Renata tuli, dan itu sudah cukup menjadi alasan mengapa dirinya di jauhi se-antero Amarta.
Tapi pemuda itu, Maleo, tidak berpikiran demikian. Ia justru menganggap Renata...Menarik? Tanpa alasan, seperti itulah Maleo.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuanYen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. The Memory
Cerita tidak akan berakhir pada sebuah kesedihan belaka. Namun bergulir ke arah yang lebih menyenangkan. Sesuatu yang Renata pelajari dari ibunya-- Rinjani.
...•••...
...Selamat Membaca!...
...⚠️Mungkin terdapat kesalahan EYD, dan Bahasa Inggris, jadi mohon koreksinya, terima kasih ⚠️...
...•••...
Cuitan burung kembali menyapa runggu. Sinar mentari terbentang menyinari bumi. Seorang anak kecil berlarian di antara kebun bunga, angin nampaknya memorakporandakan surai platina anak tersebut.
"Jamie, calm down!" [Jamie, tenang!]
Pria itu memanggil sang anak yang sedang hiperaktif. Ia membawa nampan berisi roti selai serta susu putih, khas menu makanan orang-orang Eropa pada umumnya. Terkadang anak itu juga menyukai sereal dengan susu.
"Never! I'll sit by your side after climbing the tree!" [Engga akan! Aku bakal duduk di sampingmu habis manjat pohon!] Anak itu terlihat teguh akan pendiriannya, menciptakan kerutan pada dahi sang pria dewasa.
"Okay, your mother will hear 'bout this, anyway!" Ujar sang pria, sedikit berteriak.
[Oke, omong-omong ibumu akan mendengar hal ini!]
Merasa takut sang ibunda marah. James kecil menuruti perkataan sang ayah, dengan ogah-ogahan bocah itu menginjakkan kaki ke balkoni rumahnya. Lantas mulai menyantap hidangan yang ayahnya buatkan, sebab tidak mungkin maid-nya-- Madam Sarah, yang membuatkan menu sesederhana ini.
"But, mother has pass us, Father." [Tapi ibu sudah meninggal kan kita, Ayah] Beonya.
Sedikit tidak masuk akal ancaman ayahnya, sebab ibunya telah meninggal beberapa tahun silam.
"Yeah, i'll pray and talk to your mother. Because you, not eat your meal completely." [Yah aku bakal doa dan berbicara dengan ibumu. Soalnya kamu, gak menghabiskan makananmu.]
Dan keduanya saling tertawa menyadari ucapan yang tidak masuk akal dari sang ayah. Diam-diam keduanya bersyukur, meskipun ibu telah pergi, namun kehangatan tetap menyelimuti keluarganya.
Tapi siapa yang tahu masa depan?
Kehangatan yang digadang-gadang akan selamanya, memudar kala kecelakaan maut terjadi. Perusahaan ayahnya bangkrut, hingga James digilir kesana kemari. Dari neneknya yang sangat ia sayangi, namun usia beliau telah berakhir. Dan James dititipkan oleh bibinya, tidak ada yang tahu seberapa menyedihkan kisahnya. Tapi yang jelas, ia berakhir pada pamannya di Indonesia.
Kala itu usianya memasuki enam belas tahun. Ia buta bahasa, karena memang sejak awal tidak berniat mempelajarinya.
Lagipula, pamannya yang satu itu terlalu sibuk dengan urusan 'bisnisnya'.
Namun ada suatu hal yang janggal.
Saat itu bulan sempurna menerangi malam. Jangkrik bersiul, saling bersahutan. Anjing melolong menciptakan ketakutan anak-anak yang mendengarkannya. Kala perut terasa lapar, pemuda itu berniat untuk memasak mie di dapur.
Tanpa sengaja, ia melihat pintu yang terbuka, membiarkan udara dingin masuk. Jejak kaki berbau amis menyapa indra, ia mendikte sekeliling.
Dan kau tahu?
Betapa terkejutnya James remaja saat ia mendapati seseorang yang selama ini di anggap sebagai orang baik, terduduk bersimbah darah.
"Uncle?" [Paman?] Panggilnya pelan.
Pria berkulit tan itu terkejut, rautnya acak-acakan sementara bola matanya membola. Seorang temannya berniat mengeluarkan peluru yang bersarang di sana.
"What is this? What are you doing?" [Apa ini? Apa yang kamu lakukan?] Ujarnya, setelah mengkritisi masalah.
"Please silent, i don't want make a big risk." [Mohon diam, saya tidak mau membuat risiko besar] Peringat nya.
Setelah malam itu, James muda mengetahui sebuah fakta yang begitu mencengangkan.
Pamannya adalah pembunuh bayaran.
Bagaimana? Yah, suatu hal yang sungguh membuat James ketakutan. Setiap hari ia selalu meringkuk di bawa selimut, ia takut bila selanjutnya dialah yang dibunuh.
Atau Pamannya?
Terlepas dari pekerjaan berbahaya itu. Pamannya ialah pria yang baik, pula cerdas, bagaimana tidak? Pamannya itu cumlaude jurusan forensik.
Bagaimana ia dapat terjebak dalam dunia gelap tersebut?
Sebab ayahnya. Ia diancam agar menjadi penerusnya dalam menekuni pekerjaan keji itu. Kalau tidak nyawanya yang akan melayang.
Mati...
Mati...
Mati...
Mati...
Kata yang tak pernah luput menghiasi benak James. Dan nampaknya, hal itu akhirnya menjadi sebuah fakta.
