Ziudith Clementine, seorang pelajar di sekolah internasional Lavante Internasional High School yang baru berusia 17 tahun meregang nyawa secara mengenaskan.
Bukan dibunuh, melainkan bunuh diri. Dia ditemukan tak bernyawa di dalam kamar asramanya.
Namun kisah Ziudith tak selesai sampai di sini.
Sebuah buku usang yang tak sengaja ditemukan Megan Alexa, teman satu kamar Ziudith berubah menjadi teror yang mengerikan dan mengungkap kenapa Ziudith memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mau ikut dengan ku?
Langit Lavente mendung, bahkan sedetik kemudian hujan benar-benar turun. Sekolah elite itu tidak lagi terlihat seperti tempat pendidikan terbaik di negara ini. Bendera setengah tiang berkibar lesu di depan gerbang utama. Foto-foto siswa yang telah tiada berjejer dalam bingkai kaca di aula, seolah Lavente sedang memamerkan luka yang tak mampu ditutupi lagi.
"Ar, lihatlah... Mereka yang membully tapi setelah meninggal dunia foto wajahnya dipasang seperti seorang pahlawan negara yang gugur dalam medan perang saja."
Duka itu ada, rasa sakitnya juga nyata, tapi ada sisi lain dalam dirinya yang tidak terima jika para perundung itu mendapat keistimewaan seperti ini.
Bukan tidak tahu alasan Lavente melakukan semua ini. Ya, tentu sekedar untuk validasi saja. Agar dianggap, sekolah turut berduka atas kehilangan para anak didik mereka yang rata-rata dari keluarga kaya raya.
Kehilangan? Hah, jangan pikir mereka benar-benar bersedih atas kematian banyak orang yang merupakan siswa serta tenaga pengajar mereka. Lavente itu sekolah elite yang manipulatif! Tutup mata atas ketidakadilan yang terjadi pada orang-orang yang dianggap lemah. Mereka, para petinggi Lavente hanya akan tergerak jika itu mengenai donatur kaya beserta uangnya saja.
Arkana, lelaki yang diajak bicara oleh Megan tak mengatakan apa-apa. Dirinya juga ikut syok dengan semua yang terjadi. Semua ini terasa seperti mimpi buruk tapi terjadi di dunia nyata. Begitu mengerikan!
Tidak ingin lebih lama berada di aula, Megan melangkah pelan keluar dari kerumunan. Kakinya menapaki koridor tempat kenangan tidak lagi bersahabat. Beberapa guru menyapanya singkat, namun tatapan mereka hanya pantulan kekosongan yang belum sempat disembuhkan. Apa itu memang yang mereka rasakan? Atau hanya sekedar topeng agar terlihat menderita di depan orang-orang, padahal sebenarnya mereka tetap baik-baik saja? Entahlah... Megan tidak tahu lagi caranya membedakan manusia yang muncul dengan topeng atau sungguh-sungguh peduli pada sekitarnya.
Samuel telah tiada. Dan itu fakta. Dia bahkan sempat menangisi kepergian Samuel untuk selamanya. Bagaimanapun pernah ada cinta di antara mereka. Hatinya belum bisa merangkum rasa kehilangan, sebab terlalu banyak luka yang muncul bersamaan. Bukan hanya karena kehilangan kekasih, tetapi juga karena mengenalnya secara utuh justru di saat terakhir. Yang lebih menyakitkan, Megan tidak tahu... apakah dia berduka karena kehilangan, atau karena telah mencintai seorang monster selama ini?
Di belakangnya, Arkana berjalan membawa ransel berisi barang-barang yang mereka simpan selama outing class. Di antara barang itu, ada The Book 'buku usang yang menyimpan ramalan terkutuknya'. Lelaki itu terus diam tak bersuara. Hanya langkah kaki menggema yang membuktikan jika dirinya memang ada di sekitar Megan saat ini.
"Kenapa kau mengikuti ku?" Tanya Megan pelan.
