Judul buku "Menikahi Calon Suami Kakakku".
Nesya dipaksa menjadi pengantin pengganti bagi sang kakak yang diam-diam telah mengandung benih dari pria lain. Demi menjaga nama baik keluarganya, Nesya bersedia mengalah.
Namun ternyata kehamilan sang kakak, Narra, ada campur tangan dari calon suaminya sendiri, Evan, berdasarkan dendam pribadi terhadap Narra.
Selain berhasil merancang kehamilan Narra dengan pria lain, Evan kini mengatur rencana untuk merusak hidup Nesya setelah resmi menikahinya.
Kesalahan apa yang pernah Narra lakukan kepada Evan?
Bagaimanakah nasib Nesya nantinya?
Baca terus sampai habis ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Beby_Rexy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Nesya masuk ke dalam menara setelah puas berjalan kaki seorang diri menikmati pemandangan indah yang tersembunyi di balik hutan pohon-pohon raksasa. Siang itu, mood-nya sudah menjadi lebih baik, malahan dia ingin kembali lagi ke tempat tadi.
“Mungkin besok lagi,” gumam Nesya, berjanji untuk kembali ke tempat yang dia kunjungi beberapa saat yang lalu. Meski pohon-pohon besar disana cukup membuat takut, namun jika siang hari, pantulan dari sinar matahari membuat hutan itu terlihat cantik.
Setelah selesai menghabiskan makan siangnya, Nesya memilih untuk mandi dan di lanjutkan dengan tidur siang, tinggal beberapa hari disana membuatnya memiliki banyak waktu luang untuk bersantai.
“Tapi lama-lama aku bisa gemuk kalau hanya makan tidur saja,” gumamnya lagi lalu terkekeh.
Jika berada di rumah orang tuanya, Nesya selalu rajin bangun subuh dan langsung membantu pekerjaan ibu dan juga bude, lalu Sifa akan datang di pukul delapan.
“Sifa.” Nesya menghela napas saat teringat pada sahabat satu-satunya tersebut. Inginnya bertukar telepon untuk mengabari keadaannya, sebab Nesya yakin Sifa pastilah sangat merisaukan dirinya saat ini. Namun, dia lupa apakah dirinya benar-benar membawa ponsel setelah hari pernikahan kala itu atau kah tidak.
“Apa sebaiknya aku mencari ponsel ku di kamar Evan saja, ya? Huh pasti aku di larang kembali kesana.” Nesya jadi kesal.
Tepat ketika Nesya baru keluar dari kamar mandi, terdengar suara ketukan di pintu. Dia pun bergegas membuka kunci pintunya karena saat itu pintu ruangan tersebut sudah tak lagi di kunci dari luar.
“Selamat siang nyonya, boleh aku masuk?” Kiki berdiri di depan pintu bersama dengan dua orang pelayan wanita yang salah satunya adalah Lisa.
“Masuklah.” Nesya menyahut santai lalu melangkah lebih dulu.
Ruangan yang besar itu memiliki tiga area sofa yang di sekat untuk pemisah, lalu satu buah sekat lagi untuk meja makan. Dua kamar lainnya yang berada diruangan tersebut sudah Nesya masuki yang ternyata isinya adalah perpustakaan mini dan satu lagi berisi berbagai macam model tas wanita hingga alas kaki seperti sepatu dan sandal branded khusus wanita juga, yang anehnya berukuran pas dengan kakinya. Jumlahnya kalau Nesya perkirakan mungkin saja ada ratusan, sebab barang-barang tersebut disusun berderet hingga bertingkat-tingkat sampai menyentuh langit-langit.
Nesya segera duduk di salah satu sofa lalu Kiki juga turut duduk di seberangnya sedangkan dua orang pelayan lagi hanya berdiri saja di dekat mereka. Hal itu membuat Nesya heran, mengapa hanya Kiki saja yang duduk sedangkan mereka tidak?
“Kalian duduklah,” pinta Nesya, berkata kepada dua orang pelayan yang berdiri.
