Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.
Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.
Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Di dalam kabin pesawat pribadi yang mewah, Aldric duduk di kursinya mengenakan jas abu-abu dan kemeja putih yang rapi.
Tangannya memegang dokumen kerja, namun pikirannya mulai melayang entah ke mana.
Ia menatap ke luar jendela, melihat langit pagi yang cerah. Namun entah kenapa, dadanya terasa sesak, jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.
Ia menyandarkan tubuhnya dan memijat pelipis.
"Kenapa perasaanku tiba-tiba tidak enak," gumamnya lirih.
Pramugari mendekat, memberi tahu bahwa pesawat akan segera lepas landas dalam beberapa menit. Aldric mengangguk, mencoba menenangkan pikirannya. Tapi detik berikutnya—
Drrt! Drrt!
Ponselnya bergetar. Nama staf rumahnya muncul di layar. Ia mengangkat dengan cepat.
"Tuan! Maaf kami mengganggu, ini darurat!" suara panik terdengar dari seberang.
Aldric langsung duduk tegak. "Ada apa?"
"Nona Arlena... dia menghilang!" jawab staf itu dengan suara gemetar.
"Apa maksudmu menghilang?" nada suara Aldric meninggi.
"Kami menemukan jejak kaki dan... ada bekas karung!"
Aldric membeku. Matanya melebar. Seketika itu juga, pikirannya langsung mengarah ke kemungkinan terburuk.
"Sepertinya... dia diculik, Tuan." suara staf itu semakin kecil, namun cukup untuk membuat dada Aldric bergemuruh.
Tanpa pikir panjang, Aldric berdiri dari kursinya.
“Batalkan penerbangan ini! Sekarang juga!” teriaknya kepada pramugari dan awak kabin.
Ia memutus panggilan dan segera mengambil jaket serta tasnya. Seluruh tubuhnya dipenuhi adrenalin.
"Arlena… bertahanlah… aku akan menemukanmu."
Ia melangkah cepat keluar dari pesawat yang belum lepas landas.
Dalam benaknya, hanya satu hal yang berputar siapa yang berani menyentuh miliknya?
Setelah keluar dari bandara dengan langkah cepat dan wajah tegang, Aldric segera menghubungi Raka.
"Halo, Raka. Aku butuh bantuanmu, sekarang juga," ucap Aldric tanpa basa-basi.
"Ada apa? Bukannya kamu lagi tugas ke luar kota?"
"Rencana berubah. Arlena... dia diculik." Suara Aldric dalam dan penuh tekanan.
Hening sesaat di seberang. "Apa? Siapa yang berani—"
"Aku juga belum tahu. Tapi kemungkinan besar orang-orang dari masa lalunya. Aku butuh kamu untuk cek CCTV sekitar rumahku dan pasar tempat terakhir dia terlihat. Aku akan ke rumah sekarang."
"Oke. Aku langsung jalan. Kirim semua yang kamu punya. Kita temukan dia."
Aldric mematikan telepon dan mempercepat laju mobil.
Matanya tajam, rahangnya mengeras. Ia tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Arlena. Tidak sekarang. Tidak setelah semua perjuangannya.
Sesampainya di rumah, Aldric turun dari mobil dengan langkah tergesa. Dua staf rumah menyambutnya dengan wajah panik.
"Tuan… kami sudah cek semuanya. Tapi… CCTV-nya…"
Aldric langsung masuk ke ruang keamanan dan menatap layar monitor kosong. "Apa maksud kalian?"
Salah satu staf menunjuk ke perangkat yang tergantung rusak.
"Semua CCTV telah dirusak, Tuan. Kami tidak tahu kapan atau siapa yang melakukannya. Kabelnya dipotong, memorinya juga hilang."
Aldric mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras, matanya penuh amarah dan kekhawatiran.
"Mereka sudah merencanakannya dengan matang," gumamnya. Ia berbalik, menatap kedua staf.