"Aku hanya tidak ingin kau kenapa-napa, sedikit banyak semua yang terjadi ini pasti mengguncang mental mu. Emosimu pasti tidak stabil. Aku ada di sini untuk menjadi pendengar mu." Jawab Arkana menawarkan diri.
"Aku tidak butuh apapun dan siapapun sekarang, Ar. Lebih baik kau pergi saja. Beristirahatlah, aku tahu kau lelah." Usul Megan dengan suara nyaris hilang tersapu udara.
"Tapi aku ingin tetap bersama mu, apa itu terdengar berlebihan?" Tanya Arkana memelas.
"Terserah kau saja."
Mereka sampai di taman luas dengan bentang rumput hijau di sepanjang mata memandang.
Megan duduk di kursi taman, sedangkan Arkana duduk di rumput, di bawah Megan yang memposisikan diri agar nyaman berada di taman luas milik Lavente. Arkana mulai menyibukkan diri dengan apa yang dibawanya. Dia keluarkan laptop serta flashdisk milik Bruno.
Gerakan jemarinya lincah memutar ulang suara-suara di dalam flashdisk itu. Bagaikan seorang detektif handal, Arkana mengulangnya, menandai frasa, serta menganalisis apa yang dia dengar. Megan hanya melirik sekilas apa yang sedang dikerjakan Arkana. Dia menebak, mungkin Arkana masih sanksi jika Bruno meninggal akibat bunuh diri.
"Sial. Apa tidak ada bukti lain selain ini?" Sentak Arkana mengacak rambutnya.
"Sebenarnya apa yang kau cari? Kau ingin menyimpulkan apa lagi? Toh si pelaku utama perundungan Ziudith sudah mati." Tegas Megan merasa jika yang dilakukan Arkana sia-sia belaka.
"Aku tahu kau kecewa, patah hati, merasa kehilangan, atau lebih dari itu.. kau belum bisa terima dengan apa yang terjadi. Kenyataan tentang Samuel adalah pelaku pelecehan Ziudith, lalu mendadak Samuel pergi untuk selamanya... Kau belum bisa menerima semua itu kan? Aku tahu ini tidak pantas dilakukan, menguak rahasia orang yang sudah meninggal.... Tapi apa kau pernah berpikir jika mungkin ada Ziudith lain yang perlu kita selamatkan di sekolah terkutuk ini? Atau mungkin juga ada Samuel lain yang pantas mendapat hukuman atas kebejatan yang dilakukan tapi tidak ada seorangpun yang mengetahuinya?"
Megan menatap Arkana dengan wajah pucat, tanpa ada gairah kehidupan di sana. Kosong, tidak tersentuh. Seperti hanya ada kehampaan di sorot mata Megan.
"Iya. Lakukanlah seperti yang kau mau. Aku sudah lelah." Ucap Megan pelan.
"Lelah atau mengabaikan semuanya, Megan? Kau masih ingin menjadi patung setelah semua yang terjadi? Come on, kehilangan Samuel ternyata berdampak begitu hebat pada hidup mu ya? Begitu dalam kah kau mencintai dirinya, hingga kau tidak rela jika semua aibnya terbuka?" Emosi Arkana naik di sini.
Sebuah tamparan Megan hadiahkan untuk semua ucapan Arkana. Bukannya marah, Arkana justru menatap Megan dengan pandangan sendu.
"Oke Megan. Aku tahu jawabannya."
Arkana berdiri. Dia melangkah pergi. Di satu sisi dia ingin terus bersama Megan, di sisi lain ada kebenaran yang menunggu untuk dikuak. Dan Arkana memilih nomer dua. Bagaimanapun juga dia tidak ingin hidup dalam bayang-bayang rasa penasaran.
Arkana memutuskan kembali ke asrama, namun di tengah jalan menuju ke sana ada sesosok bayangan putih yang bergerak menuju perpustakaan. Sempat berhenti karena syok dengan apa yang dia lihat. Namun Arkana memutuskan mengikuti nalurinya untuk mengejar bayangan putih tanpa rupa tadi.