“Oh itu tidak boleh, Nyonya. Pelayan harus berdiri jika majikan sedang duduk, itu aturan yang sudah ada sejak dulu kala di keluarga ini. Mungkin Anda belum mengetahuinya,” sambar Kiki yang terlihat sok.
Nesya heran lantas bertanya. “Lalu kenapa hanya kamu saja yang duduk?”
Kiki berdehem tak bisa menjawab sedangkan pelayan lainnya melirik kearahnya. “Aku berbeda dari mereka, Nyonya. Euh bisa aku sampaikan apa tujuanku datang menemui Anda kemari?” Ucapnya, seperti tak ingin melanjutkan pembahasan tentang statusnya yang berbeda dari pelayan lainnya.
Nesya mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban “YA” lalu mulai menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa dengan sikap santai.
Sebelum mulai membicarakan tujuannya, Kiki kembali mengucapkan sesuatu kepada pelayan yang memancing rasa tak suka Nesya. “Kalian tolong buatkan aku jus lemon, salah satu dari kalian saja.” Lalu kemudian ia beralih pada Nesya. “Apa Anda juga mau di buatkan minuman, Nyonya?”
Terheran-heran Nesya mendengar nya sampai-sampai mulutnya terbuka sedikit. “Kiki, kamu tidak boleh memerintah mereka.”
“Maaf?” Tanya Kiki, pura-pura tak mengerti pada perkataan Nesya.
“Ku rasa ucapanku sangat jelas dan bisa kamu dengar, ‘kan?” Nesya melipat kedua tangannya di depan dada.
Kiki yang angkuh seperti tak ingin kalah karena menganggap dirinya jauh lebih tinggi dari status para pelayan biasa di villa tersebut, kembali berkata, “Katakan saja Anda ingin minum apa maka mereka akan membuatkannya, Nyonya.”
Nesya langsung bereaksi dengan merubah posisi duduknya menjadi tegak. “Aku tidak butuh minum dan kamu tidak berhak memerintah mereka!” Nada bicara Nesya yang keras mengagetkan seluruh pelayan termasuk Kiki, namun kepala pelayan tersebut tetap menahan reaksinya menjadi biasa.
“Kalian tetap disini dan jangan pergi sebelum pembicaraan kita selesai,” perintah Nesya pada dua orang pelayan yang tengah berdiri tersebut.
“Baik, Nyonya,” sahut kedua pelayan itu membuat Kiki melirik mereka dengan raut kesalnya.
Nesya kini kembali duduk tenang, dia sangat tak habis pikir pada sikap Kiki padahal dia juga pelayan disana. “Apa kamu sudah bisa bicara sekarang?” Tegurnya pada Kiki yang masih melirik dua pelayan lainnya hingga lirikan itu beralih padanya.
Kembali berdehem, akhirnya Kiki mengalah dan mulai menyampaikan tujuannya. “Aku ingin menyampaikan kepada Anda bahwa malam ini Anda dan Tuan Muda akan menghadiri makan malam di rumah besar, gaun yang di bawa oleh Lisa itu adalah gaun yang harus Anda kenakan malam ini. kita akan berangkat pada pukul enam sore dan tiba disana tepat pada waktunya makan malam.”
Nesya menengok kearah Lisa yang sedang memegangi sebuah plastik bening panjang yang rupanya berisi gaun. “Rumah besar?” Tanyanya beralih pada Kiki.
“Rumah besar adalah tempat kediamannya Tuan dan Nyonya besar, maksudku jika Anda belum mengenal mereka, nama mereka adalah Tuan Baskara dan Nyonya Rosaline. Ayah dan ibu dari Tuan Muda Evan, ehm maksduku ayah tiri,” jawab Kiki meralat status Baskara di keluarga tersebut.
Kening Nesya berkerut saat mendengarnya. “Jadi pria tua yang di katakan Evan sebagai orang tuanya kala itu adalah ayah tiri nya?” Dia jadi membayangkan wajah Baskara saat pernah sekali bertemu dengan dirinya bersama Rosaline di ruang makan villa beberapa hari yang lalu.
