Dia terjerat dalam sebatas ingatan dimana sebuah rantai membelenggunya, perlakuan manis yang perlahan menjeratnya semakin dalam dan menyiksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Flashback (2)
Jessy menatap gaun pengantin yang cantik yang melekat di tubuhnya. Dia dengan pasrah mengenakannya dan mengikuti pelayan yang memperkenalkan dirinya bernama Hilda yang menuntunnya pada sebuah mobil. "Kemana aku akan pergi?"
"Ke tempat pernikahan," ucapnya.
Valeri menggeleng. "Ta- tapi dengan siapa aku menikah?"
"Dengan, Tuan." Hilda mendorongnya masuk dan membantu memasukkan gaunnya ke dalam mobil.
"Tunggu!" Valeri menahan Hilda. "Kenapa aku harus menikah dengannya?"
"Ini adalah yang terbaik, Nona."
"Apa maksudmu, aku tak mau menikah dengannya!" tak peduli ucapan Valeri, Hilda segera meminta supir untuk segera berangkat.
Valeri meremas tangannya erat. Matanya menatap jalanan yang ramai di luar sana. Pikirannya berkecamuk antara bingung dan sedih. Dia benar-benar harus menikah dengan pria jahat itu? Tapi kenapa? Agar dia bisa terus menyiksanya? Pria itu bilang dia akan di hukum seumur hidup? Tapi kenapa? Jelas itu bukan kesalahanya. Kenapa dia harus menanggungnya, bahkan menikah dengannya.
Tubuh Valeri terhempas saat mobil yang membawanya tiba-tiba berhenti. Valeri mendongak dan menatap ke depan. "Ada apa?" tanyanya pada supir. Namun bukannya mendapat jawaban supir tersebut justru mengeluarkan senjata dari dalam jasnya membuat Valeri terkejut.
"Kau mau apa?"
"Diamlah di dalam," ucap sang supir sebelum menutup pintu dan pergi. Tak lama kemudian terdengar suara tembakan saling bersahutan membuat Valeri menutup telinganya terkejut. Valeri melihat ke luar dimana masih terjadi baku tembak hingga pintu mobilnya terbuka dan Valeri di seret keluar.
"Mau apa kau!" Valeri meronta. Namun gaun besarnya membuat Valeri sulit bergerak.
"Diam! kalau kau tidak mau mati." Orang itu menodongkan senjata pada kepala Valeri yang seketika itu juga terdiam kaku.
"Ke- kenapa kau melakukan ini, apa salahku?" Valeri bergetar ketakutan dengan air mata yang mulai menetes di pipinya. Kenapa dia terus mengalami hal mengerikan.
"Salahmu adalah karena kau menjadi pengantin Mario." Valeri mengeryit.
Siapa Mario? Apa pria yang di sebut Tuan oleh Hilda?
"Sudah mengerti?" Pria di belakang Valeri menahan lehernya dengan tangan.
"Ta- tapi kenapa aku?"
"Karena kau adalah wanita yang berharga untuk Mario. Aku yakin dia tidak akan melawanku kali ini." Pria itu tertawa merasa menang.
Valeri menelan ludahnya. Bagaimana jika pria itu tahu kalau dia justru tawanan Mario.
"Kau yakin?" Valeri menoleh saat mendengar suara pria yang dia yakini bernama Mario. Ya, pria ini adalah pria yang menculiknya, lalu kini akan menjadikannya pengantin.
"Jangan mendekat! Sebaiknya kau siapkan helikopter untukku. Atau aku akan menembak pengantinmu!" teriak pria itu.
Valeri semakin bergetar saat Mario justru tertawa. "Kau pikir aku peduli? Kau mencuri uangku dan sekarang kau memerintahku?"
"Apa maksudmu?"
"Tarik saja pelatukmu, aku tak peduli." Valeri menggeleng dengan menatap Mario yang menampakan kilatan dendam padanya. Pria itu tak peduli hidup dan matinya. Lagi pula jika dia mati Mario pasti akan senang.
Pria yang menyandera Valeri nampak terkejut saat Mario tak acuh pada Valeri.
"Apakah gadis ini bukan kekasihmu?"
