Salma seorang wanita karir di bidang entertainment, harus rela meninggalkan dunia karirnya untuk mejadi ibu rumah tangga yang sepenuhnya.
Menjadi ibu rumah tangga dengan dua anak kembar sangat tidak mudah baginya yang belum terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga. Salma harus menghadapi tuntutan suami yang menginginkan figur istri sempurna seperti sang Ibunda.
Saat Salma masih terus belajar menjadi ibu rumah tangga yang baik,ia harus menghadapi sahabatnya yang juga menginginkan posisinya sebagai istri Armand.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aveeiiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selamat datang Pak Angkasa
"Lingkungan keluarga ga sehat macam apa yang kamu maksud? Kita selama ini baik-baik saja kok, kamu aja yang kebanyakan menuntut," ujar Armand tanpa merasa bersalah.
"Iya, kamu itu dulu ga pernah puas, kalau jadi istri itu harus bersyukur dengan apa yang diberikan suami," tambah Ibu Armand. Tania tampak tersenyum puas melihat Salma dicecar oleh suami dan Ibu mertuanya.
"Ibaratnya jika seorang suami punya uang 50rb dan ia berikan untuk istri dan anaknya 5rb, sedangkan sisanya ia berikan pada wanita lain, apakah saya juga harus menerima dengan ikhlas hati bu?" Salma memandang lelah pada Ibu mertuanya.
Ia tahu jika semuanya sudah berlalu dan percuma untuk dibahas lagi, tapi kebenaran harus diutarakan. Ia tidak mau orang di luar sana menganggapnya sebagai wanita matrealistis dan selalu berfoya-foya menghabiskan uang suami, seperti yang selalu Armand dan Ibunya dengungkan di lingkungan tempat mereka tinggal.
"Ti---"
"Salma, sudah malam. Kamu sudah capek baru dari luar kota. Bilang sama tamu mu untuk segera pulang." Belum sempat Armand membela diri, Bimo keluar dari kamar dengan wajah sangar.
Ketiga tamu tak diharapkan itu pulang dengan perasaan tidak puas.
"Tidurlah, kamu harus banyak istirahat. Anak-anak biar Mba yang urus." Tia mengusap pundaknya saat ia menyuapkan sop ayam untuk Cakra dan Candra bergantian.
"Ga apa-apa, Mba. Habis ini aku langsung tidur sama anak-anak," tolak Salma. Baginya jauh lebih baik menghabiskan waktu dengan kedua anaknya, dari pada hanya sendirian dalam kamar merenungi nasib dan mengenang kebersamaannya dengan Armand.
Beberapa hari setelah itu, saat pagi hari di saat ia hanya bertiga dengan Cakra dan Candra di dalam rumah, pesan dari Pak Angkasa masuk di ponselnya.
'Selamat pagi, Anggrek Bulan. Pesawat saya dua jam lagi sampai, kalau tidak keberatan bolehkah saya minta waktumu untuk menunjukan tempat makan siang yang enak di kotamu?'
Salma tak langsung menjawab, ia melihat ke arah jam di dinding. Pesan itu masuk satu jam yang lalu dan ia baru membacanya sekarang.
"Duuuhh, kenapa harus sekarang sih? Mana kirim pesannya sudah di bandara, gimana mau nolaknya." Salma bergegas merapikan mainan dua bocah kembarnya yang berserakan di lantai, sembari tangannya menekan nomer Bimo dan Tia.
Salma semakin panik saat Bimo dan Tia tidak bisa langsung kembali ke rumah, karena masih ada pekerjaan yang harus mereka selesaikan. Salma menatap kedua anaknya yang sedang bermain, ia bingung di mana ia harus menitipkan kedua anaknya.
"Maamaaa." Cakra menghampirinya dengan tertatih-tatih, membawa bola plastik dan memberikannya pada Salma.
"Uluuhh, anak Mama. Paling bisa kalau ngerayu." Salma meraih tubuh mungil itu, lalu memeluk dan mencium pipinya gemas.
Salma sampai di bandara, tiga puluh menit lebih lambat dari waktu yang telah ia sepakati dengan Eksekutif Director terkenal itu. Dengan kedua anak di gendongan belakang dan depan, Salma berlari kecil ke arah pintu kedatangan bandara. Nafasnya tersengal-sengal dengan leher ia panjangkan, mencari sosok pria bertubuh tinggi dengan sorot mata yang dalam.
