"Yang kalian lakukan salah."
Baik Meyra maupun Fero tidak mempedulikan apa yang mereka lakukan itu salah atau benar. Yang mereka tau ialah mereka senang dan puas karena melakukan hal yang mereka inginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aalgy Sabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Angry
◻️◻️◻️
Di kantin
"May, kita pindah aja y-yu," ucap Ella pelan di telinga Mayra. Ia tidak nyaman dengan situasi ini, dimana Mayra menjadi objek bagi hampir seluruh siswa di kantin ini yang otomatis Ella ikut tersorot juga di meja yang mereka pilih dimana terdapat Fero dan kedua temannya. Ella tak nyaman.
"Ella-ku gapapa, makan aja gak perlu peduliin mereka," ucap Mayra dengan santai, seolah tak pernah berbuat dosa.
Mayra lupa apa tadi—siapa yang teriak-teriak gak jelas? Yang lompat-lompat kayak bocah? Yang ketawa-ketiwi kek kunti dari tadi?
Apakah Ella harus mengingatkan Mayra? Kalau semua ini karena Mayra yang bertingkah tak masuk akal sehingga Mayra menjadi bahan perhatian.
"Lo sih, betingkah kek orgil jadi temen lo malu tuh!" Tuduh Ephen.
"Heh lo gajah, bacot banget! Ella juga gak suka di deket lo makannya dia nyuruh pindah bukan karena gue!" Mayra melotot pada Ephen.
Sahabat Fero yang satu ini selalu bikin darah tinggi. Tak seperti yang satu lagi, Tino. Dia lebih kalem dari Ephen. Walaupun gak kalem-kalem amat.
"Lo berdua tuh bisa diem gak si? Temen lo mau pergi karena kalian berdua!"
Mayra mendelik pada Tino.
"Makan."
Hanya satu kata, tapi dapat membuat diam tak berkutik. Ia menuruti ucapan Fero dan mulai memakan makanan yang ia pesan tadi.
Sebenarnya Fero kesal, karena tadi Mayra tiba-tiba bertingkah memalukan refleks ia membekapnya dan membawanya ke meja yang sudah ditempati.
Makannya daritadi ia hanya bisa diam menyimak perdebatan mereka—Mayra, Ephen, Tino, dan Ella yang selalu mengajak Mayra pergi.
Fero ini orangnya gak peka, makannya ia gak ngerti apa penyebabnya Mayra bisa bertingkah segak masuk akal itu. Lebih baik ia tanyakan saja.
"Lo tadi kenapa?"
"Masa lo gak peka sih?" Jawab Mayra kesal.
Fero mengerutkan keningnya. "Hah?"
Mayra menghela napas kesal, "Gue tuh baper sama lo bule."
"Baper kenapa?" tanya Fero semakin bingung.
Tino memukul kepala Fero, "Lo masa gak ngerti? Gue aja yang liat ngerti anjir."
Mayra menyentak kasar mangkuk baso miliknya. "Gue gak napsu anjir, ke kelas yu Ell."
Ella langsung tersenyum sumringah dan mengangguk. Lalu Mayra dan Ella pergi dari meja yang mereka tempati meninggalkan ketiga pria itu.
"Aku bawa makan sebenernya, gimana kita makan berdua aja?"
Mayra langsung mengangguk semangat. "Untung lo bawa makan Ell, gue masih lapar tapi gue kesel liat muka si Fero tadi!" Mayra memasang wajah sedatar mungkin, "tadi pagi aja bilang kalau baper bakal tanggung jawab. Pas gue baper bener, malah gak ngerti!"
Ella tak berkomentar, dan tak sampai beberapa lima menit keduanya sampai di kelas. Masih ada Aldi dkk di sana. Mayra acuh tak acuh, urusannya sudah selesai tadi—saat seluruh unek-uneknya sudah tersalurkan.
"Aku cuma bawa nasi goreng—"
"Pokoknya gue cuman mau makan, apapun yang lo bawa."
"Katanya kamu mau cerita," ucap Ella sambil membuka tupperware yang tadi sudah diambilnya dari tas.
Mayra menggeser kursinya lebih mendekat pada Ella. "Gue cerita tapi sambil lo suapin."
"Oke."
"Lo dulu tau kan gue pacaran sama si onoh," Mayra mengedikkan dagunya ke belakang, "tapi oh tapi kita putus dan putusnya itu gara-gara adik gue sendiri."
Ella menyuapkan sendoknya pada Mayra, "Hasna?"
Mayra mengangguk, mulutnya mengunyah dengan teratur.
"Karena itu kamu berubah?"
"No, gue sih gak peduli ya mau putus atau gimana juga soalnya waktu itu gue masih bocil. Tapi dari kejadian itu mind set gue berubah. Seberapa lamapun lo berhubungan itu gak berpengaruh sama kepercayaan. Kadang orang yang baru lo kenal aja lebih percaya sama lo, so what sekarang gue kayak lebih banyak kenal sama orang biar gue tau mana orang yang bisa percaya sama gue atau enggak. Karena kalau gue ngerasa orang itu bakal percaya sama gue, otomatis gue bakal nyaman sama orang itu."