Kala itu senja menangkupi bumi yang tengah berbahagia. Mentari yang tergelincir seolah tersenyum, kala burung-burung camar berkicau ialah bagian terbaik dari hari.
James menggendong tasnya, selama sekolah di boarding school ia tidak perlu susah-susah belajar berbahasa Indonesia. Kecuali mungkin dengan Pak Tahid--- Satpam sekolahnya.
Bulan ini terdapat beberapa tanggal merah, hingga ia merasa harus pulang mengunjungi Paman Hanan.
Saking senangnya, James menyempatkan diri untuk membeli sebuah es krim di minimarket. Walau udara tidak panas, justru dingin.
Ia berjalan menuju halte dengan sedikit loncatan kecil.
Namun, suasana hati yang bagus ditepis begitu mudah ketika sebuah mobil box menghampirinya kala gang seluas dua meter tersebut sedang sepi.
Pintu dibuka, seorang pria didorong secara paksa hingga tubuhnya membentur aspal, bau anyir darah tercium. James menelan ludahnya susah payah, tangannya mendingin, seolah ia sedang gugup. Darah tercecer menyebar di aspal jalanan yang tak begitu rata.
"Uncle!" Seru James spontan.
Tiada yang mengerti seberapa kalut hatinya, tiada yang mengerti seberapa ingin ia menangis saat ini.
Tiada yang mengerti seberapa besar rasa kecewa menggerayangi benaknya.
James merangkul tubuh yang kini tergeletak tanpa nyawa. Ia kembali menatap mobil yang telah menjauh, menghafal plat nomor yang mungkin bisa ia jadikan bukti.
James menelan ludah, ia panik jauh lebih panik dibanding hari-hari sebelumnya, seribu bahasa bahkan tidak dapat menjelaskan kadar kepanikannya.
"What should i do?" [Apa yang harus aku lakukan?]
Keringat membasahi tubuhnya.
Pupil cokelatnya mengedar, telinga menangkap suara motor yang menuju kearahnya. Ia berbalik, merasa mengenai siapa pengemudinya, ia segera meminta pertolongan.
"Maleo!"
Pemuda yang dipanggil menghentikan motornya. Dan betapa terkejutnya Maleo Javares, ketika mendapati seseorang yang entah bernyawa atau tidak---tengah bersama sahabat karibnya.
"James, what you doing?" [James, apa yang lo lakuin?] Ujarnya keheranan.
"Help me, i'll explain it later!'' [Tolongin, nanti ku jelasin!]
Maleo dengan cekatan membawa tubuh besar itu menaiki motornya.
"James, i think there is no way." [James, gue pikir ga bisa.]
Tidak mungkin mereka menaiki motornya bertiga, bisa-bisa kena tilang.
"There enough, please." [Ini cukup, tolong]
Maleo menghela, akhirnya menuruti kemauan sahabatnya. Ia segera melajukan motornya, melewati gang-gang sempit yang untungnya sepi penghuni.
Namun semuanya terlambat. Pamannya telah menyusul ayah dan ibunya ke Taman Eden.
Kenapa?
Kenapa Tuhan?
Kenapa harus dirinya seorang yang menanggung semua ini?
Setelah jasad Pamannya dikremasi. Maleo menawarkan rumahnya untuk ditinggali sang sahabat sementara, namun James menolak. Ia berpikir warisan ayah dan pamannya masih cukup bisa diandalkan.
"Serious?'' Maleo berusaha bernegosiasi.
"Yeah." [Iya]
Namun yang namanya Maleo, ia tidak puas dengan jawaban itu. Membujuk agar sang sahabat membeli rumah di samping rumahnya, berdalih demi keamanan. James yang merasa ada benarnya, mengiyakan tawaran Maleo.
"So...Your uncle has killed by someone, can you?" [Jadi...Pamanmu dibunuh seseorang, ya kan?]
"Yeah, i think." [Yah...Aku pikir]
"Who?" [Siapa?]
"I don't know." [Aku gatau]
Buntu. Satu kata yang dapat mendeskripsikan saat itu. Untungnya James masih hafal plat nomor terduga pelaku, sehingga penyelidikan akhirnya berjalan.
Beberapa bulan, polisi menetapkan seorang supir truk sebagai pembunuhnya. Namanya ialah Yuli, seorang lelaki muda yang setiap harinya bekerja sebagai mandor.
Tapi...James merasa aneh.
Sesuatu mengganjal dalam benaknya.
Apakah Yuli dikambinghitamkan? Tapi siapa? Bukankah Pamannya membunuh orang sendirian?
Ah...Atau...
"I think not him," [Aku pikir bukan dia]
Maleo mengernyit.
"What?" [Apa?]
"My uncle is a killer, and they have a partner too." [Pamanku seorang pembunuh, dan dia punya rekan juga]
Maleo terkejut mendengar fakta tersebut, lantaran ia mengira pamannya James membunuh seorang diri, dan mengenai motif, mungkin supir itu kesal akibat orang terdekatnya dibunuh oleh paman james?
Ia menoleh, menatap raut datar sang sahabat.
"Don't tell me...'' [Jangan bilang...]
"Yes, he just scapegoat." [Iya, dia cuma kambing hitam]
...•••...
Aku ingin bingar...
Aku mau di pasar...
Pecahkan saja gelasnya biar ramai!
Biar mengaduh sampai gaduh...
Kulari ke hutan kemudian teriakku....
Bosan...aku dengan penat...
dan enyah saja kau pekat!
Seperti berjelaga jika ku sendiri...