"Selamat siang, Pak Angkasa. Mohon maaf saya terlambat." Salma membungkukan badan dengan nafas yang hampir habis. Angkasa terperangah tak percaya melihat Salma membawa dua anak kembar dalam satu gendongan sekaligus.
"Kamu kesini sama siapa?" tanya Angkasa masih melongo.
"Kami bertiga saja. Anak-anak tidak ada yang menjaga, jadi saya harus membawa mereka. Maaf sekali kalau Bapak terganggu saya bi---"
"Ow ga apa-apa, Salma. Justru saya yang tidak enak sama kamu. Kenapa kamu ga bilang kalau sedang menjaga anak? Saya jadi merepotkan kamu kalau begini."
"Tidak apa-apa, Pak. Sudah menjadi tugas saya sebagai tuan rumah kota ini. Bapak mau makan apa? Nanti saya rekomendasikan yang enak di kota ini."
"Tunggu sebentar. Saya bantu gendong salah satu ya, saya ga tega lihat kamu." Angkasa mengulurkan tangannya pada Candra yang ada di bagian belakang Salma.
"Ga apa-apa, Pak. Saya sudah biasa, lagipula mer---" Salma melongo saat Candra tanpa melawan sama sekali tampak nyaman di pelukan Angkasa. Padahal kedua anak kembarnya itu, tidak mudah beradaptasi dengan orang asing. Mereka selalu menangis jika orang yang tidak pernah dilihat, berusaha mendekati mereka.
"Yuk jalan." Angkasa berjalan mendahului Salma. Pria itu tampak luwes menggendong Candra dengan satu tangan sementara sebelah tangannya mendorong koper.
"Kamu kesini naik apa?" tanya Angkasa saat mereka hampir keluar dari gedung bandara.
"Taxi online," sahut Salma. Angkasa kembali menggelengkan kepalanya, ia merasa benar-benar tidak enak sudah membuat repot Salma.
"Kamu tunggu di sini," titah Angkasa. Ia lalu mendekati seorang petugas bandara dan berbisik. Petugas itu menunjuk ke sebuah pintu kaca, Angkasa segera masuk ke sana dengan masih membawa Candra di gendongannya. Tak berapa lama, Angkasa keluar dengan senyum terkembang.
"Bapak dari mana?"
"Sewa mobil," ucap Angkasa sembari menunjuk sebuah mobil besar dan panjang yang mendekati mereka. Salma kembali dibuat melongo saat pintu mobil mewah itu bergeser ke samping. Interiornya yang mewah, sudah dilengkapi dengan dua baby car seat di bagian belakang.
"Anak kamu satunya taruh aja di situ," ujar Angkasa sembari mendudukan Candra di salah satu kursi bayi.
Angkasa tampak sering tertawa lebar dan sesekali menggoda Candra dan Cakra saat dalam perjalanan.
"Seru ya kalau punya bayi kembar. Kamu ga kerepotan, langsung punya dua anak?"
"Namanya rejeki, ga boleh dibilang repot. Bapak anaknya berapa? Sudah besar ya?" tanya Salma. Senyum di wajah Angkasa seketika redup.
"Saya belum punya anak," ucapnya sembari kembali bermain dengan si kembar.
"Ow." Salma mulai merasa canggung karena memilih topik pembicaraan yang salah.
"Saat kandungan istri saya delapan bulan, kami kecelakaan dan ia pendarahan hebat. Nyawanya dan calon bayi kami tidak selamat." Mata Angkasa menatap si kembar dengan sendu.
"Maaf," cicit Salma. Dalam hati ia memaki kebodohannya. Bagaimana bisa ia lupa kalau dua temannya di Jakarta pernah mengatakan hal yang serupa.
"Tidak apa, pertanyaanmu itu wajar. Lagipula itu sudah lama berlalu, saya sudah ikhlas dengan kepergian mereka." Angkasa memaksakan senyumnya. Ia hanya tidak ingin Salma merasa tidak enak dengannya.
"Okee, kamu mau ajak saya makan apa siang ini?" Angkasa segera memutar topik pembicaraan.
"Mmm, makanan laut mau?"
"Siapa takut." Angkasa melebarkan senyumannya, "Horeee, kita mau makan ikan." Angkasa mengangkat tangan-tangan kecil si kembar seolah mereka sedang bersorak.
Salma membawa Angkasa ke restoran makanan laut yang suasananya masih alami. Angkasa memilih tempat makan di dalam saung yang letaknya di pinggir kolam.
"Salma?" Dari arah seberang saung, suara yang paling ia hindari, terdengar memanggil namanya.
...❤️🤍...