Sampai di perpustakaan, rupanya pintu dari ruang baca besar itu terkunci. Arkana menghembuskan nafas kasar. Kenapa dia harus berhenti jika sudah sampai sini?
Dia memutar otak, mencari cara agar bisa masuk ke ruang baca tersebut. Seperti mendapat keberuntungan, seorang penjaga perpustakaan terlihat berjalan ke arahnya.
"Apa yang kau lakukan di sini? Kau Arkana, kan? Bukankah semua siswa diliburkan karena sekolah berkabung selama tiga hari?" Tanya penjaga perpustakaan itu dengan alis bertaut.
"Itu.. Maaf pak, ada buku tugas saya yang tidak sengaja tertinggal di dalam perpustakaan ketika saya mengerjakan tugas di sana, sayangnya tugas itu belum selesai. Saya minta izin untuk masuk ke dalam dan mengambilnya." Bohong! Buku tugas apa yang Arkana maksudkan? Itu hanya alasan agar dia diperbolehkan masuk ke dalam perpustakaan.
"Diambil lusa saja ketika kegiatan belajar mengajar sudah mulai dilakukan. Sekarang kembali ke asrama mu. Dan jangan lagi berkeliaran di sekitar sini, jika tidak.. aku tidak akan segan-segan melaporkan tindakan mu ini pada principal!" Ancam penjaga perpustakaan dengan wajah garang.
"Mana bisa seperti itu, pak. Kalau saya ambil lusa, bagaimana saya bisa menyelesaikan tugas saya? Apa bapak mau dituduh menyulitkan murid yang ingin menimba ilmu di sekolah ini?" Arkana mengancam balik sang penjaga perpustakaan.
Berpikir sesaat, jika diingat-ingat.. orang tua Arkana ini adalah salah satu donatur terbesar di Lavente. Jika si penjaga perpustakaan ketahuan menyulitkan Arkana untuk belajar, bisa-bisa kepalanya yang jadi taruhan! Oh tidak, dia masih ingin hidup dan bekerja di sini lebih lama. Sehingga dengan berat hati, pintu perpustakaan dibuka.
Ingin sekali Arkana berteriak keras untuk mengekspresikan keberhasilannya 'menipu' si penjaga perpustakaan, tapi tentu saja hal itu tidak dia lakukan.
Masuk ke dalam perpustakaan, Arkana tersentak oleh sosok bayangan putih yang seperti sedang menunggu kedatangannya, bayangan itu bergerak ke salah satu rak besar. Arkana mengikutinya. Dia terus berjalan bagai dituntun kompas berwujud kabut putih tebal.
Yang tadinya sosok itu hanya seperti sekelebat bayangan saja, kini berangsur-angsur berubah menjadi wujud yang lebih nyata. Arkana mengenalinya. Dia adalah gadis yang sering dirundung itu, sosok di depan Arkana perlahan-lahan menampilkan wajah kesedihan. Banyak luka lebam, bekas tamparan, lengkung mata terlihat menghitam, wajah cantiknya ketika masih hidup menjadi lebih dramatis dengan banyak hiasan kekerasan di sana.
"Ziudith..." Panggil Arkana.
"Kau mengenalku? Bukankah kau pernah bilang padanya jika kau tak pernah tahu siapa aku." Bibir Ziudith diam tak seperti orang bicara, tapi Arkana seakan bisa mendengar Ziudith berkata demikian.
Leher Ziudith tiba-tiba membuat gerakan seperti tulang dipatahkan. Bola mata yang tadinya hitam legam kini lepas dengan sendirinya, menggelinding ke bawah tepat di kaki Arkana. Arkana mencoba menguasai emosinya untuk tidak lari terbirit-birit dengan pemandangan mengerikan yang Ziudith pertontonkan. Tak sampai di sana, perut Ziudith seakan membentuk lubang, dari seragam sekolah yang dia pakai tetesan darah keluar dari sana.