“Aku sudah pernah bertemu mereka, terima kasih atas pemberitahuanmu. Pukul enam aku akan bersiap.”
“Lisa akan membantu Anda, kalau begitu aku permisi.” Kiki berdiri dari duduknya setelah melihat Nesya menganggukkan kepala.
Setelah kepergian Kiki dan satu pelannya itu kini Nesya hanya berdua dengan Lisa. “Boleh aku lihat gaunnya?” Tanya Nesya menghampiri Lisa.
“Tentu saja, Nyonya. Gaun ini masih baru dan sudah kami bersihkan,” jawab Lisa tersenyum sopan.
Nesya pun tertawa, “Gaun bekas juga tidak masalah bagiku, Lisa. Hahaha!”
Lisa ikut tertawa pelan melihat sikap konyol dari Nyonya rumah tersebut, Nesya yang ramah dan juga sangat berani itu cukup membuat Lisa memandang majikannya dengan cara yang berbeda, biasanya selama ia bekerja menjadi pelayan di rumah mewah seperti itu, sikap para majikan sangat jauh dari ramah apalagi untuk sampai membela pelayannya. Namun, apa yang Nesya lakukan tadi ketika melarang Kiki untuk memerintah dirinya membuat Lisa kagum pada sosok istri Evan tersebut.
“Waw, mewah sekali gaun ini dan berat.” Belum apa-apa Nesya sudah mengeluh pada gaun itu ketika baru memegangnya.
“Di coba dulu, Nyonya. Pasti sangat pas di tubuh Anda, soalnya sudah diukur dengan ukuran yang sama seperti gaun pernikahan Anda.”
Diungkit perihal gaun pernikahannya itu raut wajah Nesya mendadak redup, hal itu tak lepas dari penglihatan Lisa dan pelayan itu pun langsung merasa kalau dirinya salah ucap.
“Maaf, Nyonya. Apakah Anda tidak suka pada gaun pernikahan Anda waktu itu?”
Nesya menggeleng sebagai jawaban tidak. “Gaun itu bukan milikku, bagaimana mungkin aku bisa suka?” Batinnya.
***
Siang pun berganti sore, Nesya telah bersiap dengan di bantu oleh Lisa. Mengenakan gaun merah panjang tanpa lengan di sertai belahan pendek di bagian lutut ke bawahnya, Nesya tampak mempesona.
Di bagian depan villa, Nesya akhirnya bertemu dengan Evan, tatapan keduanya bertemu namun Evan melihat gaya jalan Nesya yang aneh, mungkin itu karena sandal bertumit tinggi yang gadis itu kenakan. Meski begitu, dia cukup terpesona, rambut panjang Nesya di gelung dan di buat curly menjuntai di beberapa sisi. Kulit Nesya yang putih bersih membuatnya bersinar dalam balutan gaun merah itu, bahkan istrinya itu menunjukkan warna iris mata aslinya yaitu cokelat caramel. Itu artinya Nesya tak lagi memakai kontak lens hitam seperti iris mata kakaknya.
Dari pandangan Nesya pun sama, setelan jas yang Evan kenakan itu berwarna senada dengan dirinya namun dengan warna merah yang lebih gelap. Tubuh tinggi serta rambut hitam pekat dari lelaki itu sungguh membuat ngiler kaum hawa tiap kali memandang wajah tampannya. “Sempurna” adalah kata yang tepat untuk menggambarkan sosok diri Evan, Nesya pun jadi teringat pada kekasih sang kakak yang telah meninggal itu dan setelah diingat-ingat rupanya wajah mereka pun mirip.
“Cantik.” Satu kata itu lolos dari bibir Evan, saat itu Nesya sudah berdiri tepat di hadapannya hingga harum aroma parfum yang di gunakan gadis itu tercium di hidung Evan.
“Huh?” Nesya bertanya sebab seperti mendengar sesuatu namun tak jelas di ucapkan oleh Evan.
