Malam itu menghancurkan segalanya bagi Talita —keluarga, masa depan, dan harga dirinya. Tragedi kelam itu menumbuhkan bara dendam yang ia simpan rapat-rapat, menunggu waktu untuk membalas lelaki keji yang telah merenggut segalanya.
Namun takdir mempermainkannya. Sebuah kecelakaan hampir merenggut nyawanya dan putranya— Bintang, jika saja Langit tak datang menyelamatkan mereka.
Pertolongan itu membawa Talita pada sebuah pertemuan tak terduga dengan Angkasa, lelaki dari masa lalunya yang menjadi sumber luka terdalamnya.Talita pun menyiapkan jaring balas dendam, namun langkahnya selalu terhenti oleh campur tangan takdir… dan oleh Bintang. Namun siapa sangka, hati Talita telah tertambat pada Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Intro_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam di Pinggir Pantai
Hari itu, Bintang sudah terlihat jauh lebih sehat. Pipi mungilnya tidak lagi pucat, matanya kembali berbinar. Namun ketika Talita mengajaknya pulang, bocah itu langsung mencebik dan menggeleng keras.
“Aku nggak mau pulang, Ma,” rengeknya dengan mata berkaca. “Liburan itu harusnya seru. Kalau aku cuma cerita hampir tenggelam, nanti teman-teman pasti ketawain aku. Aku maunya punya cerita yang keren.”
Talita menatapnya iba. Angkasa hanya mendengus, namun pada akhirnya mereka berdua terjebak untuk memenuhi permintaan Bintang.
Ragiel, dengan caranya yang khas sudah menyiapkan jadwal lengkap. “Semua sudah saya atur,” kata Ragiel ringan, menyerahkan kertas agenda.
Angkasa merengut. “Kau ini asisten atau pemandu wisata, hah?”
“Kalau saya nggak atur, Tuan, pasti tidak jadi apa-apa,” jawab Ragiel tenang. Talita hampir tertawa melihat ekspresi kesal Angkasa.
^^^^
Malam tiba. Langit penuh bintang, bulan menggantung bulat sempurna, dan suara ombak menjadi musik latar yang tak pernah berhenti. Angin laut bertiup dingin, menusuk kulit tapi juga membawa aroma asin khas pantai.
Di pinggir pantai, Angkasa sibuk mendirikan tenda. Kemejanya sudah ia gulung, dasinya entah dibuang ke mana. Bintang meloncat-loncat di sekelilingnya, sesekali menyerahkan pasak atau menarik tali.
“Tuan Muda mirip pramuka!” katanya polos.
Angkasa mendecak. “Aku ini CEO, bukan anak pramuka. Tapi kenapa jadi begini?” meski begitu tangannya cekatan, seolah tubuhnya sudah terbiasa dengan kegiatan lapangan.
Akhirnya tenda berdiri kokoh, api unggun menyala, memantulkan cahaya oranye ke wajah mereka. Suasana menjadi hangat.
Talita meletakkan ikan berbumbu yang sedari tadi ia buat, di atas panggangan. Aroma sedap langsung merebak, bercampur dengan bau kayu terbakar.
“Wah ada gitar !” seru Bintang tak sengaja menemukan gitar bersama perangkat kemah. “Tuan Muda main gitar.” Lanjutnya dengan pandangan penuh harap.
“Hah?!” Angkasa menjawab sebagai tanda penolakan.
Talita menambahkan garam ke ikan lalu menyahut, “Mana bisa dia main gitar.”
Wajah Angkasa mengeras. Dengan berat hati ia meraih gitar yang entah sejak kapan Ragiel siapkan itu. Petikan pertamanya agak kaku, tapi lama-lama jari-jari itu bergerak luwes. Melodi sederhana tapi indah.
Bintang bernyanyi riang, suaranya cadel tapi tulus.
Di wajah mungil Bintang terpancar kepuasan. “Ini keluargaku,” batinnya polos.
Ketika ikan matang, mereka bertiga makan bersama. Bintang sampai menjilat jarinya, begitu lahap. Malam itu benar-benar terasa seperti malam keluarga.
^^^^^
Ragiel bersama mobilnya baru saja keluar dari bengkel kecil ketika matanya menangkap sosok perempuan dengan motor matic, rambut sebahunya diikat seadanya, helm murah menutupi sebagian wajahnya. Ada yang aneh, Ragiel ingat jelas, wajah itu mirip...