"Mulai sekarang, rumah ini dijaga ketat. Hubungi satpam lingkungan. Dan kalian, cari tahu siapa saja yang masuk ke lingkungan ini pagi tadi."
Ia lalu menghubungi Raka.
"Raka, kabar buruk. Semua CCTV rumahku dirusak. Mereka pintar. Ini bukan penculikan biasa. Mereka tahu apa yang mereka lakukan."
"Aku paham. Aku sudah minta orangku cari mobil-mobil mencurigakan di sekitar area. Kita masih bisa dapat petunjuk."
Aldric mengepalkan tangannya sekali lagi.
"Bertahanlah, Arlena. Aku akan menemukanmu."
Sebuah mobil tua berhenti di depan gerbang rumah Aldric.
Seorang pria paruh baya turun dengan wajah tegas, sorot matanya tajam dan penuh kekhawatiran. Dia adalah Paman Arlena, adik dari ayah Arlena satu-satunya kerabat yang selama ini diam-diam mengkhawatirkan keponakannya namun tak berdaya menghadapi kekuasaan kakaknya.
Ia datang untuk menemui Arlena. Beberapa hari sebelumnya, ia sempat mendengar kabar bahwa Arlena tinggal di rumah seorang pria bernama Aldric, pria terpandang dan disiplin yang konon memperlakukan Arlena dengan baik.
Paman Arlena ingin memastikan bahwa kabar itu benar dan bahwa Arlena baik-baik saja.
Namun saat ia tiba di gerbang rumah megah itu, ia disambut oleh wajah-wajah panik.
Salah satu staf rumah yang melihatnya datang segera menyapanya, mengenali wajah yang pernah datang saat menjemput Arlena dulu.
"Anda… Paman Arlena, bukan?"
"Iya. Aku ingin bicara dengan Arlena," ujarnya sambil menatap ke dalam.
Staf itu menundukkan kepalanya, wajahnya gelisah.
"Nona Arlena… hilang. Sepertinya dia… diculik."
Paman Arlena membeku. Matanya melebar, seolah kata-kata itu tidak masuk akal.
"Apa kau bilang?"
Staf itu mengangguk pelan. "Kami juga baru tahu pagi ini. CCTV rumah dirusak, dan… tak ada jejak siapa pelakunya."
"Ini pasti mereka…!" desis Paman Arlena. Wajahnya memerah, bukan hanya karena marah, tapi karena rasa bersalah yang selama ini ia pendam.
"Kakakku dan anak-anaknya… mereka pasti di balik semua ini!"
Tanpa menunggu lebih lama, ia meminta untuk bertemu langsung dengan Aldric.
Beberapa menit kemudian, Paman Arlena sudah berdiri di ruang tamu bersama Aldric. Wajah Aldric terlihat lelah namun tetap penuh kewaspadaan.
"Tuan Aldric," ujar sang paman, "saya datang hari ini untuk menemui Arlena. Tapi jika dia benar-benar diculik… saya yakin pelakunya adalah keluarga kandungnya sendiri."
Aldric menatapnya tajam. "Apa Anda yakin?"
"Saya tahu karakter mereka. Mereka menyiksa Arlena sejak kecil. Dia hanya dijadikan sumber uang. Mereka tidak suka saat dia bahagia atau lepas dari kendali mereka."
Aldric mengangguk perlahan. Segala potongan informasi di kepalanya mulai membentuk pola.
"Terima kasih, Pak," ucapnya dengan suara datar namun tegas.
"Informasi ini sangat berarti. Kami akan segera menyusuri semua koneksi dan tempat yang mungkin mereka gunakan. Saya bersumpah akan membawa Arlena kembali dan memastikan tidak seorang pun dari mereka menyentuhnya lagi."
Paman Arlena menundukkan kepala dengan rasa haru.
"Jaga dia, Tuan. Arlena sudah terlalu lama hidup dalam penderitaan. Dia pantas bahagia."
Dan dengan itu, perburuan Aldric dimulai dengan petunjuk yang lebih jelas: keluarga kandung Arlena kini menjadi target utama pencarian.