Orang gila mana yang akan tahan dengan pemandangan seperti itu? Arkana tetap diam tak bergeming, berusaha tetap berdiri meski kakinya terasa seperti kehilangan tulangnya. Tanpa mulut yang bergerak, tanpa ekspresi apapun, hanya ada kehampaan dan kesedihan, Arkana bisa mendengar Ziudith tertawa. Tentu bukan tawa bahagia, tapi tawa penuh luka.
"Kau ingin tahu tentang ku? Kenapa baru sekarang kau mencari tahu semuanya? Di mana kalian saat aku dikucilkan? Di mana kalian saat aku menangis minta perlindungan? Di mana kalian saat aku mencoba berteriak tapi dibekap keadaan? Kalian tidak ada! Kalian pura-pura tidak melihat apapun juga."
"Kau mau lihat bagaimana dia melecehkan ku? Atau mau lihat bagaimana dia menenggelamkan temanmu di sumur tua belakang vila? Atau mau lihat bagaimana dia meregang nyawa? Pilih lah. Atau kamu mau lihat semuanya?"
Suara Ziudith seperti alunan kesedihan tak berkesudahan.
Lagi-lagi tanpa mulut yang bergerak, tapi Arkana bisa tahu apa yang diucapkan Ziudith padanya. Dia sempat menjatuhkan air mata, mungkinkah yang Arkana lakukan ini sesuatu yang percuma? Mencari tahu tentang kematian Bruno? Pentingkah itu? Lalu jika sudah tahu, dia mau apa? Apa yang akan dia lakukan setelahnya?
Kepala Arkana mendadak sakit. Sakit yang teramat sangat. Bahkan dia sampai ambruk dan memegang kepalanya dengan kedua tangan. Arkana berusaha melihat Ziudith yang masih melayang di udara. Ziudith memandangnya dengan tatapan kekecewaan.
"Sakit? Tidak. Itu bukan rasa sakit. Sakit adalah ketika tidak ada yang peduli padamu padahal kau ingin sedikit saja didengar. Sedikit saja dilihat, sedikit saja dianggap seperti manusia lain sebagai mana mestinya. Itu sakit yang selama ini aku rasakan."
Lalu lengkingan suara Ziudith seperti memecahkan gendang telinga. Arkana jatuh pingsan. Semua terasa runtuh, waktu tidak lagi terasa linear. Dunia tidak lagi nyata. Arkana tenggelam, masuk ke dalam memori milik Ziudith.
Memori ketika Samuel mabuk dan melecehkannya. Samuel membiarkan iblis dalam dirinya berkuasa dan membuat trauma mendalam untuk si gadis malang. Arkana berteriak keras, memukul, bahkan menendang Samuel, agar menghentikan perbuatan tak terpuji yang Samuel lakukan pada Ziudith, tapi semakin keras Arkana berteriak, semakin dalam penderitaan yang dia rasakan karena ternyata semua itu sia-sia saja. Arkana berteriak frustasi. Dia menjambak rambutnya tak ingin melihat semua ini! Ini terlalu menyakitkan!
Waktu seperti bola menggelinding, kali ini Arkana bisa melihat Ziudith menangis tanpa henti setelah kejadian itu. Dia ingin menceritakan apa yang dialaminya kepada Candy, satu-satunya orang yang dianggap teman oleh Ziudith. Tapi nyatanya, belum sampai Ziudith bercerita, Candy malah mengusirnya! Sialan! Dasar manusia tak punya hati! Arkana memaki Candy, menampar gadis itu tapi tidak berdampak apa-apa. Lagi-lagi semua yang dia lakukan hanya sia-sia.
