--- **“Luna adalah anak angkat dari sebuah keluarga dermawan yang cukup terkenal di London. Meskipun hidup bersama keluarga kaya, Luna tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolahnya sendiri. Ia memiliki kakak perempuan angkat bernama Bella, seorang artis internasional yang sedang menjalin hubungan dengan seorang pebisnis ternama. Suatu hari, tanpa diduga, Luna justru dijadikan *istri sementara* bagi kekasih Bella. Akankah Luna menemukan kebahagiaannya di tengah situasi yang rumit itu?”**
--- Cerita ini Murni karya Author tanpa Plagiat🌻 cerita ini hanya rekayasa tidak mengandung unsur kisah nyata🌻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18 Salah paham
Luna baru saja selesai makan dan mencuci piring. Setelah mengeringkan tangannya, ia menaiki tangga menuju kamar. Langkahnya ringan, tanpa firasat apa pun. Namun begitu pintu kamar terbuka, langkahnya terhenti. Bryan duduk di atas ranjang, tubuhnya tegak, tatapannya tajam dan tertuju lurus ke arahnya. Udara di dalam kamar terasa berbeda, lebih dingin dan lebih menekan. Luna menelan ludahnya, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
“Mio Caro…?” ucapnya lembut serta nyaris ragu, seolah sedang memastikan suasana yang ia rasakan itu nyata. Bryan tidak langsung menjawab. Tatapannya tak bergeser sedikit pun, tangannya menggenggam sesuatu di sisi ranjang. Keheningan di antara mereka memanjang, sarat dengan ketegangan yang perlahan menyesakkan, menandai bahwa sesuatu telah berubah sebelum Luna sempat menyadarinya.
Luna semakin kebingungan. Tatapan suaminya yang kembali dingin seperti sebelumnya membuat kegugupannya muncul lagi. Tanpa sadar, ia menundukkan kepala, menghindari sorot mata Bryan yang terasa menekan.
Tubuhnya kaku, kakinya seolah terpaku di tempat. Luna tidak bergeming sedikit pun, hanya berdiri di ambang kamar dengan jemari saling menggenggam erat. Hening menyelimuti mereka, dan di dalam diam itu, Luna merasakan firasat tak nyaman. seakan ada sesuatu yang telah terjadi, sesuatu yang belum ia ketahui, namun akan segera mengubah suasana di antara mereka.
Bryan akhirnya berdiri dari atas ranjang. Langkahnya perlahan, namun berat, mendekati Luna yang masih tertunduk. Jarak di antara mereka menyempit, membuat napas Luna terasa semakin pendek.
“Angkat wajahmu,” ucap Bryan rendah, suaranya tenang namun mengandung tekanan yang sulit disangkal. Luna ragu sejenak, lalu perlahan mengangkat kepalanya. Matanya bertemu dengan sorot mata Bryan yang tajam, bukan marah yang meledak, melainkan amarah yang ditahan terlalu lama. Bryan menghela napas pelan, seakan menahan diri agar tetap terkendali.
Ia mengangkat tangannya, memperlihatkan ponsel yang layarnya telah retak. “Ini,” katanya singkat. “Kau mau menjelaskannya?” Luna menatap ponsel itu, wajahnya memucat seketika. Bibirnya terbuka, namun tak ada kata yang langsung keluar. Luna tidak tahu jika satu pesan singkat itu telah cukup untuk memicu badai yang kini berdiri tepat di hadapannya. Keheningan kembali jatuh, lebih berat dari sebelumnya.
“P-ponselku…” suara Luna lirih, hampir bergetar. Matanya terpaku pada layar yang retak, pada benda yang selama ini selalu ia jaga. “Kenapa… kenapa jadi begini?” tanyanya pelan, ada kepanikan yang tak mampu ia sembunyikan. Refleks, Luna mengulurkan tangan hendak mengambil ponsel itu. Namun Bryan dengan cepat menariknya menjauh. Gerakannya tegas, membuat tangan Luna terhenti di udara.
“Jangan,” ucap Bryan dingin. Luna tersentak. Tangannya perlahan jatuh kembali ke sisi tubuhnya. Ia menatap Bryan dengan mata berkaca-kaca, bingung bercampur takut. Bryan menatapnya dari atas ke bawah, rahangnya kembali mengeras.
“Kau lebih khawatir pada ponsel ini,” katanya rendah, suaranya penuh tekanan, “atau pada isi pesannya?” Luna menelan ludah. Dadanya terasa sesak. Ia menggeleng kecil, namun kata-kata seakan tersangkut di tenggorokan. Keheningan kembali menyelimuti mereka, kali ini rapuh dan tajam, seolah satu kata saja bisa memecah semuanya.
“Isi pesan apa yang kamu maksud?” tanya Luna pelan. Suaranya tulus, tanpa dibuat-buat. Ia benar-benar tidak mengerti. Namun melihat raut wajah Bryan yang kembali mengeras, rasa takut perlahan merayap di dadanya.