Di sebuah gudang tua yang terletak jauh dari pemukiman warga, hanya suara tikus, angin malam, dan dentingan rantai yang menggantung di atap-atap reyot yang terdengar.
Di dalamnya, suasana lebih mencekam. Lampu gantung redup bergoyang perlahan, menciptakan bayangan mengerikan di dinding kusam.
Di sudut ruangan, terikat dengan tali kasar di tangan dan kakinya, Arlena duduk dengan tubuh lemah. Wajahnya penuh luka, rambutnya kusut, dan bajunya sobek tak karuan.
Dimas dan Ryan, dua lelaki yang tak punya sedikit pun belas kasihan, berdiri di hadapannya.
Mata mereka penuh dendam yang tak pernah benar-benar Arlena pahami.
"Dasar perempuan tak tahu diri!" bentak Ryan sambil menyiramkan air dingin ke wajah Arlena.
Arlena menggigil. Luka di pipinya perih saat terkena air. Dimas tertawa pendek, lalu dengan kasar menjambak rambut adiknya.
"Lihat dirimu sekarang. Dulu kamu cuma pemulung! Tapi sekarang berlagak jadi perempuan bangsawan!"
Air mata Arlena menetes, entah karena sakit fisik atau perasaan hancur yang tak bisa ia lukiskan.
"A-apa salahku?" lirih Arlena, suaranya serak dan lemah.
"Kenapa kalian membenciku…? Aku kakak kalian… keluarga kalian…"
Belum sempat Dimas menjawab, suara pintu kayu berderit terbuka perlahan.
Sosok ibu mereka muncul di ambang pintu. Arlena yang masih berharap, mencoba memanggilnya pelan, "Bu… Ibu tolong aku… Aku… anakmu…"
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Arlena, membuatnya terhuyung dan hampir jatuh ke lantai yang dingin dan kotor. Arlena menatap ibunya, syok, air matanya mengalir deras.
Sang ibu menatapnya dengan mata yang penuh kebencian, dan suara yang keluar darinya lebih dingin dari udara malam.
"Kamu bukan anakku!"
Dunia Arlena seakan berhenti berputar. Jantungnya berdegup kencang. Pikirannya membeku.
"Kamu… bukan… anakku?" bisiknya nyaris tak terdengar.
Sang ibu mengangguk pelan, lalu mendekat. "Dua puluh tahun lalu… aku membawamu pergi dari rumah Ayahmu. Aku mencintai ayah kamu tetapi ayah kamu tidak pernah menghiraukan aku. Aku ingin kehidupan yang lebih baik. Tapi kamu? Kamu malah jadi beban!"
Ryan dan Dimas tertawa puas di belakang. Sementara Arlena hanya bisa menatap kosong ke arah tanah, seluruh kenyataan hidupnya runtuh seketika.
"Selama ini… aku bukan siapa-siapa di rumah itu…" gumam Arlena.
"Semua pukulan… semua makian… ternyata bukan karena aku tidak berguna, tapi karena… aku memang bukan bagian dari kalian."
Ibu itu hanya mendengus. "Sekarang kamu akan kami jual. Akan ada orang kaya yang ingin membeli pelayan muda. Kamu berguna… hanya sebagai barang."
Namun di tengah kehancuran itu, sesuatu dalam diri Arlena bangkit.
Ia menggigit bibirnya, menahan isak, lalu menatap mereka satu per satu.
Luka dan darah di wajahnya tak menyembunyikan tatapan yang kini berubah. Tatapan penuh tekad.
"Aku akan pergi dari sini. Dan saat aku bebas… kalian akan menerima balasan untuk semua ini."
Mereka tertawa keras, menganggapnya lelucon. Tapi di luar gudang, tak seorang pun dari mereka menyadari bahwa perburuan untuk menyelamatkan Arlena telah dimulai—dan Aldric tidak akan berhenti sampai ia menemukannya.