil hoodie hitam favoritnya, dan topi. Penampilannya kembali sudah jadi rutinitas sejak ia dikenal publik.
“Alright, let’s do this. Show them the news, Kev...” gumamnya, mencoba menenangkan hatinya.
Ponselnya ia masukkan ke dalam saku jaket. Setiap langkah menuju pintu terasa berat, bukan karena lelah, tapi karena ia tahu kabar yang akan ia bawa bisa mengubah arah masa depan SilverDawn.
Di luar, Anton sudah menunggunya dengan mobil hitam. Begitu Kevin masuk, Anton meliriknya sekilas dari kaca spion. “Lo kelihatan kayak nggak tidur semalaman,” komentar Anton ketus.
Kevin hanya tersenyum tipis. “Didn’t sleep much. Too many things in my head,” jawabnya sambil menatap keluar jendela.
Mobil melaju menembus jalanan kota yang mulai ramai. Sepanjang perjalanan, Kevin membayangkan ekspresi teman-temannya nanti. Ia tahu, mereka akan kaget, mungkin kecewa, bahkan marah. Tapi ia tidak bisa terus menutupi semuanya.
Sesampainya di studio, suara gitar dan drum samar-samar terdengar dari balik pintu latihan. Kevin menarik napas dalam, mendorong pintu itu. Seketika, suara gaduh musik berhenti. Empat pasang mata langsung menoleh padanya.
“Kev! Akhirnya dateng juga,” sapa Riku, basis band, sambil meletakkan bass-nya.
Eren, sang keyboardist, melipat tangan di dada. “Lo telat, bro. Biasanya lo yang paling duluan.”
Kevin hanya mengangkat tangan, meminta maaf. Ia berjalan ke tengah ruangan, mengeluarkan ponselnya. “Guys... I got something to tell you.”
Semua menatapnya penuh penasaran. Ia membuka email itu, menunjukkan layar ponselnya pada mereka. “I got accepted. Kampus di Inggris. Jurusan music production.”
Ruangan langsung hening. Seolah waktu berhenti.
“Lo... serius?” suara Kenji, drummer, pecah pertama kali.
Kevin mengangguk, senyum kecil muncul di wajahnya. “Yeah. It’s official.”
Eren meletakkan tangannya ke kepala, menghela napas berat. “Gila, Kev... lo beneran mau ninggalin SilverDawn?”
“Not yet,” Kevin cepat menyahut. “Aku belum mutusin apa-apa sekarang. But... this it’s my dream, guys. You know it. Dari dulu aku pengen belajar musik lebih dalam. Bukan cuma tampil.”
Riku menatap Kevin lama, lalu berkata pelan, “Tapi tanpa lo, SilverDawn bukan SilverDawn, Kev. Lo tau itu, kan?”
Suasana makin berat. Kevin menggenggam ponselnya erat-erat, lalu duduk di kursi kosong. “I know. That’s why I wanted to share it with you first. Lo semua deserve to know sebelum aku ambil langkah apapun.”
Anton yang sedari tadi bersandar di pintu, hanya menghela napas panjang, ekspresinya sulit dibaca.
Kevin menunduk, suaranya pelan. “I’m torn, guys. Between my dream and us.”
Tak ada yang langsung menjawab. Semua hanya saling pandang, menyadari kabar ini bisa jadi titik balik yang akan mengubah segalamya
Ruangan studio mendadak tegang. Kevin menatap teman-temannya satu per satu, mencoba membaca ekspresi mereka.
“Lo bercanda, kan?” Kenji, berdiri mendekat. “Kev, kita ini lagi naik daun! Tour baru aja diumumin, fans udah nungguin. Lo mau ninggalin sekarang?”
“Aku nggak bilang mau ninggalin sekarang.” Kevin mencoba tenang. “I just... I want you guys to know. Biar kita bisa sama-sama mikirin jalan keluarnya.”
“Jalan keluarnya? Jalan keluar lo ya tetep di sini!” Kenji meninggikan suara. “Lo frontman kita, Kev! Tanpa lo...”
“Kenji, chill.” Riku memotong, berusaha menenangkan. Ia menepuk bahu Kenji. “Gue ngerti perasaan lo. Tapi mungkin kita harus dengerin Kev dulu.”
Kenji mendengus dan mundur, tapi matanya masih tajam.
Eren mengangkat alis, ekspresinya dingin. “Gue sih cuma mikir praktis. Kalo Kev pergi, kontrak kita bisa kacau. Sponsorship, tur, jadwal rekaman... semuanya.”