"Kau pikir aku akan mengumpankan kekasihku?" Mario menyeringai. "Aku lihat kau langsung muncul, bukankah aku tak perlu repot mencarimu?"
Valeri tertegun saat menyadari jika Mario sengaja mengumpankannya untuk memancing pria di belakangnya.
Tentu saja, memang apalagi? Mata Valeri menatap dengan penuh embun pada Mario yang tak memiliki perasaan dan justru menodongkan pistol ke arahnya.
Dor!
Dor!
Suara tembakan terdengar membuat Valeri menutup telinganya dan berjongkok. Valeri bahkan menjerit saat darah muncrat mengenai gaun pengantin yang dia kenakan membuat gaun putih itu nampak mengerikan sebab di penuhi darah pria yang tadi menyanderanya dan kini terkapar tak bernyawa.
Valeri masih berjongkok dengan menutup telinganya. Tubuhnya bergetar ketakutan dan terasa lemas. Suara tembakan bahkan masih berdengung di telinganya hingga Valeri merasa suara di sekitarnya menghilang.
"Kau takut?" Valeri mengepalkan tangannya mendengar suara Mario yang penuh ejekan. "Tenang saja, kau tidak akan mati dengan mudah. Lagi pula jika kau harus mati, kau akan mati di tanganku." setelah itu Mario pergi dan para pengawal kembali membawa Valeri yang nampak masih terkejut.
....
"I, Mario Delan Re, take you, Jasmine Holscher, to be my wife, and I pledge to love, honor, and cherish you, to be faithful to you, and to walk alongside you in faith, for the rest of my life. I will support you, encourage you, and love you unconditionally, as Christ loved the church."
Valeri menatap Mario dengan penuh kemarahan dan penderitaan. Bukan hanya memaksa, dan menyiksanya, Mario bahkan menikahinya dengan nama kekasihnya. Pria itu menyebut wanita lain di saat menikahinya.
Mata Valeri mengembun. Bukan karena terharu. Tapi karena merasa dia sedang di permainkan.
Mario mendekat saat ikrar janji suci selesai, pria itu hendak menciumnya, namun Valeri justru menjauh.
Mario menarik sudut bibirnya. Bukannya menyerah Mario justru menarik rambut Valeri agar mendongak lalu dia merenggut bibirnya dengan kasar. Valeri bahkan merasakan bibirnya perih sebab pria itu menggigitnya hingga berdarah.
"Bagaimana rasanya menjadi pengganti?"
"Brengsek," desis Valeri dengan mengusap kasar bibirnya.
Mario tertawa mengerikan lalu mendorong Valeri hingga jatuh terduduk. "Harusnya hari itu kami menikah. Tapi orang tuamu justru berbuat hal kejam, hingga kekasihku mati mengenaskan." Mario menunduk menatap gaun Valeri yang penuh darah lalu menyeringai. Tangannya mencengkram ujung gaun Valeri, lalu mengangkatnya sejajar dengan mata Valeri. "Penampilannya bahkan lebih mengerikan dari pada kau saat ini. Darah yang ada di gaunnya adalah darahnya sendiri." Mario menghempaskan gaun itu dengan kasar.
Valeri tertegun dengan mata mengembun, untuk sesaat dia bisa melihat kesedihan di mata Mario sebelum kembali datar seperti sebelumnya. "Aku tidak tahu, maafkan aku," lirihnya di penuhi perasaan bersalah.
"Jadi, pantas bukan kau yang menanggung dosa mereka?" Valeri menggeleng.
"Dan bagaimana menurutmu perasaan mereka saat melihat putri mereka hidup sia- sia?" Valeri mengepalkan tangannya dengan air mata yang terus mengalir. "Aku harap mereka kembali dari kubur agar aku bisa membunuh mereka dengan tanganku sendiri."
Mario menegakkan tubuhnya dengan mengusap tangannya yang tadi menyentuh Valeri dengan kasar lalu membuang sapu tangan tersebut seolah itu benar-benar menjijikan. "Bersiaplah untuk malam pengantin kita." Setelah itu Mario kembali meninggalkan Valeri yang lagi- lagi harus menurut dan di seret para pengawal.
....
Satu lagi flashback di depan, harap bersabar ya guys😁
Mohon maaf jika ada typo🙏