Romantis - Komedi
"Gak bisa Will, kita cuma nikah sementara kan? Bahkan ibumu juga benci sama aku?" -Hania-
"Tapi hamilmu gak pura-pura, Han? Aku bakal tanggung jawab!" -William-
***
Kisah dimulai saat Hania terpaksa menerima tawaran sang bos untuk menjadi istri kontraknya tapi setelah satu bulan berlalu, Hania mabuk karena obat perangsang yang salah sasaran dan mengakibatkan Hania hamil!
Bagaimana kisah ini berlanjut? Akankah Hania menerima pinangan kedua kali dari suami kontraknya atau kembali pada mantan tunangan yang sudah tobat dan ingin membahagiakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kumi Kimut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Air sungai berderu semakin deras, menghantam batu-batu di tepinya seolah ikut menertawakan keputusasaan Hania. Hujan turun tanpa ampun, mengguyur tubuhnya yang sudah lemah. Tapi ia tetap di sana — berlutut, menatap air yang menelan suaminya.
“WILL!!” teriaknya lagi, suaranya parau dan gemetar. Tak ada jawaban, hanya suara petir yang menggulung dari langit gelap.
Dalam benaknya, semua kenangan seolah berputar cepat — tawa William, cara dia menatap lembut, tangan hangat yang selalu menggenggam erat. Dan kini, semuanya lenyap dalam sekejap mata.
Sampai sebuah suara pelan menyentak dari belakang.
“Bu! Bu, minggir! Airnya deras banget!”
Dua warga desa berlari mendekat, memakai jas hujan seadanya. Mereka rupanya mendengar suara tembakan dan teriakan Hania dari kejauhan.
Salah satu dari mereka, pria tua beruban dengan senter di tangan, menatap ke arah sungai. “Ada orang jatuh?”
Hania mengangguk lemah, suaranya hampir tak keluar. “Suami saya… William… dia jatuh ke sana.”
Pria itu menyalakan senter, menyorot ke arah air yang bergolak. Tak ada tanda-tanda tubuh mengapung. Ia menatap Hania penuh iba. “Airnya deras, Bu. Tapi kami akan bantu cari. Ayo, kita ke pos dulu, biar warga bantu.”
Hania masih menatap sungai itu dengan mata kosong. “Aku nggak mau pergi sebelum tahu dia di mana…”
Pria itu menatap temannya, lalu menghela napas berat. “Baik, tapi Ibu jangan di pinggir banget. Airnya bisa makin naik.”
_____
Beberapa jam kemudian, malam semakin pekat. Di tepi sungai, hanya tersisa cahaya senter dan suara radio warga yang sibuk mencari di sepanjang aliran air. Namun hasilnya nihil.
Hania duduk bersandar di batu besar, tubuhnya menggigil. Selendangnya sudah basah kuyup. Tapi matanya masih terbuka lebar, menatap gelap.
Salah satu relawan datang menghampiri. “Bu Hania, kami udah nyisir sampai jembatan bawah. Belum ada tanda-tanda jasad, tapi kemungkinan besar… arusnya bawa sampai bendungan.”
Hania menggigit bibirnya. “Berarti… dia masih bisa hidup, kan?”
Pria itu terdiam, menunduk pelan. Ia tak tega menjawab.
Hania menatapnya tajam. “Katakan kalau dia masih hidup. Karena aku tahu dia kuat. Dia janji nggak akan lepasin aku.”
Mata pria itu berkaca-kaca. Ia hanya menepuk bahu Hania pelan, lalu mundur pergi.
_____
Beberapa kilometer dari sana — di sisi sungai yang lebih dalam — seorang pria terseret arus deras, tubuhnya terbentur batu beberapa kali sebelum akhirnya tersangkut di dahan besar. Nafasnya masih ada, lemah… tapi masih ada.
Itu William.
Kepalanya berdarah, tapi matanya perlahan terbuka. Samar-samar, ia mendengar suara petir dan derasnya air. Tangannya meraih ranting, berusaha bertahan agar tidak terbawa lagi.
“Hania…” gumamnya pelan, nyaris tenggelam oleh suara alam. “Aku janji… aku akan kembali.”
Perlahan, tubuhnya hanyut terbawa arus lebih tenang menuju daerah hilir — tempat seorang nelayan tua sedang menambatkan perahunya.
Nelayan itu menoleh cepat ketika melihat sosok tubuh terombang-ambing di air. “Astaga… orang!”
Ia langsung melompat ke perahu kecilnya dan mendayung cepat. “Tahan napas, Nak! Tahan!” serunya, meski tahu orang itu mungkin tak mendengar.
Dengan susah payah, ia menarik tubuh William ke atas perahu. Nafas William sangat tipis. Nelayan itu menepuk pipinya. “Hei, bangun! Masih hidup?”
William membuka matanya sedikit, berbisik lirih, “Hania…” sebelum akhirnya pingsan.
Nelayan itu panik, tapi tangannya terlatih. Ia menekan dada William beberapa kali, lalu menatap wajahnya dengan iba. “Tenang, Nak. Kau aman sekarang. Aku bawa ke pondok dulu.”
Perahu itu perlahan menjauh dari sungai besar, menembus kabut malam.
______
Sementara itu, di rumah besar yang berdiri megah di pinggir kota, Weni masih duduk di depan perapian. Di tangannya, segelas anggur bergoyang pelan.
Suara langkah seseorang mendekat. “Nona,” ucap salah satu anak buahnya sambil menunduk. “Laporan terbaru. Target laki-laki—sepertinya sudah tenggelam.”
Weni menatap api dengan senyum tipis. “Sepertinya?”
“Belum ditemukan jasadnya, tapi arusnya kuat. Kecil kemungkinan dia selamat.”
Weni berdiri pelan, menaruh gelasnya di meja kaca. “Pastikan. Aku tidak suka kemungkinan. Aku mau kepastian!"
***
Bersambung...