“El Mariachi…” gumamnya, tangan otomatis memutar setir mengikuti.
Motor itu melaju tergesa, seolah sedang menghindari sesuatu. Lampu merah di depan membuat Ragiel terpaksa berhenti. Perempuan itu lolos lebih dulu, masuk ke jalan sempit menuju perkampungan.
“Tidak boleh hilang kali ini,” desis Ragiel. Ia menerobos lampu merah, menyalip dua mobil sekaligus.
Motor itu akhirnya berhenti di depan sebuah kontrakan kecil berderet. Cat temboknya mengelupas, pintunya kusam, beberapa genteng bahkan hampir jatuh.
Ragiel mematikan mesin mobil, menunggu di balik setir. Matanya tak lepas dari pintu kontrakan itu. Sesaat kemudian, perempuan itu masuk sambil menenteng tas kain lusuh.
“Jadi ini tempatmu bersembunyi…” Ragiel bergumam, matanya menyipit.
Beberapa menit berlalu. Jalanan sepi, hanya anjing kampung menggonggong di kejauhan. Ragiel tahu, inilah saatnya. Ia keluar dari mobil dengan langkah ringan namun penuh tekanan. Ia meninggalkan ponselnya yang berdering di dalam mobil, ponsel yang menunjukkan panggilan dari Angkasa.
Tok. Tok. Tok.
Pintu kontrakan diketuk pelan.
Tak ada jawaban. Ragiel kembali mengetuk, lebih keras. Pintu akhirnya terbuka sedikit. Saat wajah itu muncul, Ragiel langsung mendorong pintu, tubuh perempuan itu terhuyung masuk.
Brakk! Pintu menutup rapat.
“Ngapain kamu....” suara perempuan itu tertahan ketika melihat tatapan Ragiel yang tajam.
“Jangan pura-pura,” desis Ragiel. “Kau El Mariachi, kan?”
El Mariachi menelan ludah. Siasat harus segera ditemukan, kalau tidak, tamatlah. “Demi Tuhan, saya bukan El Mariachi! Kalau saya jurnalis, mana mungkin tinggal di kontrakan bocor kayak gini?”
Untuk sesaat suasana hening, hanya suara kipas angin butut berdecit di langit-langit.
Ragiel mengernyit, menimbang. Hatinya masih curiga, tapi logika mulai goyah.
^^^^
Sementara itu, di tepi pantai yang mulai sepi. Api unggun tinggal bara, angin makin menusuk.
Di dalam tenda, Bintang sudah terlelap dengan wajah damai, selimut menutupi tubuh mungilnya. Nafasnya teratur, sesekali ia mendesah kecil sambil memeluk boneka lumba-lumba yang tadi dibelikan Talita di kios pinggir jalan.
Di luar, Angkasa berdiri menatap ponselnya, wajahnya kesal. Ia berkali-kali menekan nomor Ragiel tapi tidak diangkat.
“Ke mana lagi orang itu?!” gerutunya. “Harusnya dia yang bikin satu tenda tambahan. Mana mungkin aku tidur satu atap dengan…” tatapannya melirik tenda, “…wanita itu.”
Suara lirih Talita terdengar dari dalam. “Hei, sudah jam satu. Mana ada yang mau bangun buat bikin tenda baru. Sudahlah, terima nasib saja, Tuan Muda. Satu tenda bareng.”
Angkasa mendengus keras. Ia masuk tenda dengan langkah berat. Cahaya lampu kecil di dalam tenda memperlihatkan Talita yang sudah setengah berbaring, rambutnya terurai, wajahnya menatap malas.
Angkasa menunjuknya dengan telunjuk tegas. “Kalau aku dengar kau macam-macam sepanjang malam, jangan salahkan aku.”
Talita langsung membalikkan badan, wajahnya menghadap dinding tenda. “Lucu. Seharusnya aku yang takut. Siapa yang tahu kalau kau tiba-tiba berubah jadi monster.”
Angkasa mendengus, tapi memilih berbaring.
Di antara mereka, Bintang tidur pulas, wajahnya tenang. Seakan berkata dalam diam “Orang dewasa memang ributnya aneh. Padahal tinggal tidur saja, kenapa repot sekali.”
Di luar, ombak terus berdebur, menjadi saksi malam itu, malam ketika dua orang dewasa dengan hati penuh dendam dan amarah, terpaksa berbagi atap kecil di tepi laut, sementara seorang anak kecil bermimpi indah di antara mereka.
makasih sudah mampir