Anton akhirnya angkat bicara. Suaranya datar. “Makanya dari awal gue bilang, jangan bikin keputusan sepihak dulu. Ini bukan cuma soal lo, Kev. Ini soal semua orang di ruangan ini. Lo punya tanggung jawab.”
Kevin mendongak menatap manajernya. “I know, Anton. Aku nggak mau bikin masalah. Makanya aku kasih tau sekarang. Aku belum bikin keputusan apa-apa.”
“Belum bikin keputusan?” Kenji kembali bersuara. “Dapet email diterima kuliah aja itu namanya lo udah ambil keputusan Gue kenal lo, Kev. Lo pasti mikirin ninggalin kita!”
“Aku cuma pengen berkembang!” suara Kevin meninggi untuk pertama kalinya. Kamu pikir aku gampang bikin keputusan ini? Aku sayang SilverDawn, bro. Tapi aku juga punya mimpi.”
Ruangan hening sejenak.
Riku duduk di kursi dekat Kevin. “Gue dukung lo, Kev. Kalo itu memang impian lo. Tapi lo harus jujur sama kita tentang rencana lo. Jangan bikin kita tebak-tebakan.”
Kevin menatap Riku, sedikit lega. “Thanks, man. I will.”
Eren berdiri, memijat pelipisnya. “Gue butuh keluar sebentar.” Ia meraih jaketnya dan keluar dari ruangan tanpa menoleh.
Kenji memukul drum sekali dengan keras, suara dentumannya memecah keheningan. “Latihan hari ini batal aja. Gue nggak bisa main dengan mood kayak gini.”
Anton mendengus. “Great. Exactly what I expected.” Ia menyilangkan tangan, menatap Kevin tajam. “Gue udah bilang lo, ini bakal bikin mereka bergejolak. Sekarang lihat sendiri akibatnya.”
Kevin menunduk, merasa bersalah. “I’m sorry, guys.”
Riku berdiri dan menepuk bahu Kevin. “Kita butuh waktu buat mencerna ini. Besok kita ngobrol lagi, oke?”
Satu per satu personel keluar dari studio. Kenji keluar terakhir, masih dengan ekspresi kesal.
Kevin tetap duduk, memandangi lantai. “What a mess, Kev... you just started a storm,” gumamnya pelan.
Anton menarik napas panjang, lalu berkata singkat. “Let’s go. Gue nggak mau lo sendirian di sini.”
Kevin berdiri perlahan, merasa dadanya sesak. Latihan yang seharusnya menyenangkan berubah jadi ajang konfrontasi.
Di sisi lain...
Meira. Ia menggeliat pelan, tubuhnya terasa berat seolah semua energi terkuras habis semalam. Matanya terasa perih dan masih sembab, membuat pandangannya sedikit kabur. Dengan malas, ia meraih ponselnya yang tergeletak di sisi bantal.
Notifikasi pesan.
Meira membuka layar dan membaca. Pesan itu dari Kevin, dikirim larut malam ketika ia sudah terlelap.
Meira menatap layar cukup lama. Hatinya bergetar, bibirnya perlahan melengkung membentuk senyum tipis. Ada rasa hangat yang menyebar di dadanya. Untuk pertama kalinya setelah dua hari ia mengurung diri, ia merasa diperhatikan.
“Dia... dia peduli,” gumamnya lirih.
Ia menarik napas panjang, duduk bersandar di kepala ranjang. Ponsel itu masih di tangannya, seakan benda itu kini menjadi penghubung satu-satunya yang membuatnya bertahan. Ada rasa syukur yang aneh, karena di tengah semua kekacauan hidupnya, ada seseorang meski seorang idol yang begitu jauh dari jangkauannya yang mau mendengarkan keluh-kesahnya.
Meira menatap langit-langit kamar. Hatinya yang semalam terasa gelap, kini sedikit terang. “Mungkin gue masih berarti di dunia ini... kalau nggak, dia nggak akan nulis ini,” pikirnya.
Ia kembali memandangi pesan itu, membacanya berulang-ulang seperti mantra. Setiap kata terasa menenangkan. Meira bahkan sempat tersenyum kecil sambil mengusap pipinya yang masih lembap. “Thank you, Kev...” bisiknya.
Perlahan ia bangkit dari tempat tidur. Pening di kepalanya belum sepenuhnya hilang, tapi semangat kecil muncul. Ia berjalan ke dapur, membuat segelas air hangat, lalu meneguknya pelan.
Di meja dapur, ponsel itu kembali ia letakkan. Tapi hatinya masih berdetak cepat. Meira membuka layar lagi, jemarinya berhenti di kolom pesan. Ada keinginan untuk membalas, mengucapkan terima kasih, atau sekadar menulis bahwa ia merasa lebih baik setelah membaca pesan itu.