Wira Pramana, seorang murid senior di Perguruan Rantai Emas, memulai petualangannya di dunia persilatan. Petualangan yang justru mengantarnya menyingkap sebuah rahasia di balik jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ilham Persyada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Krajan Asura
Setelah beberapa waktu, Wira membuka matanya dan mendapati hari mulai gelap, ‘’Ketua, Wakil Ketua …, saya …,’’ Wira kehilangan kata-katanya untuk sesaat, ‘’murid ini …, apakah murid pantas menerima benda yang pastinya sangat berharga bagi perguruan ini?’’
Ketua Raksala dan Ki Damar berpandangan untuk sesaat kemudian tertawa bersamaan, bukan karena menganggap pertanyaan itu adalah hal yang lucu, melainkan karena menyadari ketulusan dan kerendahan hati dari sosok pemuda yang bertanya itu.
''Wira …,’’ Ki Damar berkata sambil memegang pundak Wira, ‘’keberadaanmu saja di perguruan ini telah membuktikan kebenaran akan perkataan Mahaguru Begawan Antaboga. Terlepas dari itu, sekali lagi kami hanya menyampaikan amanah yang telah dititipkan kepada seseorang yang ternyata adalah dirimu. Selebihnya, akan menjadi seperti apa amanah itu di tanganmu atau apakah kau pantas atau tidak menerimanya, hanya kiprahmu di dunia ini yang bisa menjawab hal itu.’’
''Tentunya …, kami pasti berharap kau dapat berada di jalan kebenaran dan kebajikan, Wira.’’ Ketua Raksala menambahkan.
Kini, giliran Wira yang menghela napas panjang, ‘’Murid mengerti, Ketua, Wakil Ketua. Murid akan berusaha menjaga amanah ini sebaik mungkin dan memenuhi harapan Ketua serta Wakil Ketua.’’ kata Wira dengan sungguh-sungguh sembari menunduk memberikan hormatnya.
‘’Untuk saat ini, kita bisa menganggap masalah tentang kondisi tubuhmu telah terjawab. Nah adakah hal lain yang ingin kau tanyakan atau kau sampaikan?’’ tanya Ki Damar.
Wira tampak berpikir sejenak sebelum menganggukkan kepalanya, ‘’Sebenarnya, selain kondisi tubuh ini, murid hendak menanyakan tentang …,’’
Wira menjelaskan bahwa, setelah mencoba memahami dan merenungkan keadaannya beberapa hari ini, ia masih memiliki kekurangan dalam hal pengalaman bertarung yang nyata. Wira juga merasa bahwa ia masih belum dapat memaksimalkan kemampuannya, terutama dalam hal kualitas dan kekuatan fisik.
Wira mengeluarkan catatan yang ia temukan di perpustakaan dan menceritakan semuanya terkait dengan laju perkembangannya selama kurang lebih dua bulan terakhir ini. Ki Damar memperhatikan sebuah kitab tanpa judul dengan sampul yang sudah cukup usang itu, kemudian seakan mengetahui sesuatu, ia menatap Ketua Raksala yang sepertinya tengah berpura-pura tidak memperhatikan.
‘’Hahahaha! Hahahaha!’’ Ki Damar tertawa begitu keras sehingga membuat Wira terheran-heran dan semakin kebingungan.
''Wira … Wira …,’’ Ki Damar membuka buku tersebut dan menunjukkan inisial yang tertera di bawah sebuah catatan singkat, ‘’Kau tahu apa kepanjangan dari inisial ini?’’
‘’Inisial …?’’ Wira memperhatikan kembali inisial N.R. yang ditunjukkan oleh Ki Damar. Ia menyipitkan mata dan mengerutkan dahinya. Setelah cukup lama, sebuah nama terlintas di benak Wira. Nama yang membuatnya membelalakkan mata untuk sesaat kemudian menepuk jidat seolah menyadari dan merasa selama ini ia sungguh buta dan bodoh.
Wira segera berlutut dan mengatupkan kedua tangannya di hadapan Ketua Raksala, ‘’Mohon ampun Ketua, murid sungguh bodoh karena tidak menyadarinya!’’
Ki Damar sampai terpingkal-pingkal melihat tingkah Wira saat itu. Bahkan Ketua Raksala pun tertawa meskipun beliau juga bergegas memegang bahu Wira dan menyuruhnya untuk berdiri, ‘’Hahaha …, sudahlah Wira. Lagi pula aku senang kau dapat merasakan manfaat dari catatan yang dangkal itu.’’
‘’Ti-tidak Ketua, murid merasa catatan ini sungguh sangat berguna bagi keadaan murid dan sangat membantu murid dalam berlatih bela diri maupun tenaga dalam!’’ seru Wira yang masih menundukkan kepalanya lantaran merasa malu.