Mayra menerima suapan dari Ella.
"Emang gimana kejadiannya?"
Selesai dengan kunyahannya Mayra menjawab pertanyaan Ella. "Gue ditelpon sama seseorang gitu disuruh ke tempat hiburan malam, katanya si onoh ada di sana dan butuh bantuan gue. Gue ya langsung dateng ke sana, terus pas di sana malah gue yang dituduh. Katanya gue suka main ke club suka hura-hura, mabok-mabokan—dan si onoh itu gak suka sama hal kek gituan. Akhirnya dia mutusin gue dan lebih percaya sama omongan si adek laknat. Gue sih gapapa diputusin, tapi sikap gak percayanya itu lho bikin gue keki tiap liat dia apalagi sekarang kan mereka pacaran—lebih tepatnya gak lama setelah putus sama gue dia pacaran sama tukang caper itu."
Mayra mengambil alih tempat makan itu dari Ella.
"Jadi karena itu kamu berubah jadi kayak sekarang?"
"Iya, ternyata percuma lo bersikap baik tapi tetep aja dianggap buruk. Lebih baik kayak gini, gue yang apa adanya, gue yang ngelakuin apa mau gue, gue yang bisa tau orang busuk itu kayak apa—"
"Bukannya cara kamu itu salah, seharusnya kamu menjadi seseorang yang lebih baik lagi biar orang itu menyesal."
Mayra mengedikkan bahu acuh. "Gue bosen jadi orang baik."
Ella memukul pelan tangan Mayra dan Mayra hanya tertawa.
Seseorang yang tepat di belakang mereka mendengarkan semua obrolan Ella dan Mayra. Tak ada yang terlewatkan olehnya. Walaupun keduanya tadi berusaha berbicara sepelan mungkin.
Aranya sudah berubah ... dan itu terjadi karenanya.
◻️◻️◻️
"Lo tuh goblok banget sih Fer!" Rutuk Ephen.
"Hah?"
"Hah hihah, kek kuda lo. Masa gak paham sih si cewek sipit itu baper kenapa?"
Fero menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Gue bener-bener gak tau."
"Temen lo ini pertama kali deket sama cewek, wajar lah. Pengetahuannya masih warior belum mytic," ucap Tino.
"Dia pergi karena kesel?"
"Masih nanya lagi!" Ephen menggebrak meja kasar lalu mengaduh setelahnya karena meja ini tidak selembek itu bambang.
"Dia pergi karena lo gak peka, Mayra baper karena tadi dia dirangkul sama lo Fer," jelas Tino.
"Tapi ... biasanya di gak marah selemot apapun gue," ucap Fero.
"Mungkin dia lagi pms, kan cewek biasanya gitu kalau pms," celetuk Ephen.
"Tapi dia bilang kalau pmsnya sekitar tiga harian lagi."
Ya, keduanya sangat dekat bahkan siklus pms pun Mayra ceritakan pada Fero.
"Kok lo bisa tahu kapan si sipit dapet? Jangan-jangan kalian berdua udah nganu?" Todong Ephen dengan jari yang teracung mengintimidasi.
"Nganu, nganu, lo pikir si Mayra Ditakerang?"
Ephen cengengesan, setelah itu kembali menoleh pada Fero. "Hayo ngaku lo!"
Fero gelagapan. "Eng-enggak lah."
"Bentar-bentar ... gue kayak pernah denger suara Mayra," ucap Tino sambil menerawang jauh ke masa lalu.
Fero semakin kalang kabut. Sial! Jangan sampai Tino ingat kalau Mayra itu seseorang yang pada malam itu bersamanya. Malam di mana awal mereka bertemu di club.
"Gak mungkin." Fero berdiri dari duduknya dan berniat menyusul Mayra.
"Lo jangan nyusul Mayra dulu, dia masih marah. Ntar aja lo ajak pulang bareng omongin baik-baik."
Fero mengangguk, benar apa kata Tino. Yang ia tahu Mayra ini orangnya gak gampang marah seperti itu, jadi kalau marah juga pasti sebentar. Gak akan lama-lama. Kesimpulan Fero sih seperti itu, semoga saja benar adanya.
Mereka berakhir dengan berdiam di sana sampai akhirnya bel sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu.
"Bolos aja uyy, ke warung sebelah," ucap Ephen.
"Yok," ujar Tino.
Fero mengikuti mereka berdua dari belakang sambil mengutak-atik hpnya.
◻️◻️◻️
Parkiran itu sangat ramai dengan para siswa yang ingin segera pulang ataupun hangout bersama temannya. Di saat semua orang terlihat gercep, Fero malah terdiam di atas motornya—menunggu seseorang.
Derap langkah kaki yang terdengar pelan masuk ke telinga Fero, ia menoleh dan menemukan Mayra yang sepertinya akan mengagetkannya.
"Gagal deh," ucapnya pelan.
"Lo pake jaket siapa?" tanya Fero datar, apa-apaan Mayra.
"Aldi."
Sepertinya yang akan merajuk di sini Fero, bukan Mayra lagi. Ralat, bukan merajuk tapi marah.
◻️◻️◻️