menjadi sukses dan kaya raya tidak menjamin kebahagiaanmu dan membuat orang yang kau cintai akan tetap di sampingmu. itulah yang di alami oleh Aldebaran, menjadi seorang CEO sukses dan kaya tidak mampu membuat istrinya tetap bersamanya, namu sebaliknya istrinya memilih berselingkuh dengan sahabat dan rekan bisnisnya. yang membuat kehidupan Aldebaran terpuruk dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni Luh putu Sri rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Namun, di balik rasa manis yang tak bisa ia lupakan, rasa yang membuatnya mabuk kepayang dan tak bisa melupakan bagaimana tubuh mungil Lilia merespon sentuhan. Namun, ada sebagian kecil dari dirinya menolak perasaan yang sedang ia rasakan, menyadarkan dirinya betapa tercelanya perasaan yang sedang ia rasakan saat ini.
"Dia... Putriku... Putri yang seharusnya aku lindungi... Aku tidak seharusnya merasakannya seperti ini..." batin Aldebaran, ia merasakan gejolak batin antara perasaan cintanya sebagai seorang ayah dan cintanya terhadap Lilia—putri angkatnya sebagai pria yang mencintai gadis itu.
Ketika bagai dirinya yang merasakan cinta sebagai seorang pria yang sedang jatuh cinta, ia merasa perasaan itu tidak ada salahnya saat ia merasa jatuh cinta. Lalu dengan perlahan ia mengarahkan jarinya ke bibirnya, ia menyentuh bibirnya sendiri dengan gerakan lembut, seolah mencoba menghidupkan kembali rasa itu kembali, dimana saat Aldebaran menyentuh bibirnya ada kilatan kerinduan di matanya.
Matanya yang biasanya tajam kini menunjukan kerinduan yang sangat dalam akan sentuh tangan mungil Lilia.
"Tapi... Aku sangat mencintainya..." Gumam Aldebaran, pelan lebih seperti bisikan. Saat itu ia merasakan sesak di dadanya karena cinta yang besar untuk Lilia—putri angkatnya.
Aldebaran bangkit dari kursinya, gerakannya pelan dan terukur, ia berjalan mendekati jendela kaca besar di belakangnya. Aldebaran menatap ke luar jendela, melihat pemandangan kota yang sibuk dengan dengan gedung-gedung tinggi dan jendela-jendela kaca besar yang berkilau di bawa sinar matahari seperti monolit tanpa jiwa.
Ia memandang ke luar jendela, sekali lagi Aldebaran mengusap lembut bibirnya. Saat itu pikiran Aldebaran kembali melayang ke masa-masa saat Lilia yang masih anak-anak.
Ia mengingat bagaimana cara gadis kecil itu tertawa, bagaimana gadis itu tersenyum dengan polosnya, dan bagaimana kata-kata lembut gadis itu saat memanggilnya 'Papa' kata itu terdengar begitu polos dan begitu jujur penuh kepercayaan terhadap dirinya sebagai seorang ayah.
Namun, tindakan Aldebaran telah mengkhianati kepercayaan tulus dan polos itu dengan tindakannya yang hampir merenggut kepolosan gadis yang selama ini begitu mempercayainya, yang selama ini memanggilnya 'Papa'.
"Sial!!" Geram Aldebaran, saat ia mengingat bagaimana air mata gadis itu menetes dan bagaimana wajah takut gadis itu saat menatapnya.
"Aku... Aku tidak seharusnya melakukan itu." lanjut Aldebaran, ada kemarahan di kata-katanya.
tangannya terjulur mencengkram permukaan kaca tebal di hadapannya, seolah ia bisa mengahancurkannya dengan tangannya sendiri.
"Aku harus minta maaf, tapi... Bagaimana? Bagaimana jika Lilia tidak memaafkan ku... Bagaimana jika dia..." Aldebaran memberikan kata-kata itu menggantung begitu saja di udara, ia tak bisa melanjutkan kata-katanya.
Sementara itu, di dalam pikirannya, ia membayangkan berbagi kemungkinan dan reaksi Lilia yang mungkin akan membencinya setelah kejadian tadi pagi.
Tiba-tiba, suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya, dan menyadarkannya dari segala pikirannya tentang Lilia.
"Pak! Ini berkas yang anda minta."
Brian masuk kedalam ruangan Aldebaran, pria itu melihat Aldebaran—bosnya berdiri di dekat jendela di belakang meja kerjanya. Aldebaran masih terdiam, ia tak menoleh sedikitpun ke arah Brian.
"Letakan saja di sana." Kata Aldebaran datar, ia masih tak menoleh ke arah Brian.
Kemudian dengan gerakan pelan Brian melekatkan berkas di meja, "Pak! Apa anda baik-baik saja? Sepertinya ada yang mengganggu pikiran anda?" Tanya Brian, ia memperhatikan sikap Aldebaran yang tampak berbeda hari ini jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya.
"Tidak, Brian. Kau bisa pergi." Aldebaran masih membelakangi Brian.
"Baik, Pak." Jawab Brian, lalu dengan langkah pelan ia berbalik dan bergegas pergi tanpa bertanya lebih lanjut.
"Brian..." Panggil Aldebaran pada akhirnya, Brian yang baru akan membuka pintu untuk keluar dari dalam ruangan Aldebaran, seketika ia berhenti saat tangannya hendak mendorong pintu kaca buram di dalam ruangan itu.
