"Aku terbangun di dunia asing. Tanpa ingatan, tanpa petunjuk, tapi semua orang memanggilku Aqinfa—seolah aku memang gadis itu."
Namun, semakin lama aku tinggal di tubuh ini, semakin jelas satu hal: ada sesuatu yang disembunyikan.
Wajah-wajah yang tampak ramah, bisikan rahasia yang terdengar di malam hari, dan tatapan pria itu—Ziqi—seolah mengenal siapa aku sebenarnya... atau siapa aku seharusnya menjadi.
Di antara ingatan yang bukan milikku dan dunia yang terasa asing, aku—yang dulu hanya Louyi, gadis sederhana yang mendambakan hidup damai—dipaksa memilih:
Menggali kebenaran yang bisa menghancurkanku, atau hidup nyaman dalam kebohongan yang menyelamatkanku.
Siapa Aqinfa? Dan… siapa sebenarnya aku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amethysti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bola giok hancur
Aqinfa melangkah ringan ke atas panggung batu. Ia menyapa tetua dengan anggukan singkat dan tersenyum pada alat pengukur meridian—sebuah bola giok besar yang memancarkan cahaya biru samar. Formasi qi di sekeliling alat itu mulai menyala saat ia mendekat.
“Letakkan kedua telapak tanganmu di permukaan giok,” (ujar salah satu tetua).
“Baik, Tetua,”( jawab Aqinfa santai, lalu meletakkan tangannya di bola giok).
Hening.
Satu detik.
Dua detik.
Tiba-tiba—"Trek!"—suara halus terdengar. Retakan menjalar dari dalam bola giok. Cahaya biru bergoyang liar. Alat itu mengeluarkan getaran aneh, membuat beberapa murid mundur panik.
Lalu—"Krakkk!"
Bola giok itu retak sempurna dari tengah, dan pecah perlahan seperti retakan es musim semi. Rangkaian formasi qi di sekitarnya mati satu per satu, seolah kehilangan kendali akan energi yang terlalu asing… atau terlalu besar untuk dipahami.
Semua orang membeku.
Aqinfa masih berdiri di tempat,
“Ehhh... aku nggak menekannya terlalu keras, kan?”(Seru aqinfa dengan alisnya terangkat).
Salah satu tetua mendekat cepat, memeriksa pecahan giok yang tak lagi berfungsi. Ekspresinya tidak bisa dibaca.
“...Meridian tidak terdeteksi. Qi internal... tak bisa diukur.”(Ujar salah satu tetua).
“Apakah artinya dia... gagal?” (bisik beberapa murid).
“Tapi tidak mungkin! Alatnya yang rusak, bukan dia!”( sahut murid yang lain).
Pemimpin akademi akhirnya melangkah maju. Ia mengangkat tangan, dan keributan kecil langsung mereda.
“Tes selesai!. Semua murid diperbolehkan beristirahat atau menuju aula makan. Hasil pengamatan akan diumumkan kemudian.”(Seru pemimpin dengan tegas)
Seisi lapangan bergumam. Beberapa masih terpaku memandang pecahan giok. Yang lain menoleh ke Aqinfa seolah dia alien dari langit.
Namun di antara keheningan itu, Aqinfa justru berjalan turun dari panggung seperti tidak terjadi apa-apa. Begitu kakinya menyentuh tanah, ia langsung menoleh mencari satu sosok...
Ziqi.
Pria itu baru saja membalikkan tubuh, hendak berjalan ke arah aula, ketika Aqinfa memanggil—dengan suara ceria yang sama seperti sebelumnya.
“Senior! Tunggu aku!”(Serunya dengan nada setengah panik).
Langkah Ziqi terhenti. Ia menoleh perlahan. Pandangannya tetap tenang seperti danau tanpa riak.
Aqinfa menghampirinya dan berdiri di sampingnya sambil menepuk-nepuk baju depannya yang berdebu.
“Alatnya... rusak. Bukan salahku, kan? Kan?”(Ucap Aqinfa dengan Mata membesar dan berkedip cepat seolah mencari jawaban di sekitar).
“Kau aneh.”(Ziqi menatapnya, lalu menghela napas pelan).
“Itu pujian?”(Aqinfa tertawa).
Mereka berjalan berdampingan tanpa berkata banyak. Tapi meski sunyi, langkah mereka tampak seirama.
Di sisi lain lapangan, Weimu baru saja hendak menuju aula makan saat ia melihat pemandangan itu.
Aqinfa. Bersama Ziqi. Lagi.
Ia tidak melangkah. Pandangannya kosong sesaat, lalu kembali seperti biasa. Ia tidak mengatakan sepatah kata pun—hanya menunduk sedikit dan menghela napas pendek.
Lalu ia mengikuti mereka dari belakang, langkahnya tenang namun terasa berat.
Aula makan kembali ramai. Aroma makanan mengisi ruangan, menyambut murid-murid yang lapar dan lelah. Di salah satu sudut meja, Aqinfa duduk di sebelah Ziqi seperti biasa. Tangannya sibuk mengambil roti qi dan minuman, sementara mulutnya nyaris tak berhenti.
Aqinfa menyeringai lebar, nyaris tertawa terpingkal. Matanya menyipit jahil, alisnya terangkat sebelah penuh kemenangan.
“Senior, kau tadi lihat ekspresi para tetua? Hahaha, aku kira salah satu dari mereka bakal pingsan saking bingungnya!”(Ia menepuk lengan Ziqi pelan, puas dengan kekacauan kecil yang ia sebabkan)
Ziqi tidak menjawab.
“Dan waktu alat itu retak, aku sempat mikir... wah, jangan-jangan aku termasuk yang dilarang lanjut, haha. Tapi siapa sangka, aku malah jadi pusat perhatian.”(Seru aqinfa dengan Tertawa kecil dan senyum merekah dengan nafas lega).
“Itu bukan sesuatu yang harus dibanggakan.”(Ziqi menyeruput tehnya dengan anggun).
“Kalau aku bisa merusak alat tanpa niat, berarti aku hebat dong. Iya kan?”(Aqinfa mencibir dengan percaya diri).
“…Kau berisik.”(Ziqi memiringkan kepala sedikit).
“Kau udah bilang itu lima kali hari ini, lho.”(Ujar aqinfa dengan sedikit cemberut)
Tak lama kemudian, Weimu datang membawa nampan makanan. Ia berhenti sejenak saat melihat mereka duduk bersama, lalu menarik kursi di sisi sebrang. Wajahnya tetap tenang, namun matanya menatap kosong ke piringnya sejenak sebelum berkata pelan,
“Selamat, Aqinfa.”(seru weimu dengan lembut)
Aqinfa menoleh padanya.
“Weimu! Duduklah yang tenang. Mau Aku ambilin minuman, ya?”(Tanya aqinfa menawarkan sedikit bantuan).
“Tidak perlu,”( jawab Weimu cepat).
Ziqi hanya melirik sejenak, lalu kembali makan.
Aqinfa tetap tak terganggu. Ia terus mengoceh, menciptakan suasana yang seolah tak ada apa pun yang berubah.
Namun di antara mereka bertiga, hanya satu yang tahu betapa senyapnya dunia ketika hati mulai retak diam-diam.