Dan malam naas itu tiba. Ketika Ziudith memutuskan menghantarkan nyawanya pada pelukan iblis yang berjanji membalaskan dendamnya asal dia mau menukar dengan jiwanya. Merendam buku coklat usang itu dengan genangan darah dan air mata. Ya! Ziudith melakukan semua perintah setan itu. Demi rasa sakit hatinya bisa terbalaskan dengan harga setimpal, dia rela mengorbankan nyawanya. Semua itu sebanding dengan jiwa-jiwa yang akan iblis itu ambil nantinya. Jiwa-jiwa para pendosa penghuni neraka!
Arkana sudah tidak bisa lagi berkata-kata. Sakitnya melihat Ziudith yang putus asa meregang nyawa dengan menyayat nadinya sendiri, membuat hati Arkana sakit sejadi-jadinya. Kenapa harus dia yang melihat semua ini? Ini terlalu menyakitkan! Ini terlalu mengerikan!
Itu lah awal mula The Book memakan korban jiwa. Salah! Bukan memakan korban tapi Ziudith lah yang meminta The Book untuk melenyapkan mereka semua! Mereka yang tertawa di atas penderitaannya harus membalas dengan nyawa mereka.
Lalu apa hubungannya dengan Bruno? Apa Bruno juga terlibat dan termasuk dalam daftar yang harus dilenyapkan oleh The Book? Jawabannya, tidak.
Bruno terlalu banyak tahu, terlalu banyak menyimpan bukti, dia adalah kunci dari kekejian yang dilakukan Samuel terhadap Ziudith. Dengan tangannya sendiri, Samuel melempar Bruno ke dalam pekatnya sumur yang gelap, lembab, sesak dan mengantarkan pemuda malang itu perlahan-lahan menuju dunianya yang baru. Kematian.
Percakapan mereka saja bisa Arkana lihat dan dengar dengan jelas, seolah-olah Arkana berada di antara mereka.
"... Aku akan tetap menjaga rahasia mu. Aku janji! Aku bahkan tidak pernah mengusik urusan pribadi mu. Lalu kenapa kau semarah ini padaku?" Bruno terlihat ketakutan.
"Sayangnya aku lebih percaya pada kalimat ini... Hanya orang mati yang pandai menyimpan rahasia."
Senyum iblis Samuel muncul ketika dia membekap Bruno hingga pemuda itu pingsan tak sadarkan diri. Lalu dengan sekali gerakan cepat, Bruno sudah berada dalam sumur tua. Sumur tua itu menjadi saksi bagaimana kekejaman seorang ketua OSIS Lavente menghabisi nyawa temannya sendiri.
"Bruno... Dia bukan target The Book, bahkan dia tidak pernah bersinggungan dengan ku sama sekali, dia adalah korban nyata dari manusia yang jauh lebih jahat dari iblis manapun." Suara itu berputar dalam kepala Arkana.
Arkana meminta berhenti. Dia tidak kuat melihat semua pemandangan seperti ini. Jika bukan mati karena ketakutan, dia akan mati karena frustasi!
"Sudah cukup, Ziudith. Cukup.." Ungkap Arkana di dalam keheningan.
"Cukup? Belum... Kau bahkan belum melihat bagaimana teman mu itu menghembuskan nafas terakhirnya di dunia. Kau mau tahu?" Ziudith hanya menatap Arkana saja,
Arkana menolak. Dia menggeleng keras.
Ini bukan pertanyaan tapi pernyataan. Ziudith tetap mengajak Arkana melintasi waktu, bergerak mundur ketika Samuel merasa hancur atas pelecehan yang dia terima dari para berandal jalanan yang dibutakan oleh alkohol.
Di depan mata Arkana, dia melihat Samuel ditarik, dilucuti pakaiannya, diperlakukan seperti boneka, teriakannya seperti nyanyian pemberi semangat untuk para preman yang melecehkan Samuel. Tidak ada lagi harga diri, tidak ada lagi kesombongan, luntur sudah sifat angkuh dan jumawanya.