Namun Evan tak menjawabnya dan memilih untuk masuk duluan kedalam mobil mewah berwarna abu metalik miliknya. Evan menggeser duduknya lebih masuk kedalam di kursi penumpang itu, dia juga sengaja tak menutup daun pintunya agar Nesya menyusul masuk lewat pintu yang sama.
Nesya rupanya agak kesulitan untuk membungkuk saat akan masuk ke dalam mobil itu, namun dia yang punya jiwa kelelakian itu pun segera memilih untuk mengangkat bagian bawah gaunnya yang sempit itu keatas hingga belahan kecil gaunnya terbuka dan menampilkan paha mulus bahkan nyaris ke bagian paling atas.
Evan yang sejak tadi terus memperhatikan Nesya dibuat melotot sekaligus geram, saat Nesya berhasil duduk di sebelahnya Evan pun langsung menarik kuat bagian gaun yang terangkat tadi hingga turun ke bawah.
“Apa yang kamu lakukan?” Protes Nesya pada garakan Evan yang tiba-tiba.
“Apa kamu sengaja ingin mempertontonkan paha jelekmu itu, hah?!” Wajah garang Evan sudah berada dekat dengan wajah Nesya. Dengan cepat Nesya mendorong dada Evan dan rupanya berhasil membuat suaminya menjauh, padahal Evan memang sengaja menjauh karena dorongan dari tangan mungil Nesya mana ada pengaruhnya bagi Evan.
“Ck, dasar tidak jelas.” Nesya bergumam kesal sembari membenarkan posisi gaunnya yang sempat di tarik oleh Evan, sedangkan Evan terus memperhatikan gerak gerik Nesya dengan diam.
Mobil mulai berjalan dikemudikan oleh seorang supir, saat sudah mulai memasuki jalan raya mereka berpapasan dengan sebuah mobil yang mengarah masuk ke area villa. Evan sempat memperhatikan mobil tersebut, lagi-lagi dia geram setelah tahu bahwa itu adalah mobil milik Narra.
“Mau apalagi rubah sialan itu.” Gumam Evan di dalam hati.
Sang supir mendadak menerima panggilan telepon dan setelah berbicara sebentar dia mengakhiri panggilan tersebut lalu melaporkan pada Evan. “Tuan, ada ibu dari Nyonya Muda datang ke villa. Apakah kita harus kembali?”
Nesya yang mendengar perkataan supir itu secara jelas langsung terkejut tak menyangka, apakah sang ibu datang untuk menjemput dirinya? Nesya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu, pokoknya dia harus pergi bersama sang ibu.
“Kita kembali saja,” ucap Nesya membuat Evan menoleh padanya.
“Berani sekali kamu membuat perintah,” tegur Evan.
Nesya pun terdiam karena bingung harus berbuat apa, namun jika harus memohon sampai mencium kaki Evan pun rela dia lakukan asal bisa bertemu dengan sang ibu. Dia pun lantas berniat untuk memohon pada Evan dan tanpa malu Nesya menyentuh tangan Evan, tentu saja hal itu mengejutkan Evan sampai matanya turun menatap tangannya yang di pegang oleh Nesya.
“Evan, aku mohon izinkan aku bertemu dengan Ibu. Mungkin dia datang untuk menjemputku, kasihan Ibu sudah datang jauh-jauh kemari.” Nesya memohon dengan nada paling rendah.
Evan yang masih menatap tangannya itu teringat pada sesuatu lantas menepis tangan Nesya hingga terlepas. “Apakah seperti itu sikapmu pada semua lelaki? Menyentuh tangan mereka agar mengabulkan keinginanmu? Lalu ketika sudah di kabulkan maka apa lagi yang akan kamu berikan sebagai ucapan terima kasih? Tubuhmu?” Dia melayangkan tatapan tajam pada Nesya.
“Apa yang sedang kamu bicarakan?” Tanya Nesya, merasa heran lalu dia teringat pada saat bertemu dengan Farrel, dan Nesya pun sadar ketika itu dia menyentuh tangan Farrel tanpa sadar sebab memohon untuk bisa di bantu keluar dari villa. “Aku tidak seperti yang kamu pikirkan.”