Kemudian Brian berbalik dan menatap punggungnya Aldebaran yang masih membelakanginya.
"Ya, Pak?"
"Apa... Apa Lilia ada memberimu kabar? Atau apa dia minta untuk di jemput?" Tanya Aldebaran tiba-tiba, tatapan matanya masih lurus menatap keluar jendela, ke pemandangan kota yang sibuk.
"Tidak ada, Pak." jawab Brian, "apa... perlu saya telepon dia? Atau mungkin menjemputnya ke sekolah?" tanya Brian, mencoba memastikan.
"Apa Lilia, akan menelepon saat minta di jemput saat pulang sekolah?" Tanya Aldebaran lagi, kali ini terdengar suara Aldebaran lebih pelan dari biasanya.
"Em... Biasanya, putri anda akan menelpon, Pak." jawab Brian.
Aldebaran terdiam ia tak langsung menjawab perkataan Brian. Ada jeda beberapa detik sebelum Aldebaran kembali bicara.
"Brian... Apa seorang ayah bisa meminta maaf pada anaknya ketika melakukan kesalahan? Maksudku... Meskipun itu sebuah kesalahan yang besar sekalipun?" tanya Aldebaran, terdengar ada keraguan di kata-katanya, ia masih membelakangi Brian. Brian bisa melihat bahu pria itu yang biasanya tegap dan tak tergoyahkan kini merosot seolah kehilangan kekuatannya.
Brian terdiam cukup lama untuk mencari kata-kata yang tepat, ia memandangi punggung Aldebaran, pria yang bisanya terlihat kuat dan tak tergoyahkan kini pria yang terlihat kuat dan selalu menatap ke atas itu tertunduk seolah sedang memikul Beben dunia di pundaknya, untuk pertama kalinya Brian melihat Aldebaran terlihat lemah di hadapannya.
"Pak," Brian menghela napas panjang sebelum ia melanjutkan kata-katanya. "Menurut saya, jika seorang ayah melakukan kesalahan terhadap anaknya itu hal yang wajar dan... Meminta maaf itu masih sah saja, Pak." Jawab Brian.
"Dan... Biasanya anak akan mengerti setelah ayahnya meminta maaf dan memberikan penjelasan di balik tindakan ayahnya, Pak." lanjut Brian.
"Mungkin... putri anda akan menjaga jarak untuk beberapa hari, tapi setelah itu anda tidak perlu khawatir semuanya akan kembali seperti sebelumnya, Pak."
Aldebaran menghela napas berat, dadanya terasa sesak saat ia mengingat bagaimana mata Lilia menatapnya dengan kebencian dan air mata membuat napasnya tercekat di tenggorokannya dan dadanya terasa sakit di setiap tarikan nafasnya seolah di tusuk ribuan pisau setiap kali ia mengingat wajah gadis itu yang berlinang air mata.
"Aku... Aku tidak yakin akan mendapatkan maaf darinya, Brian." Kata Aldebaran, ia meremas dadanya seolah cengkraman itu bisa meringankan rasa sakit yang sakit di dadanya.
"Tidak ada salahnya anda mencobanya, Pak. Jika ini kesalahan besar anda baiknya bicarakan pada Lilia, Pak." jawab Brian, lalu ia membungkuk sebelum akhirnya keluar dari ruangan Aldebaran, dan meninggalkan pria itu sendirian di dalam kantornya yang luas dan sepi hanya terdengar detak halus dari jam dinding.
"Apa Lilia akan memaafkan ku? Apa dia akan bisa menganggap semuanya tidak pernah terjadi? Apa dia akan tetap menganggap ku sebagai ayahnya? Stelah... Setelah..." pikirnya lirih, pikiran dan bayangan Lilia yang menangis dan tatapan ketakutan di mata gadis itu terus menghantuinya.
Tak lama seorang pegawai wanita masuk kedalam ruangan Aldebaran.
"Pak, rapat direksi akan segera di mulai lima menit lagi." kata wanita itu.
"Aku mengerti. Beri aku waktu sepuluh menit." Jawab Aldebaran singkat sebelum akhirnya ia beranjak dari ruangannya.
Aldebaran beralih ponselnya untuk memeriksa apakah Lilia mengirim pesan atau tidak padanya, entah bagaimana Aldebaran begitu mengharapkan gadis itu akan mengirim pesan padanya, meski ia tahu hal itu tidak mungkin setelah apa yang telah ia perbuat.
Di layar ponsel itu, terpampang jelas foto Lilia saat ia masih anak-anak, senyumannya begitu polos dan tanpa dosa. Saat itu Aldebaran mengatupkan rahangnya dengan kuat hingga terasa sakit ketika ia mengingat kembali perlakuan bejatnya terhadap Lilia—putri angkatnya.
"Kau benar-benar monster, Aldebaran!! Kau biarkan nafsu bintangmu melukai gadis yang seharusnya kau lindungi..." ia tertawa, namun bukan tawa kebahagiaan, melainkan tawa pahit yang menyedihkan dari seorang pria yang putus asa. Ia meremas ponselnya kuat-kuat seolah ia bisa merusaknya.
Bersambung.....
sukses buat novelnya, jangan lupa support baliknya di novel baru aku ya 🙏☺️