Bryan tertawa singkat, hambar. Ia menurunkan ponsel itu sedikit, lalu mengangkatnya kembali hingga sejajar dengan pandangan Luna. “Jangan berpura-pura tidak tahu,” ucapnya rendah. “Nama ini, Frengky. dia mengirim pesan dan mengajak mu untuk makan bersama. Kau ingin mengatakan padaku itu tidak berarti apa-apa?”
Luna terdiam. Matanya kembali menatap layar retak itu, lalu beralih ke wajah Bryan. Napasnya sedikit bergetar. “Aku… aku sungguh tidak tahu,” katanya jujur. “Aku bahkan belum membuka ponsel itu hari ini.” Bryan menyipitkan mata, jelas sulit mempercayainya. Namun untuk sesaat, ada keraguan yang melintas di wajahnya. Luna melangkah setengah langkah ke depan, lalu berhenti, seolah takut mendekat terlalu jauh.
“Dia hanya teman kampus,” jawab Luna jujur. Suaranya lembut, meski masih terdengar gugup. Ia mengangkat wajahnya, menatap Bryan dengan mata yang berusaha tetap tegar. “Aku tidak pernah mengiyakan ajakannya,” lanjutnya pelan. “Aku selalu menolaknya.” Jemarinya saling menggenggam erat, seolah menenangkan dirinya sendiri. “Aku tidak pernah mengkhianati mu”
“Dia hanya teman kampus,” jawab Luna jujur sekali lagi, seolah ingin benar-benar meyakinkan pria di hadapannya. Nada suaranya lembut, hampir memohon, meski ia berusaha tetap tenang. Namun Bryan bukanlah tipe pria yang mudah percaya. Tatapannya masih dingin, sorot matanya menelusuri wajah Luna seakan mencari celah sekecil apa pun dari kebohongan. Rahangnya mengeras, dan ia menarik napas perlahan, jelas masih menahan gejolak di dadanya.
“Teman kampus,” ulang Bryan datar. “Kalau hanya itu, kenapa dia berani mengajakmu makan siang?” Luna terdiam sejenak, bibirnya bergetar. Ia tahu, satu jawaban saja tidak akan cukup bagi Bryan. Kepercayaan pria itu bukan sesuatu yang bisa didapatkan dengan kata-kata sederhana dan kini, Luna berdiri di hadapannya, menghadapi keraguan yang belum juga mereda.
"Dia memang selalu m-mengajakku makan siang…” Luna mengakui dengan suara lirih. Ia menghindari tatapan Bryan, pandangannya jatuh ke lantai, jemarinya saling meremas gugup. “Tapi aku tidak pernah menerimanya. Tidak sekali pun.”
Bryan tersenyum miring. Namun senyum itu sama sekali tidak hangat, kilatan amarah di matanya terlihat jelas. Tanpa peringatan, dengan perasaan yang meluap, ia melempar ponsel Luna ke arah dinding. Suara benturan keras menggema di seluruh ruangan, membuat suasana semakin mencekam.
“BRAK—!”
Luna terperanjat. Tubuhnya tersentak refleks, jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh cepat ke arah ponselnya yang kini tergeletak tak berdaya di lantai, benar-benar hancur. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah hendak mengambilnya.
Namun sebelum jemarinya sempat menyentuh benda itu, Bryan menangkap pergelangan tangannya. Cengkeramannya kuat, penuh emosi yang belum reda. Dengan satu tarikan, Bryan menarik Luna ke arahnya hingga tubuhnya kehilangan keseimbangan, lalu menjatuhkannya ke atas ranjang. Luna terkejut, napasnya tercekat. Ia menatap Bryan dengan mata membesar, ketakutan jelas terpancar. Bryan berdiri di hadapannya, dadanya naik turun, emosi bercampur antara marah, cemburu, dan kecewa yang tertahan.
“Jangan sentuh itu,” ucap Bryan dingin, suaranya rendah namun penuh tekanan. Ruangan kembali sunyi, tetapi kali ini keheningan itu terasa berat dan menakutkan. Luna terduduk kaku di atas ranjang, tangannya gemetar, sementara Bryan berdiri di hadapannya, tak lagi sekadar suami, melainkan pria yang sedang berjuang m
elawan badai di dalam dirinya sendiri.
Bryan tanpa sadar meremas dagu istrinya, dorongan amarahnya membuat genggamannya terlalu kuat. Luna meringis kesakitan, napasnya tertahan, alisnya berkerut menahan perih yang tiba-tiba menjalar.
“s-sakit,” ucapnya lirih, suaranya gemetar.
Kata itu seolah menyentak kesadaran Bryan. Tangannya langsung mengendur, lalu terlepas sepenuhnya. Ia menatap Luna,wajah yang ia cintai kini memucat, matanya berkaca-kaca. Amarah di dadanya beradu dengan rasa bersalah yang mendadak menyeruak. Ia mundur setengah langkah, mengusap rambutnya dengan frustasi.
“Jangan harap kamu bisa keluar dari sini,” ucap Bryan dengan suara dingin. Tanpa menoleh lagi, ia melangkah meninggalkan kamar.
.
.
.
.
Lebih rajin lagi ya literasi nya biar makin pinter ngehalu🥳🥳🔥