‘’Hahahaha …! Ternyata kau ini juga semakin pandai memuji!’’ kelakar Ki Damar kemudian yang membuat Wira semakin merasa canggung.
‘Sialan! Bagaimana aku bisa tidak menyadari kalau inisial itu kependekan dari Narapati Raksala?!’ umpat Wira dalam hati sambil menjambak rambutnya sendiri dengan kedua tangannya..
''Sudah …, sudah …, sebaiknya jangan terus menggoda Wira, Ki.’’
‘’Ehm … ehm …, baik Ketua.’’ kentara sekali sosok wakil ketua perguruan itu masih berusaha menahan tawanya.
‘’Baiklah, Ki,’’ Ketua Raksala menatap Ki Damar, ‘’sekarang, bukankah kau sepakat denganku kalau hanya orang itu yang bisa membantu pemuda di hadapan kita ini?’’
Ki Damar mengangguk, ‘’Ketua benar. Saya akan menghubunginya sekarang, tetapi mungkin butuh beberapa hari sampai ia tiba di sini setelah menerima pesan dari kita.’’
''Tidak apa-apa Ki, lagi pula Wira juga harus mempersiapkan diri terlebih dahulu.’’
''Kalau begitu, Ketua, saya akan menghubunginya sekarang juga, sekalian saya mohon pamit.’’ Ki Damar memberi hormatnya kepada Ketua Raksala, kemudian menatap Wira, ‘’Wira, ingat pesanku. Jangan pernah meragukan dirimu.’’ kata beliau sebelum meninggalkan Wira bersama Ketua Raksala di pendopo itu.
‘’Wira,’’ Ketua Raksala berkata setelah Ki Damar tak terlihat lagi, ‘’untuk seseorang yang seusia dirimu, kurasa dalam hal pengalaman bertarung yang ‘nyata’, kau telah melebihi para murid senior yang lainnya. Kemudian jika kau masih ingin mempertajam naluri bertarungmu, menurutku pribadi, lambat laun saat kau mengarungi dunia persilatan sebagai seorang pendekar, naluri itu pasti akan semakin terasah pula.’’
‘’Namun,’’ Ketua Raksala melanjutkan sementara Wira menyimak setiap katanya dengan sungguh-sungguh, ‘’ada benarnya kalau kau ingin meningkatkan kualitas dan kekuatan fisikmu sebab dengan tubuh Sukma Buana hanya akan mencapai potensinya secara maksimal jika pemiliknya memiliki kualitas dan kekuatan fisik yang tinggi. Aku mengerti bahwa kau tak ingin terlalu bergantung pada teknik maupun tenaga dalam. Menurutku, ada satu tempat yang cocok bagimu untuk mengasah naluri bertarung dan meningkatkan kemampuan fisikmu, …,’’
...***...
‘’Krajan Asura,’’ gumam Wira yang kini tengah duduk di depan kamar sambil mengelus dagunya.
Krajan Asura adalah sebuah kawasan pegunungan yang sangat luas yang berada di wilayah timur Pulau Daksina. Meskipun tidak terlalu tinggi, pegunungan tersebut diyakini sebagai tempat bersemayam berbagai jenis monster dan siluman tingkat tinggi. Ketua Raksala berkata bahwa dalam kawasan pegunungan itu, bahkan ular siluman yang pernah Wira hadapi hanya tergolong sebagai makhluk yang paling lemah. Padahal, ular siluman itu saja telah membuatnya kewalahan.
Wira membayangkan seperti apa makhluk-makhluk yang akan dihadapinya nanti. Dari berbagai kitab dan catatan yang ada di perpustakaan, Wira memiliki pengetahuan tentang banyak jenis hewan buas, monster, hingga siluman, tetapi sedikit sekali yang pernah dilihat atau dihadapinya secara langsung. Maka, Wira pun berencana untuk menambah pengetahuannya tentang keberadaan makhluk-makhluk tersebut.
Wira bangkit dari duduknya dan berjalan ke luar pekarangan area dapur dan mulai melakukan serangkaian gerakan dari teknik Tinju Bayangan. Mengingat bahwa dirinya hendak melatih kemampuan fisik saja, Wira mencoba melakukan gerakan-gerakan tersebut tanpa tenaga dalam. Setelah mengulangi teknik Tinju bayangan sebanyak 20 kali, Wira berhenti untuk mengatur napasnya yang ia rasakan mulai memburu.