Di satu sisi Arkana tahu ini balasan untuk Samuel, tapi di bagian hatinya yang lain.. dia seakan tidak setuju atas apa yang Samuel alami. Ini terlalu brutal!
Terakhir, Arkana memandang silau saat mobil melaju kencang ke arahnya dan menabrak tubuh Samuel yang kehilangan harga dirinya.
"Ar! Arkana, bangun! Hei, aku mengkhawatirkan mu tapi kau malah enak-enakan tidur di dalam perpustakaan!"
Mata Arkana terbuka, dia merasakan kepalanya sangat pusing. Dia bahkan belum bisa berpikir ini masih di dalam memori Ziudith atau di dunianya sendiri. Wajahnya pucat, dia mengingat semua yang Ziudith tunjukkan padanya. Dan suara siapa tadi?
"Megan....?" Lirih Arkana menyentuh tangan seseorang yang membangunkannya.
"Megan? Megan siapa?! Aku penjaga perpustakaan! Ayo cepat bangun! Kau membuatku dalam masalah jika terus berada di sini!"
Oh ya Tuhan, ternyata bukan Megan yang membuat Arkana terbangun dari pingsannya. Lalu di mana Megan? Apakah dia masih ada di taman sekolah?
Tidak. Megan sekarang ada di dalam kamar asramanya. Padahal principal sedang meliburkan kegiatan belajar mengajar selama tiga hari, namun semua siswa diwajibkan untuk tetap tinggal di sekolah. Entah apa alasannya, pihak sekolah tidak memberi keterangan pasti.
Di dalam kamarnya, Megan tidur meringkuk. Matanya menatap ke arah tempat tidur di sisi lain ruangan ini, itu milik Ziudith. Helaan nafas terdengar. Megan ingin menutup mata tapi tiba-tiba ada sosok mengejutkan yang mensejajarkan wajahnya dengan muka Megan.
Megan nyaris berteriak saking terkejutnya. Wajah itu milik Ziudith. Megan tak bisa bicara apa-apa. Keringat dingin mulai muncul di keningnya. Dia masih dalam posisi yang sama, tiduran meringkuk!
Wajah Ziudith yang mula-mula pucat pasi, perlahan-lahan berubah jadi menyeramkan. Dia tersenyum dengan mulut robek sampai di batas telinga. Darah segar mengalir dari sana, bola matanya semua berwarna hitam legam. Wajahnya lamban laun semakin mengelupas seperti cat pada bangunan tua. Retakan itu memunculkan belatung yang jatuh mengenai wajah Megan. Megan merasakan nafasnya nyaris habis akibat sesak di dadanya. Tidak pernah dalam hidupnya merasakan ketakutan seperti ini. Kenapa tiba-tiba Ziudith muncul dalam bentuk yang seperti ini?
"Mau ikut dengan ku?" Tanya Ziudith dalam keheningan. Megan tidak menjawab, dunianya menjadi hitam!
Kan Megan pemeran utamanya
tadinya kami menyanjung dan mengasihaninya Krn nasib tragis yg menimpanya
tapi sekarang kami membencinya karena dendam yg membabi-buta
dikira jadi saksi kejahatan itu mudah apa?
dipikir kalo kita mengadukan ke pihak berwajib juga akan bisa 'menolong' sang korban sebagaimana mestinya?
disangka kalo kita jadi saksi gak akan kena beban moral dari sonosini?
huhhhh dasar iblissss, emang udh tabiatnya berbuat sesaddddd lagi menyesadkannn😤😤😤
karna kmn pun kamu pergi, dia selalu mengikutimu
bae² kena royalti ntar🚴🏻♀️🚴🏻♀️🚴🏻♀️
Megan tidak pernah jahat kepada ziudith,tapi kenapa Megan selalu di buru oleh Ziudith???!
Apakah Megan bakal kecelakaan,smoga enggak ah.. Jangan sampe
mau diem, diteror terus.. mau nolong, ehh malah lebih horor lagi juga🤦🏻♀️