Kemudian, Wira mengambil pedangnya dan teknik Delapan Mata Angin. Kali ini, Wira pun melakukannya tanpa tenaga dalam. Ia terus mengulang gerakan-gerakan dengan pedangnya hingga 20 kali dan berhenti saat mendapati napasnya lebih tidak teratur bila dibandingkan saat ia berlatih gerakan Tinju Bayangan. ‘’Ternyata menggunakan senjata memang memberi beban yang lebih banyak pada tubuh,’’ katanya lebih kepada diri sendiri.
Setelah meletakkan pedangnya pada bangku di depan kamar, Wira menggunakan teknik Alas Angin, masih tanpa tenaga dalam, untuk bergerak melintasi kebun belakang perguruan dan kembali ke tempatnya semula. Seperti sebelumnya, Wira pun mengulang latihan itu tanpa henti hingga 20 kali dan merasa jauh lebih lelah daripada saat ia memakai dua teknik lainnya. Maka, ia pun duduk bersila dan mengatur napasnya hingga stabil kembali sebelum mempraktikkan metode pernapasan nirvana.
...***...
Rajawangsa, sebuah kota besar di wilayah tengah Pulau Daksina sekaligus tempat di mana Kerajaan Kurtasara berdiri. Bisa dibilang, selain Kerajaan Suranaga di timur, hanya Kerajaan Djayanata yang ada di wilayah barat yang bisa menandingi kemegahan, kebesaran, hingga kekuatan kerajaan tersebut.
Di atap sebuah bangunan, seorang lelaki tampak merebahkan diri dengan santai. Ia tampak menikmati angin malam yang bertiup sepoi-sepoi dan sinar benderang bulan purnama yang menghiasi langit yang sedang tanpa awan. Tak jauh darinya, seseorang yang menggunakan penutup wajah menjebol atap bangunan itu dari bawah dan mendarat dengan dengan ringan.
Si lelaki yang sedang tiduran bergeming, tetapi orang yang baru saja mendarat di atap itu begitu terkejut saat menyadari kehadirannya hingga secara spontan mundur satu langkah.
‘’Si-siapa kau?!’’ tanya orang yang telah menjebol atap bangunan itu.
‘’Ah, aku bukan siapa-siapa …,’’ jawab lelaki yang sedang tiduran dengan santainya.
“Kalau begitu jangan ikut campur atau –,”
Orang berpenutup wajah itu tak pernah menyelesaikan kata-katanya sebab si lelaki yang tengah tiduran tiba-tiba saja telah berada di belakangnya.
“Atau apa …?”
Meskipun pelan, tetapi pertanyaan tersebut hawa pembunuh yang cukup untuk membuat sosok bertopeng itu gemetar dari ujung kaki hingga kepala, kesulitan bernapas, dan bermandi keringat dingin.
“A-aku …,”
“Apa …?”
Orang bertopeng itu pun kehilangan kesadarannya. Tubuhnya yang lunglai pu jatuh menggelinding di sisi atap dan terjun bebas ke jalanan di depan bangunan itu. Melihat kejadian itu, si lelaki menghela napas dan melompat turun ke jalanan.
Tak lama kemudian, sekelompok prajurit tiba dan beberapa prajurit langsung membawa orang bertopeng itu. Salah satu prajurit yang tampaknya berpangkat lebih tinggi menghadap si lelaki dan menunduk sambil memberikan hormatnya.
“Terima kasih pendekar! Berkat Anda, orang yang meresahkan masyarakat ini berhasil ditangkap.”
“Hm …, sampaikan saja salamku pada Patih Mada. Katakan padanya agar tidak mencariku selama beberapa waktu ke depan. Oh, sampaikan juga agar tidak mengganggu liburanku hanya karena ia malas menangani masalah sepele seperti ini.” kata lelaki itu dengan wajah masam.
“Ba … baik, pendekar. Kami mohon diri.” pemimpin prajurit tersebut menelan ludahnya dan berpikir bagaimana ia bisa menyampaikan bagian terakhir pesan itu pada sosok petinggi kerajaan yang juga merupakan salah satu dari sepuluh jagoan terkuat di dunia persilatan itu?
Setelah para prajurit Rajawangsa itu menghilang di balik kerumunan orang yang berlalu lalang di jalanan, lelaki itu mengeluarkan sebuah artefak komunikasi berbentuk lencana yang terbuat dari logam khusus dari balik bajunya.
Ketika artefak tersebut mengeluarkan pendaran cahaya hijau, benak si lelaki menangkap sebuah transmisi suara yang sangat dikenalnya.
“Hm? Apa ada masalah?” lelaki itu mengerutkan dahinya dan berpikir untuk beberapa saat, kemudian menghela napas, “Ah, sudahlah. Sebaiknya aku ke sana dulu saja, sekalian mengunjungi Mbok Narti dan Kang Mardi.” gumamnya sambil tersenyum tipis dan melangkah meninggalkan tempat itu.